webnovel

Confession

Josh terus berjalan cepat dan akhirnya berhasil meraih tangan Honey yang keluar dari mobilnya sambil menangis.

"Honey, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud berbuat seperti itu padamu!" ujar Josh memohon maaf pada Honey usai ciumannya ditolak lagi olehnya. Honey yang merasa bersalah dan trauma hanya bisa menangis dan menggelengkan kepalanya.

"Maafkan aku, aku tidak bisa jadi pacarmu!" isak Honey lalu berbalik dan berjalan lagi menjauh dari Josh yang mengantarkannya ke rumahnya. Josh terengah dan memegang kepalanya dengan perasaan menyesal.

"Honey ... Honey, aku minta maaf!" ujar Josh lagi separuh berteriak. Tapi Honey tak peduli dan langsung naik ke teras rumahnya lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Saat itulah, Abraham yang melihat mobil yang mengantarkan Honey berniat menghampiri tapi ia malah melihat Honey menangis dan seorang laki-laki yang mengusap kepalanya berkali-kali begitu kesal dan sedih. Abraham kenal anak itu, dia adalah Josh Hartlin, teman dekat Honey, Putrinya.

Abraham lebih memilih untuk mengejar Honey daripada bertanya pada Josh apa yang terjadi. Namun ketika ia masuk, matanya membesar. Honey terlihat tengah muntah-muntah di wastafel dapur sembari terbatuk.

"Sayang kamu baik-baik saja?" tanya Abraham begitu panik dan membantu Honey. Honey membersihkan mulutnya sementara ayahnya membawakan beberapa lembar tisu untuknya. Honey hanya bisa mengangguk dan Abraham membawa Honey ke kursi terdekat agar bisa duduk. Sambil berlutut, Abraham mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada putrinya.

"Apa yang terjadi? Wajahmu pucat!" Abraham begitu cemas dan terus membelai kepala Honey. Ia lantas berdiri dengan cepat mengambil segelas air untuk Honey. Honey pun meminum airnya perlahan dan meletakkan gelas di sampingnya. Tangan Abraham terus membelai rambut Honey agar ia jadi lebih tenang. Garis tangis masih terlihat di pipinya dan itu sempat diseka lembut oleh Abraham.

Honey menangis lagi dan terus terisak. Ia sudah tak tahan dan harus bicara tapi tak bisa dan tak berani.

"Ada apa, Sayang? Katakan pada Daddy apa yang terjadi," tanya Abraham lembut pada Honey yang berusaha menahan tangisnya. Honey terus memandang ayahnya. Ia tak mungkin cerita jika ia pernah diperkosa seorang pria yang tidak ia kenal saat di Boston dan kini hal paling buruk telah terjadi padanya.

"Honey ... katakan sayang, ada apa?" Abrahan makin lirih dan memegang kedua pipi Honey sambil menatap wajahnya. Honey memilih untuk memeluk ayahnya lebih erat.

"Maafkan aku, Daddy! Aku telah membuatmu kecewa. Aku bukan gadis baik!" isak Honey sambil memeluk erat pinggang ayahnya. Abraham makin mengernyitkan kening. Perasaannya jadi tak enak sama sekali. sepertinya hal buruk memang sudah terjadi selama ini pada Honey.

"Katakan saja, Sayang. Daddy pasti akan memaafkanmu. Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Abraham lagi dengan lembut dan melepaskan pelukannya dari Honey. Kedua tangannya memegang pipi Honey yang memerah dan mata birunya yang penuh dengan air mata.

"Dad ..." Abraham terus menunggu dan menatap Honey dengan penuh harapan.

"Katakan, Nak. Daddy tidak akan marah." Honey menutup matanya dan air matanya terus tumpah.

"Aku hamil," bisiknya lirih.

Abraham tercekat dan memeluk Honey lagi. Ia membiarkan Honey untuk menangis sepuasnya sementara ia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Butuh waktu nyaris 15 menit sampai Honey tenang dan Abraham bisa duduk di salah satu kursi di sebelah Honey sambil menggenggam tangannya.

"Katakan pada Daddy apa yang terjadi, Nak?" tanya Abraham lagi masih dengan suara lembut. Honey hanya memandang Ayahnya dengan sisa tangisnya.

"Aku minta maaf, aku ... mengecewakanmu," isak Honey sampai terbata-bata. Abraham menggelengkan kepalanya dan menarik Honey ke pelukannya.

"Kamu tidak pernah mengecewakanku, Sayang. Kamu adalah putri terbaikku, kamu adalah kesayanganku," gumam Abraham dengan lembut dan mencium ujung kepala Honey penuh kasih sayang. Rasa bersalah makin menyeruak dalam hati Honey. Terlebih mengingat respons Abraham yang begitu menerima.

"Aku akan bicara dengan Josh ..." Honey langsung menggelengkan kepala dan melepaskan pelukan dari ayahnya.

"Bukan dia ..." Abraham kini tercekat dan memandang Honey dengan tajam. Sebelah tangannya lalu memegang kepalanya lagi.

"Jika bukan Josh, siapa Ayahnya? Apa kamu berhubungan dengan pria lain, Honey? Bagaimana kamu bisa hamil?" tanya Abraham beruntun dan itu membuat Honey terdiam memandang ayahnya. Honey sudah bertekad untuk bercerita tapi sebelum ia membuka mulutnya, tiba-tiba Axel menyahut dari belakang Abraham.

"Apa! Kamu hamil!" sahut Axel dengan nada agak tinggi dan berdiri dengan ransel masih menyangkut terselempang di sebelah bahunya. Abraham spontan menoleh ke belakang dan Honey pun melihat ke arah Axel yang terlihat tak percaya.

"Axel ... duduklah, Nak!" ujar Abraham menenangkan. Axel tak mau menjawab ayahnya. Ia berjalan mendekat pada Honey yang menengadah padanya.

"Siapa yang sudah melakukan ini padamu? Apa kamu sudah diperkosa?" tanya Axel tanpa filter dan setengah menghardik. Abraham sedikit menjauhkan Axel dari Honey tapi reaksi Honey setelahnya membuat Abraham hampir kehilangan kendali. Honey menjawabnya dengan menangis lebih keras.

"Honey ... katakan padaku, Nak, jangan sembunyikan apa pun. Apa yang sudah terjadi?" Abraham memegang kedua lengan Honey mulai memaksanya untuk bicara. Honey menangis dan begitu terpukul membuat Abraham tak tahan dan memeluknya lagi.

Axel menegakkan tubuhnya dan menyisiri rambutnya dengan kasar. Ia sedikit tersengal karena emosi yang ditahannya dari tadi.

"Semua terjadi saat audisi di Boston. Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba berada di sebuah kamar dan seorang pria tidur di sebelahku!" isak Honey dalam pelukan Abraham. Axel dan Ayahnya bisa mendengar dengan jelas yang dikatakan oleh Honey.

Axel lantas berjongkok dan memegang sebelah bahu Honey. Ia tak bisa menyembunyikan kesedihan karena yang dialami oleh Kakaknya.

"Honey, katakan siapa pria itu?" Axel bertanya denhan nada memohon. Honey menggelengkan kepalanya dan memeluk ayahnya erat.

"Aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak kenal dia." Axel dan Abraham saling berpandangan.

"Kita akan lapor polisi oke, mungkin ada jalan untuk menemukannya. Pria itu harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Kita akan mencarinya!" bujuk Abraham tapi Honey terus menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau, aku tidak mau bertemu dia lagi!" Axel menghembuskan napas dengan kesal dan bangun kembali. Ia tak bisa memaksa kakaknya, Axel tak tega. Sedangkan rasanya Axel sudah ingin meledak dan menghancurkan apa saja. Abraham pun harus bisa mengendalikan dirinya di depan anak-anaknya. Jadi yang ia lakukan adalah menenangkan Honey sebisanya.

"Daddy akan selalu bersamamu. Jangan takut, Daddy sangat sayang padamu." Abraham mengecup lembut ubun-ubun Honey dan terus memeluknya. Abraham bahkan menggendong Honey dan membawanya ke kamar agar ia bisa beristirahat.

"Cobalah untuk tidur sesaat agar perasaanmu jadi lebih baik. Kita akan bicara lagi besok, jangan terlalu memaksakan dirimu." Abraham membelai dengan lembut rambut Honey yang terus memandangnya lalu tersenyum tipis. Pipinya masih merah begitu pula dengan hidungnya. Abraham tersenyum menenangkan dan mencium kening Honey sebelum ia memperbaiki selimut lalu beranjak pergi.

Di luar, Axel sudah menunggu ayahnya Abraham yang baru saja membawa Honey masuk ke kamarnya.

"Apa yang harus kita lakukan? Kejadian itu sudah hampir dua bulan yang lalu, dimana kita bisa mencarinya?" tanya Axel kesal dan tak sabaran. Abraham mengangguk dan berusaha tenang.

"Honey harus bicara dan mengingat seperti apa pria yang memperkosanya. Setelah itu baru kita lapor Polisi," ujar Abraham memberikan solusinya meski ia sendiri tak yakin.

"Apa Polisi bisa membantu? Itu terjadi di Boston bukan di sini." Abraham tampak berpikir lagi dan menghela napasnya. Semua tampak buntu, dan sangat buntu.

NEW YORK

Rencana Jupiter mendongkrak "popularitas" The Midas Rei, mulai menunjukkan hasilnya. Pagi ini, Rei menjadi sampul utama majalah-majalah Infotainment terkenal dengan judul yang kurang lebih menyakitkan mata namun setidaknya itu bisa sedikit demi sedikit menepis gosip gay padanya.

Rei mengambil salah satu majalah dan menyengir jahat. Salah satu judulnya agak sedikit norak tapi tak apalah.

"The Midas Rei, gay yang menikah dengan seorang wanita?" gumam Rei membaca judul artikelnya lalu mendengus dengan cengiran sinis.

"Mereka masih manggil gue gay biarpun gue udah nikah sama cewek. Dasar bodoh!" umpatnya lagi membuka majalah dan beberapa fotonya terpampang dengan artikel yang mulai menginvestigasi siapa wanita yang tertera pada surat perjanjian pra pernikahan yang bocor ke media.

"Maafkan aku Jewel. Aku tidak bermaksud melibatkanmu," gumam Rei sambil menarik napas panjang dan berat.

Siguiente capítulo