'Suara aneh? Ya Tuhan, bagaimana ini? Sepertinya besok aku harus mengajak Adisty untuk tidur disini, terserah mau Tuan Arseno akan marah atau tidak,' batin Jingga.
Arseno memasukan mie instan ke dalam mulutnya sambil melihat wajah Jingga yang tampak ketakutan.
'Baru satu hari kamu disini, tapi aku melihat jelas jika kamu tidak nyaman dengan situasi ini. Jingga, aku akan terus buat kamu tidak nyaman tinggal disini. Pada akhirnya kamu segera meminta bercerai walaupun belum satu tahun,' batin Arseno.
Ada senyuman licik yang Arseno tampilkan, namun Jingga sama sekali tidak melihatnya. Dirinya sibuk dengan ketakutan yang melanda pikirannya.
"Makanlah, nanti keburu dingin," ucap Arseno dengan asyiknya menyeruput kuah mie instan yang menggugah selera.
Jingga pun tersadar dan langsung mencoba makan mie instan yang dia buat.
"Oh iya, Tuan Arseno, kenapa kita tidak tinggal di mansion?" tanya Jingga.
Jingga pikir dengan tinggal di mansion setidaknya dia bisa berteman dengan pelayan dan tidak akan berteman dengan kesendirian.
"Mama meminta kita disini, Mama ingin kita hanya tinggal berdua dan ..." ucapan Arseno terhenti.
"Dan apa?"
Arseno menghela nafas dengan perlahan.
"Dan kita bisa cepat memberikan mereka cucu."
"Hah?" Jingga langsung tersedak mendengar ucapan Arseno.
Dengan gerakan cepat Arseno memberikan gelas miliknya kepada Jingga. Jingga langsung mengambilnya dan meminumnya dengan cepat. Secara tidak langsung mereka sudah meminum pada gelas yang sama.
"Hati-hati," ucap dingin Arseno.
"Bagaimana bisa Mama meminta hal yang tidak bisa dilakukan," ujar Jingga.
"Tenanglah, saya juga tidak selera berhubungan dengan kamu, tinggal bilang saja jika kamu kesulitan hamil dan semuanya kelar," jelas enteng Arseno.
Memang apa yang dikatakan Arseno adalah sebuah jalan terbaik, tapi entah kenapa, Jingga merasa sakit hati mendengarnya.
'Bukankah sebuah dosa membohongi orang tua? Tapi, akupun tidak ingin jika satu kamar dengan lelaki ini. Tapi akupun ragu, bagaimanapun dia adalah suamiku, dosa jika aku tidak melayaninya dengan baik lagipula Ibu panti selalu mengatakan jika aku harus menjadi istri solehah,' batin Jingga.
"Oh iya, besok setelah kerja kamu bersih-bersih apartemen, saya tidak mau tau, apartemen ini harus bersih dengan sempurna," ucap Arseno.
"Iya Tuan Arseno yang paling mulia," jawab Jingga.
"Kau sedang mengejek saya?" tanya Arseno.
"Tidak, saya tidak memiliki kekuatan apapun jika harus mengejek anda," jawab Jingga tersenyum kecut.
Jingga melanjutkan makannya dan Arseno menatap wajah cantik milik Jingga.
'Cantik yang alami, putih yang alami juga, tapi kenapa wajahnya seperti tidak asing bagiku? Kenapa aku seperti mengenal dia sangat dekat?' batin Arseno.
"Jingga, tadi itu masakan kamu?" tanya Arseno.
"Iya," jawab Jingga yang terlihat cuek.
"Kau belajar masak dari mana?"
"Di panti tiap hari saya masak, Tuan Arseno, secara tidak langsung Ibu panti selalu mengajarkan tata cara memasak. Ibu sudah tiada disaat umur saya masih 10 tahun jadi saya belum dapat ilmu masak yang banyak saat itu," jelas Jingga.
Arseno menatap ada raut wajah kesedihan yang ditampakkan Jingga.
'Tidak bisa di pungkiri jika masakan Jingga sangat enak. Dan menurutku masakan Jingga jauh lebih enak daripada masakan pelayan di mansion. Ah, tidak, Arseno kenapa kamu jadi memuji dirinya? Jangan sampai dia mendengar kamu memuji dirinya,' batin Arseno.
"Kehilangan seseorang memang sangat menyakitkan, sakit hatinya tidak bisa dijelaskan secara detail," ujar Arseno mengalihkan soal makanan enak milik Jingga.
"Anda pernah kehilangan?"
"Tidak, saya tidak pernah kehilangan. Tapi saya seperti bisa merasakan kehilangan itu. Entahlah apa yang saya rasakan saat ini, yang jelas, saya tidak paham itu," ujar Arseno.
"Aneh."
"Aneh?"
"Iya, anda aneh. Bagaimana anda bisa merasakan kehilangan disaat anda tidak pernah kehilangan?"
"Saya juga tidak tahu, tapi saya seolah bisa merasakan sakitnya kehilangan."
"Terserah anda saja."
"Saya sudah selesai, silahkan beresi semuanya," Arseno langsung meninggalkan Jingga sendirian.
'Hah? Tidak berperikemanusiaan sekali, bisa-bisanya dia meninggalkan aku disini,' batin Jingga yang menatap punggung Arseno yang menjauh.
Sementara Arseno sedang tersenyum lebar karena dirinya berhasil membuat Jingga terdiam membisu. Dengan gerakan cepat, Jingga langsung memberesi sisa makanan dan kembali masuk ke kamar.
Jingga duduk di kasurnya sambil membuka novel romance yang sangat disukainya. Jam menunjukkan pukul 2 malam namun matanya seolah tidak ingin terpejam.
Sayangnya, malam ini seolah tidak bersahabat dengan Jingga. Petir seolah saling bersautan dan tidak ada hentinya.
Ketakutan kini muncul di dalam diri Jingga seolah tidak menerima kenyataan jika dirinya seorang diri menghadapi petir dan hujan lebat. Jingga menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, air mata mulai menetes tanpa aba-aba dan dalam bersamaan suara ketukan pintu terdengar jelas oleh Jingga.
"Siapa? Apa Tuan Arseno? Tidak mungkin. Apa penjahat? Hah, Ya Tuhan aku lupa mengunci pintunya?" Dengan langkah cepat Jingga berlari menuju ke pintu kamar dengan niatan untuk mengunci pintu namun Jingga telat, pintu kini sudah terbuka dan memperlihatkan seseorang lelaki bertubuh kekar ada dihadapannya.
"Tuan Arseno," ucap Jingga sambil menghapus air matanya.
'Tepat dugaan aku, Jingga pasti ketakutan,' batin Arseno.
"Kau menangis?" tanya Arseno.
"Tidak," jawab Jingga.
"Sudahlah, jangan bohong," ucap Arseno.
Arseno memang tidak mencintai Jingga, namun dirinya masih punya perasaan kasihan kepada seorang wanita hingga Arseno memutuskan untuk mengecek keadaan Jingga.
Jingga tidak menjawab ucapan Arseno dan malah asyik menghapus air matanya.
Tanpa jawaban Jingga, Arseno langsung masuk ke dalam kamar Jingga dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur Jingga.
"Tuan Arseno, apa anda ingin saya tidur di luar kamar?" tanya Jingga.
"Kau bodoh sekali Jingga. Saya bisa habis jika Mama tau saya membiarkan kamu dalam ketakutan," ujar Arseno.
Ya, semuanya karena dia takut dengan Nyonya Diva dan Tuan David.
"Tapi kan kita sudah ada perjanjian untuk tidak satu ranjang," ujar Jingga.
"Hilangkan otak kotor kamu. Tidurlah disini, tenanglah, saya tidak akan melakukan apapun. Lagipula tubuh kamu sama sekali tidak menarik," ujar Arseno.
Jingga terdiam dan tampak ragu. Memang Arseno adalah suaminya, harusnya tidur satu ranjang bukan suatu hal yang di hindari namun Jingga tidak mempersiapkan dirinya untuk tidur dengan seorang lelaki.
"Tenanglah, baju kamu akan tetap di dalam posisi yang sama sampai pagi. Saya hanya kasihan melihat kamu sendirian disini, lagipula diluar hujan dan petir, kamu pasti takut," ucap Arseno yang seakan tahu jika Jingga sangat takut dengan hujan dan petir di malam hari.
"Benarkah? Tuan Arseni janji kan? Kita sudah melakukan perjanjian kontrak jadi saya harap anda menetapi semuanya," ucap Jingga.
"Arseno Keane tidak pernah berbohong, Jingga. Kejujuran adalah hal yang nomor satu bagi saya," ucap Arseno.
"Baiklah," Jingga mulai berjalan menuju ke ranjangnya dan dengan perlahan merebahkan tubuhnya tepat di samping tubuh Arseno.
Jingga berusaha menutup matanya dengan posisi tubuh yang menghadap ke langit-langit kamarnya. Sedangkan Arseno menatap wajah Jingga yang lagi-lagi sangat cantik.
Selva dan Jingga memiliki kadar kecantikan berbeda, jadi tidak bisa disamakan. Selva memang cantik namun semua itu karena perawatan dan riasan wajah sedangkan Jingga memiliki cantik yang alami.
'Kenapa menatap wajah kamu seperti membuat candu bagiku? Padahal kamu tidak secantik Selva tapi wajah kamu berhasil membuat aku ingin selalu menatap kamu,' batin Arseno.
Bersambung...