webnovel

Maut Datang Menjemput

Raka Kamandaka tersenyum dingin. Dia tetap berdiri tegak di tempatnya semula. Sementara itu, si Golok Ular yang melihat kejadian ini dengan jelas merasa sangat kaget sekali. Orang tua itu tidak pernah menduga kalau pemuda tersebut ternyata mempunyai tenaga dalam yang sedemikian tingginya.

Seumur hidupnya, selama mengembara di dunia persilatan, belum pernah dia menyaksikan ada seorang pemuda sekuat dirinya.

Sekalipun hanya melihat kejadian sederhana ini, namun sebagai tokoh kelas atas, Golok Ular tentu mengetahui kelihaian seseorang.

Di sisi lain, Ki Jaya sendiri merasa terkejut. Dia pun merasakan hal yang sama seperti si Golok Ular.

Dirinya memang mengenal baik Raka Kamandaka. Namun selama ini, dia belum pernah melihat bagaimana tingginya ilmu pemuda itu. Baru sekarang saja Ki Jaya menyaksikannya, dan sekalinya melihat, sampai-sampai dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Sedangkan di depan sana, pelan-pelan si Cambuk Maut bangkit berdiri. Bokongnya terasa sangat linu sekali. Selama ini, belum pernah dia mendapatkan kejadian memalukan seperti sekarang.

Karena itulah amarahnya berkobar dengan hebat. Wajahnya merah padam. Seperti sebuah besok yang ditempa di atas suhu yang sangat panas.

Cambuk mautnya mengepulkan asap putih tipis. Sepasang matanya juga menatap dengan tajam bagaikan seekor singa yang sedang mengincar mangsanya.

"Pemuda busuk. Kalau hari ini aku tidak membunuhmu, lebih baik aku mundur dari dunia yang ramai ini," teriaknya dengan sangat lantang.

Tarr!!!

Cambuk itu dipecutkan kembali dengan setaker tenaganya. Sekali sentak, tubuhnya kembali meluncur deras ke depan sana. Hanya satu kedipan mata saja, dirinya sudah tiba dihadapan Pendekar Pedang Pencabut Nyawa.

Cambuk melecut sambil melancarkan dua belas serangan secara beruntun. Seluruh tubuh Raka menjadi incaran telak. Serangannya teramat cepat. Kalau saja mangsanya orang lain, niscaya dia bakal mampus saat itu juga.

Tapi sayang sekali, Raka Kamandaka bukanlah orang lain.

Sehebat apapun si Cambuk Maut menyerang, hasilnya tetap tidak sesuai harapannya. Semua serangannya berhasil dihindarkan dengan mudah. Raka berkelit lincah seperti menjangan yang menghindarkan diri dari peluru para pemburu.

Tarr!!! Tarr!!!

Suara cambuk terus terdengar menggelegar bagaikan guntur. Hujan serangan datang tiada hentinya.

Selama ini, Pendekar Pedang Pencabut Nyawa masih diam. Belum pernah sekalipun dia menyerang. Raka hanya menghindari setiap serangan yang berusaha mencabut nyawanya.

Cambuk Maut semakin kalap. Dia juga bertambah heran. Sudah belasan jurus dia keluarkan, tapi sekalipun, belum pernah serangannya itu mengenai sasaran.

Raka amat licin. Seperti belut yang tidak mudah untuk dipegang.

"Sampai kapan kau akan menjadi penonton yang tak berguna?" tanya Cambuk Maut kepada si Golok Ular.

Ucapan yang sebelumnya dilontarkan kepadanya, sekarang dilontarkan kembali kepada orangnya.

Si Golok Ular kaget. Kejadian seperti tadi terulang lagi.

"Baiklah. Mari kita bereskan dulu pemuda keparat ini …" katanya lantang.

Berbarengan dengan suara yang keras itu, golok pusaka miliknya juga sudah dicabut kembali. Batang golok yang cemerlang karena ditempa sinar matahari sore terlihat lagi.

Golok itu menyerang dengan ganas. Setiap serangannya mengandung hawa panas yang dapat membawa kulit.

Dua serangan ganas sudah dikeluarkan oleh masing-masing lawannya.

Selama jalannya pertarungan itu, Ki Jaya si Golok Terbang hanya menyaksikan dari pinggir arena pertempuran. Orang tua itu tidak turun tangan, bukan karena takut, melainkan karen Raka Kamandaka telah melarangnya.

Wushh!!! Wushh!!!

Golok menyerang dari sebelah kanan. Golok itu bagaikan kilat. Cepatnya bukan main. Sedangkan dari sisi kirinya, ada sebatang cambuk lemas nan sakti yang daritadi tetap mengincar dirinya.

Cambuk itu bagaikan ular sendok. Meliuk-liuk dengan lincah sambil terus melancarkan serangan hebat.

Tiga puluh jurus telah berlalu. Sekarang sudah saatnya untuk beraksi.

Sringg!!!

Cahaya keperakan menyeruak menerangi keadaan sekitar. Hawa kematian semakin kental. Nafsu ingin membunuh terasa makin pekat. Semua orang yang hadir di sama merasakan adanya suatu tekanan yang tidak bisa diuraikan.

Pedang Pencabut Nyawa telah diloloskan dari sarungnya.

Golok Ular dan Cambuk Maut mendadak melompat mundur ke belakang sejauh dua tombak. Dia kaget. Malah sangat-sangat kaget.

Begitu juga dengan Ki Jaya. Orang tua itu tidak mengira kalau pusaka yang menggetarkan jagat tersebut ternyata ada pada Raka Kamandaka. Lebih tidak menyangka lagi kalau pusaka yang dibalut oleh kain putih itu, ternyata adalah benda yang menjadi incaran setiap kaum persilatan tersebut.

Memang, pada dasarnya belum banyak orang yang tahu kalau sebenarnya Pedang Pencabut Nyawa itu ada padanya. Yang tahu hanyalah dirinya dan gurunya sendiri.

"Pedang Pencabut Nyawa …" gumam Cambuk Maut sambil menuding.

Badannya bergetar hebat. Keringat panas dan dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya. Sebelumnya, belum pernah orang tua itu merasa setakut ini.

"Ternyata pengetahuanmu luas juga," jawab Raka sambil tersenyum mengejek.

"Kukira semua orang tahu akan pedang pusaka tersebut,"

Memang, dapat dipastikan kalau semua orang tahu akan senjata pusaka itu. Pusaka yang menggetarkan jagat raya, bagaimana mungkin masih ada orang yang tidak mengetahuinya?

Pasti tidak ada.

Kalau pun benar ada, mungkin dia merupakan orang yang baru dalam dunia persilatan.

"Mungkin memang benar. Dan aku rasa, selain tahu pusaka ini, kau juga tahu ciri khasnya …"

"Sekali pedang dicabut, pantang masuk kembali sebelum menelan korban nyawa …" jawab Golok Ular dengan cepat.

"Bagus. Kalau begitu kita mulai sekarang,"

Begitu selesai ucapannya, tubuh Raka Kamandaka sudah meluncur deras kehadapan dua orang lawannya. Sekarang pemuda itu tidak mau main-main lagi. Oleh sebab itulah dirinya langsung mengeluarkan jurus yang dahsyatnya tiada tara.

Wushh!!!

Bayangan putih berkelebat. Pedang Pencabut Nyawa sudah bergerak di depan wajah dua orang lawannya. Sabetan dan tusukan yang tidak terlihat sudah dilayangkan.

Hanya beberapa saat saja, si Cambuk Maut dan si Golok Ular sudah terdesak hebat. Serangan yang dilancarkan oleh Pendekar Pedang Pencabut Nyawa memang tiada duanya.

"Maut Datang Menjemput …"

Wushh!!!

Raka Kamandaka berteriak dengan lantang. Jurus kedua dari Kitab Pedang Pencabut Nyawa sudah dikeluarkan. Jurus yang sangat dahsyat itu langsung mengurung dua orang tua tersebut.

Pedangnya bergerak secepat kilat. Arah serangannya tidak terduga. Setiap musuh musuhnya pasti merasa kebingungan. Sebab dalam jurus tersebut terdapat sekali banyak perubahan yang tidak pernah diduga.

Wutt!!! Crashh!!!

Darah seketika muncrat. Satu buah kepala manusia terlempar tiga tombak jauhnya. Satu tubuh pun langsung ambruk.

Si Cambuk Maut.

Orang tua itu menjadi korban pertama dari keganasan pusaka tersebut. Darah segar mengucur deras dari kutungan lehernya. Dia tewas tanpa mengeluarkan suara apapun.

Si Golok Ular langsung merasa ketakutan. Dia ingin melarikan diri sejauh mungkin. Tapi sayang sekali, sebelum niatnya terlaksana, Pedang Pencabut Nyawa telah kembali menunjukkan taringnya.

Wutt!!! Brett!!!

Gerakan yang sangat cepat. Lebih cepat dari kilat. Lebih dahsyat dari terjangan badai.

Siguiente capítulo