webnovel

Kematian Iblis Tujuh Warna

Susana hening seketika. Angin malam berhembus lembut membelai tubuh orang-orang yang ada di sana. Sebenarnya keadaan seperti ini paling enak jika dilewatkan dengan hal-hal menyenangkan.

Sayangnya mereka tidak bisa. Karena sekarang, mereka sedang menghadapi sebuah musibah besar yang paling mengerikan dalam kehidupannya.

Malam ini adalah malam penentuan. Kalau bukan Raka Kamandaka yang mampus, maka mereka sendiri yang akan tewas.

Enam orang masih terpaku seperti patung. Mata mereka memandangi seorang rekannya yang tewas. Bagi orang lain, kematiannya mungkin biasa saja.

Tapi bagi mereka, kematian rekannya itu justru kematian yang paling mengerikan. Bagaimana mungkin ada seseorang yang membunuh dengan pedang, tapi lukanya tidak nampak?

Pastinya tidaklah mungkin. Di dunia ini, bisa dihitung jari orang-orang yang dapat melakukan hal tersebut.

Raka Kamandaka adalah salah satunya.

Jika dia bisa melakukan hal seperti itu, itu artinya pemuda tersebut sudah benar-benar mencapai puncak tertinggi dalam hal ilmu pedang.

Mengalahkan seorang ahli, dalam hal apapun, tentu saja bukan suatu pekerjaan mudah. Bahkan hal itu termasuk ke dalam suatu pekerjaan sulit. Teramat sulit malah.

Mereka sadar bahwa malam ini, sudah pasti malam terakhir untuk hidupnya. Kalau bisa, orang-orang itu tentu ingin melarikan diri sejauh mungkin. Atau bahkan memilih untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan.

Sayangnya, hal tersebut tidak lebih hanya impian kosong yang tidak akan pernah tercapai.

"Jurus yang mengerikan," kata anggota Iblis Tujuh Warna yang memakai pakaian merah darah.

"Memang mengerikan. Kalau sudah tahu, mengapa kalian masih berani mencari gara-gara denganku?" ejek Raka Kamandaka sambil tersenyum sinis.

"Karena sebelumnya kami sudah berjanji kepada seseorang,"

Apa yang dikatakannya memang benar. Mereka pernah menyanggupi terkait tugas untuk membunuh pemuda bernama Raka Kamandaka.

Berhasil atau tidak berhasil, mereka siap untuk menjalankan tugasnya.

Sebagai kaum dunia persilatan, Iblis Tujuh Warna tentu tidak akan menarik ucapannya sendiri. Walaupun mereka beraliran sesat, tapi prinsip kaum dunia persilatan sudah mendarah daging.

Mereka bukan pengecut. Maka mereka tidak mau menarik kata-katanya.

Sebab di dalam dunia persilatan, orang-orang yang menarik ucapannya atau menelan ludahnya sendiri, adalah orang-orang pengecut. Orang-orang rendahan. Bahkan mereka menyebutnya lebih rendah daripada sampah sekalipun.

"Sayangnya, kalian langsung menyanggupi permintaan itu tanpa mencari informasi lebih dulu tentang siapakah pemuda itu," kata Raka dengan nada datar.

"Betul. Kesalahan kami memang di situ. Karena merasa mampu, maka kami langsung menyanggupi tanpa berpikir lebih jauh lagi,"

"Dan sekarang, kalian baru sadar telah salah langkah bukan?"

"Ehemm …, rasanya ingin menyesal, tapi penyesalan itu tidak ada gunannya,"

"Karena kalian sudah tahu, meskipun memohon-mohon minta ampun, bahkan sampai menangis mengeluarkan darah sekalipun, aku tetap tidak akan mengampuni nyawa kalian,"

"Tepat. Karena itulah, daripada mati di tangan 'dia', lebih baik kami mati di tanganmu sebagai seorang pendekar yang menjalankan tugasnya,"

"Tepat. Kematian seperti itu sungguh jauh lebih baik,"

"Benar,"

Orang berpakaian merah darah yang berperan sebagai pemimpin, saat ini sedang menyiapkan tenaga untuk melanjutkan pertarungan. Begitu juga dengan lima rekan yang lainnya.

Suasana hening lagi.

Rembulan sudah menggeser ke sebelah barat. Bintang di langit sudah lenyap tanpa jejak.

Wushh!!!

Dua bayangan bergerak cepat di bawah kegelapan malam. Dua cahaya berwarna perak berkilat.

Dua senjata tajam sudah terhunus dan siap mencabik-cabik tubuh Raka Kamandaka.

Wuttt!!!

Wuttt!!!

Sebuah tusukan yang mengarah ke lambung dan sabetan pedang ke iga datang hampir bersamaan. Untungnya pemuda itu masih dapat menghindarinya dengan sebuah gerakan gesit.

Pedang Pencabut Nyawa sudah diangkat kembali.

Empat orang anggota Iblis Tujuh Warna segera melancarkan serangan lagi secara bersamaan. Bacokan senjata tajam menerjang, pukulan dan tendangan menghantam.

Raka Kamandaka sudah siap dengan segala kondisi yang akan terjadi ke depannya. Dia menarik tubuhnya ke belakang lalu melompat tinggi sambil berjumpalitan dua kali sebelum akhirnya mendarat.

Begitu kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat melancarkan serangan balasan. Tusukan dan sabetan pedang yang mengandung tenaga dahsyat sudah dia layangkan.

Gerakannya masih sama dengan sebelumnya. Sangat cepat. Sangat tepat. Dan sangat penuh perhitungan. Sedikitpun tidak meleset dari sasaran.

Pedang Pencabut Nyawa menyerang orang berpakaian hitam. Beberapa kali pedang itu bergerak sangat cepat, lawannya langsung terpaku di tempat.

Dia tewas seperti rekan yang sebelumnya.

Raka Kamandaka tidak berhenti sampai di situ saja. Dia kembali memberikan tebasan pedang. Sekali bergerak, tujuh delapan sabetan sudah dia lancarkan.

Seorang lawan kembali meregang nyawa. Lehernya hampir putus. Darah merah yang kental langsung menyembur. Orang itu tewas sambil memegangi lehernya sendiri. Seolah dia sedang memeriksa apakah kepalanya masih ada atau tidak.

Empat orang sisanya semakin marah. Mereka bertarung dengan kalap. Semua jurus sudah dilayangkan hanya demi mencapai satu tujuan.

Membunuh pemuda yang ada di hadapannya.

Jurus untuk mengadu jiwa dikeluarkan hingga ke titik tertinggi.

Hal ini mengakibatkan semua serangan mereka menjadi bertambah cepat.

Wushh!!!

Trang!!!

Sebuah tombak menusuk dari arah belakang secara tiba-tiba. Untungnya Raka Kamandaka mempunyai insting yang lebih tajam dari pada harimau. Ketika tahu bahaya mengancamnya, secara refleks tangan kiri yang memegang sarung pedang langsung bergerak ke belakang punggung untuk menangkis.

Orang itu sangat terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa serangan yang dilakukan secara tiba-tiba ini, ternyata masih dapat dihalau oleh pemuda itu.

Dengan gerakan kilat, Raka Kamandaka membalikan tubuh lalu menusukkan Pedang Pencabut Nyawa tepat ke jantungnya.

Dia ambruk seketika. Darah menyembur lagi seperti rekannya yang lain.

Sekarang giliran pemuda itu yang bergerak. Pedangnya lenyap dari pandangan mata lawan. Tubuhnya berkelebat sangat cepat seperti bayangan setan.

Desingan angin tajam terasa menerjang tubuh tiga lawan yang tersisa. Hawa pedang yang membawa kabar kematian sudah tiba di depan mata.

Crashh!!!

Tanpa sempat memberikan perlawanan berarti, seorang kembali dirobohkan oleh pemuda itu.

Dua orang sisanya bertambah marah. Mereka sudah nekad untuk mengadu jiwa. Jika tadi masih memikirkan hidup mati dirinya sendiri, maka sekarang berbeda.

Keduanya hanya berpikir, bagaimanapun caranya, mereka harus bisa membunuh pemuda keparat itu.

Wuttt!!!

Serangan pedang beruntun menghujani tubuh Raka Kamandaka. Belum lagi sodokan dari dan kibasan dari sebuah kipas baja.

Dua serangan dilangsungkan dengan sangat cepat dan penuh tenaga. Mereka benar-benar kalap. Sehingga tanpa sadar, serangannya membahayakan diri sendiri karena terdapat banyak celah yang kosong.

Crashh!!!

Slebb!!!

Dua orang musuh yang tersisa tewas hampir secara bersamaan. Yang satu mengalami luka di bagian ulu hatinya. Dia roboh dalam keadaan tidak percaya.

Sedangkan yang satu lagi, kepalanya menggelinding jatuh ke bawah, ke dekat rekannya yang lain.

Darah segar menyembur cukup banyak dari kutungan kepala tersebut.

Sekarang, cerita tentang sepak terjang Iblis Tujuh Warna tidak akan lagi terdengar di dunia persilatan. Sampai kapan pun tidak akan terdengar lagi. Karena saat ini, mereka sudah berubah menjadi mayat tak berguna.

Siguiente capítulo