"Kamu akan kehilangan mereka yang kamu sayangi."
"Kubilang sekali lagi, aku menunggu mu."
"Tolong, mereka lapar."
"Anggota tubuh ku diincar oleh mereka."
"Jangan menghindari takdir."
Nada merasa lututnya yang mulai melemas. Semenjak kejadian tewasnya Varo, ia tidak keluar kamar sama sekali karena merasa trauma dengan kejadian tersebut. Ia pikir dengan cara seperti ini —mengurung diri di kamar— adalah jalan yang terbaik baginya. Ternyata tidak, kamarnya adalah sarang dari semua masalah.
Semua kesialan ini justru berasal dari kamarnya yang baru official menginjak satu hari menjadi kamar miliknya.
Mengingat semuanya, tentang sesuatu yang terasa lembab saat kejadian mati lampu di kamar. Apalagi melihat perempuan yang memakai dress merah, terasa terus saja mengatakan hal yang membuat dirinya takut.
Hei, kemana perginya Nada yang pemberani?
Nada menatap buku abu-abu yang ternyata kembali ke dalam tasnya secara tiba-tiba. Sungguh, ia ingin lari dari kenyataan saat ini juga.
"Apa yang harus aku lakukan?" Gumamnya. Ia frustasi, sungguh frustasi. Hanya karena dirinya, membuat Varo tewas mengenaskan, seharusnya laki-laki itu tidak berpacaran dengannya. Apa ia adalah pembawa bencana bagi semuanya? Pembawa sial, mungkin?
BRAK
Pintu kamarnya terbuka lebar menampilkan Bela yang tengah membawa perkakas ditangannya. "Enak ya kamu di kamar terus menerus sedangkan saya harus mengurus rumah sendirian, dasar anak gak tau di untung! Udah di kasih hidup enak gak perlu masak, gak perlu kerja, masih aja gak mau ngeringanin beban!"
Nada menghembuskan napasnya dengan kasar. Apa belum cukup penderitaannya selama ini? Sampai-sampai harus di hadapkan dengan memiliki Ibu kandung yang sudah cukup merusak mentalnya.
"Ada apa lagi, Ibu? Nada tidak enak badan, jadinya hari ini belum bisa membantu mu, maaf..." lirih Nada. Ia sudah kehilangan energi karena terlalu lama menangis dan tidak makan selama dua hari, makanya ia merasakan lemas yang membuat tubuhnya memang terlihat layaknya orang sakit.
Bela menghampiri Nada yang berada di sudut kamar, ia memperhatikan wajah anak dari suaminya yang sekarang ini dengan tajam. Menekuk lutut, dan memeluknya dengan wajah yang terlihat sembab. "Kamu menangis?!"
"Enggak, Bu." jawab Nada dengan perlahan.
"Kenapa mata kamu bengap? Awas saja kamu bercerita pada ayahmu tentang hal ini! Ibu akan lebih menyiksa kamu kalau Ayah mu tau perlakuan Ibu pada mu!"
"Enggak, bu. Nada gak berani ngadu apa-apa,"
Benar, selama ini Nada hanya berdiam diri di balik bayang-bayangnya. Ia ingin mengatakan kalau sosok wanita yang di hadapannya saat ini percis sekali dengan iblis karena memiliki watak keras dan juga sangat kejam padanya. Ia tidak berani mengadu pada sang ayah, karena juga pastinya ayah akan membela istri baru-nya semenjak sang ibu meninggal dunia.
Bela tersenyum miring sambil memberikan perkakas yang ia bawa ke Nada. "Nih, kamu bisa langsung benerin saluran air di wastafel kamar mandi mu. Sepertinya bocor, airnya menembus ke dinding kamar saya." ucapnya sambil meletakkan tempat perkakas ke lantai, tepat di hadapan Nada.
Nada mengangguk, sudah biasa ia dipekerjakan seperti ini. "Tapi emangnya Ibu gak manggil orang aja? Kalau aku yang benerin wastafel, takutnya akan semakin rusak."
Bela berdecih, setelah itu menatap Nada dengan sangat tajam dan menarik rambut sang anak. Anak? Bahkan panggilan tersebut terasa asing di lidahnya. "Mahal!" pekiknya. "Emangnya mau pakai uang tabungan kamu, hah?! Kalau rela, panggil saja sendiri!"
"Awshh… sakit, Bu! Lepasin aku." ucap Nada meringis kesakitan.
Mendengar itu, Bela langsung saja melepaskan jambakan tangan pada rambut Nada. Mungkin dirinya merasa bersalah karena sudah main fisik sebegini jauhnya, lalu tanpa mengatakan hal apapun lagi, ia langsung saja melesat keluar kamar Nada dengan menutup pintunya tanpa ada rasa santai sedikitpun sampai terdengar 'BRAK' dengan suara yang lantang.
Alasannya ya simple, Bela malas memanggil pekerja lain untuk menyelesaikan masalah ini, katanya sih bayarannya mahal dan ia tidak mau jika dirinya yang turun tangan, jijik katanya. Nada menghela napas kasar melihat Bela yang sudah keluar kamarnya tanpa bersua. Baiklah, ia akan melakukannya dengan segera!
Ia berjalan takut ke arah kamar mandi yang berada di kamarnya. Disana terdapat cermin panjang dan lumayan besar, itu adalah salah satu yang menjadi ketakutan terbesarnya. Jangan sampai sang penjaga iblis itu melihatnya, apalagi si perempuan cerewet itu yang tak ada habisnya mengingatkan Nada untuk menjadi 'teman'.
Saat ia sudah sampai, benar saja pipa wastafel miliknya sudah retak, padahal kemarin masih baik-baik saja. Ia mulai berjongkok dan mengeluarkan beberapa alat yang di perlukan untuk membenarkan wastafel. Ia melakukannya sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh sosok yang ia takuti beberapa hari ini, ia tidak mau mereka mengetahui kehadirannya karena berada sedekat ini dengan mereka.
"IBLIS SIALAN! BERANI-BERANINYA DIA MEMAKAN JEMARI LENTIK-KU!"
Napas Nada tercekat, ia semakin menyembunyikan diri di bawah wastafel. Jangan sampai terlihat atau mereka akan menyeret dirinya masuk ke dalam cermin tanpa rasa iba.
"KAPARAT! SUDAH TUA BANGKA, TIDAK TAHU DIRI PULA! PANTAS SAJA, TERNYATA OTAK MU TINGGAL SETENGAH DI MAKAN YANG LAINNYA!"
Ia tidak tahu pasti sudah seperti apa bentuk perempuan yang selama ini menghantuinya itu. Yang pasti, perempuan itu terdengar sudah lebih buruk daripada sebelumnya.
"NADAAAAA!"
Nada diam.
"NADAAAAA!"
"APA KAMU MENDENGAR KU?"
"TOLONG JAWAB PANGGILAN KU!"
"TOLON--"
"ARGHHH!!"
Nada membekap mulutnya saat mendengar suara pekikan terdebut, sial, apa yang terjadi pada perempuan yang berada di dalam kaca itu?
"Kamu tidak perlu berlari lagi dariku. Tubuhmu sangat nikmat dengan darah yang manis." terdengar suara bariton, menyeramkan.
"Kaki ku!" perempuan itu memekik.
Nada meneteskan air matanya. Apa ini yang akan terjadi padanya jika ua terseret masuk ke dalam sana? Sial, dia benar-benar ketakutan. Kenapa dirinya yang dipilih? Kenapa tidak Bela saja?
"Nada, jika kamu mendengar ini, jangan pernah membuang buku itu."
"Bawa selalu di dekatmu."
"Jika kamu terseret masuk, di dalam buku itu ada jalan keluarnya."
"Ku mohon, berhati-hatilah."
"Mereka sudah menguasai cermin di kehidupan mu, cermin kecil sekalipun."
"Aku harus pergi, mereka mulai memakan habis anggota badanku."
Setelah itu, terdengar suara langkah kaki yang menjauh. Benar-benar terdengar seperti kenyataan, padahal dunia mereka tentu saja berbeda.
Nada diam, masih berada di posisinya. Selagi ia tak menampakkan diri di depan cermin, dirinya aman.
Katakan, apa yang harus ia lakukan?
Setelah merasa aman untuk melakukan sesuatu yang berisik, ia segera memperbaiki pipa yang rusak. Dan segera melesat keluar kamar mandi dengan merangkak keluar tanpa suara —lebih tepatnya berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun yang mengundang perhatian—.
Namun tiba-tiba, terdengar suara. Suara bariton yang sebelumnya terdengar bersama dengan si perempuan yang berada di kaca.
"Ternyata kamu menguping."
...
Sudah ku bilang, mereka mengintaimu. Dan tidak akan membiarkan kamu lolos begitu saja. Sudah ku peringati, mereka berada di seluruh cermin yang berada di kehidupan mu. Mereka menunggu, mengawasi kalian.