Gabriel POV
_________________________________________
Sejak bangun tadi pagi, mata Ibra tampak sayu, walaupun begitu, ia tetap memberikan kecupan di keningku. Ia masih mengantuk, sesekali Ibra menguap menahan kantuknya, raut wajahnya juga kurang bahagia, ada sesuatu yang tidak beres yang ia pendam, aku sangat kenal Ibrahim Bin Sholeh saat ada masalah, tapi ia berusaha menyimpan masalahnya sendiri. Bahkan saat kami sarapan di pinggir kolam renang pagi ini, ia tampak tidak bersemangat, ia hanya mengambil kopi dan juga menikmati potongan buah sambil menghisap rokoknya. Jujur aku tidak menyukai pria perokok, tapi kalau ganteng dan gagah seperti Ibra, ya ... tidak apa apa hahaha.
Aku sudah tidak tahan, aku harus mencari tahu, "kamu ada masalah apa?" tanyaku to the point, aku meletakkan sendok dan garpu menghentikan suapan nasi goreng yang kuambil, "nggak usah dipendem sendiri, aku bukan cuma temen kamu lagi sekarang."
Ibra menguap, tapi matanya tak dialihkan sama sekali dari pandanganku, "keliatan ya?" tanyanya, "padahal aku udah berusaha buat nyimpen sendiri."
Tepat seperti dugaanku, aku sudah sangat paham dengannya bahkan sejak kami berteman dan belum resmi menjadi kekasih seperti saat ini, berani- beraninya menyimpan sesuatu dariku.
"Aku minta maaf" ucapnya lirih, menghisap habis rokoknya lalu mematikan puntung rokok itu.
"Buat apa?" tanyaku menyilangkan tangan di atas meja.
"Aku udah janji kan mau ngabisin weekend ini sama kamu, tapi kayaknya aku nggak bisa, maafin aku, Riel" Ibra menunduk tidak berani menatapku.
Dikatakan kecewa, ya ... aku kecewa mendengar pernyataannya barusan, tapi mau bagaimana lagi, sekalipun Ibra yang kukenal adalah seorang playboy, tapi ia tidak pernah berbohong untuk segala sesuatunya, ia orang paling jujur yang kukenal, bahkan saat ia berpacaran dengan Chintya, Ia dengan jujur mengakui perselingkuhannya dengan Rasty, entah saking jujurnya atau bodoh, memang beda tipis.
"Ya nggak apa-apa, kita bisa pulang habis sarapan" ujarku menatapnya, "lagian yang rugi juga kamu, udah bayar lebih" tambahku lagi menutupi kekecewaan.
Ibra menatapku hangat, ia menggerakkan tangannya memegang tanganku, namun aku menarik tanganku, bukan tidak mau, tapi aku masih menjaga diri dari lingkungan yang menganggap hubungan seperti ini adalah hal yang tabu, "abi masuk rumah sakit, Riel."
"Ya tuhan, jadi karena itu kamu diem dari tadi, karena nggak enak ngomong sama aku, kamu itu ngeselin banget, ini masalah keluarga lho, kamu malah bingung, apa sih susahnya tinggal bilang, aku juga pasti ngerti, kalo ...."
"Iya, maaf, sayang," sahutnya memotong ucapanku, "aku minta maaf, bukan nggak mau nepatin janji, tapi ...."
"Udah, nggak usah bacot, ayo checkout!" aku gantian memotong ucapannya, rasain aku balas hahaha.
"Terus kamu gimana?" tanyanya lagi masih dengan raut wajah bingung.
"Aku udah gede, nanti anterin aku ke terminal atau stasiun aja, kamu langsung pulang ke Yogya" jawabku yang mengetahui jika Ayah dan Ibu Ibra tinggal di kampung halamannya di Yogya, aku sudah tahu sejak awal berteman, dia juga sudah tahu jika aku orang Palembang, kami memang sama sama merantau di jakarta.
Dalam perjalanan menuju kamar, Ibrahim memandangi ponselnya, lalu aku terpikirkan Mba Mel, Ibra sudah seharusnya menelpon Mba Mel untuk meminta izin, masalah pekerjaannya, nanti aku bisa bantu handle.
"Mending kamu telepon Mba Mel, kasih tahu, siapa tahu kamu lama di Yogya" ujarku memberi usul.
Ibrahim menatapku lagi, "oh iya, makasih ya sayang, aku ampe nggak kepikiran."
Hmm ... benar-benar, sekalut itukah hatinya, Ibra memang sangat menyayangi ayahnya yang bernama lengkap Azar Sholeh Almuzakky itu, sampai nama lengkap bapaknya aku tahu, wajar saja dia shock mendengar kabar jika ayahnya sakit.
"Hallo mba, maaf ganggu" ujar Ibra memulai obrolan, ia mengeraskan suara panggilan dengan loudspeaker saat kami memasuki lift menuju lantai 9, lantai tempat kamar kami berada.
"Hoaaaaam" Mba Mel terdengar menguap "ah iya, ada apa Im?tumben nelpon pagi-pagi?" tanya Mba Mel diujung sana.
"Mba, Baim ijin pulang ke Yogya mba, kayaknya senin Baim nggak masuk, soalnya Abinya Baim masuk rumah sakit."
"O M G !! " pekik Mba Mel diujung sana, sampai-sampai Ibra menjauhkan handphone, "ya udah, sana kamu pulang, fokus kesembuhan ayah kamu."
"Makasih ya mba" jawab Ibra.
"Kamu sama Gabriel nggak?" tanya mba mel, aku yang mendengarnya mengernyitkan dahi saat lift sudah sampai di lantai 9.
"Kenapa emangnya mba?" tanya Ibra menatapku, kami keluar menyusuri koridor menuju kamar.
"Mba telpon Gabriel ya, biar nemenin kamu pulang, kamu nggak boleh pulang sendirian dalam keadaan kacau kayak gini, kalau terjadi apa-apa di jalan yang ada makin besar masalahnya."
Ah sial, ide gila dari mana itu si Mba Mel, apa-apaan menyuruhku ikut, sebaliknya Ibra tersenyum lebar, terlihat senang dengan usul mba mel, Ibra menaikkan alisnya, dan memberiku kecupan dari jauh.
Aku mendelik, memberi Ibra pelototan mata seolah mengatakan jangan mau Ibra, jangan mau,
"Ada nih mba, kebetulan Gabriel nginep di apartemen abis jemput Baim semalem" hawabnya berbohong, aku mengepalkan tinju ke depan wajahnya, tapi ia terkekeh tak bersuara dan mencium tinjuku.
"Mana? sini mba ngomong."
Ibra memberikan ponselnya, aku merampasnya dengan cukup kasar dan memeragakan gerakan seolah ingin mencakar Mba Mel.
"Hallo mba, mba yakin? nanti kalo lama gimana? kan Baim sama Gabriel cuman berdua, nanti kalo kerjaan numpuk gimana? kalo Baim doang yang pergi kan Gabriel bisa back up kerjaan Baim, ya kan mba?" aku berusaha berkilah dengan pertanyaan yang mengintimidasi Mba Mel, dengan begitu Mba Mel pasti berubah pikiran.
"Kayak nggak biasa, ini masalah urgent, giliran nggak ada masalah aja cutinya waktu itu barengan, kan Lusi sama Lita bisa jadi Pejabat Sementara ngegantiin kayak biasanya. Nggak ada penolakan, pokoknya temenin Baim, kalo nggak mau nemenin, Mba nggak mau kasih kamu coklat tiap hari, dan satu lagi, nggak akan mba ACC cuti tambahan untuk libur panjang natal nanti, udah, Mba mau tidur, suami Mba udah bangun, pagi-pagi gini biasanya lagi keras-kerasnya, byeee maksimal !! " ujar Mba Mel langsung menutup panggilan telepon.
Grrrrrrhh, rasanya aku ingin mencakar seseorang, Mba Mel kalau sudah A ya A, mana mau dia dengar penolakan.
"Hmm senangnya, pulang sekalian ngunduh mantu" celetuk Ibra saat kami tiba di depan pintu kamar.
"Ya udah, aku ambil handphone dulu, kita langsung checkout aja nggak usah mandi" ujarku memberikan handphone Ibra.
Sebenarnya aku setuju dengan usul Mba Mel, ada benarnya juga, Ibra sedang kalut, bisa kupastikan juga ia tidak tidur setelah menerima kabar itu, Ibra pasti kepikiran sampai pagi, bahaya juga kalau Ibra pulang sendiri mengendarai mobilnya, aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, tapi aku belum siap untuk bertemu dengan calon mertuaku, apalagi aku belum sempat mengetahui budaya Arab.
Kalau aku diajak shalat bagaimana?
Kalau aku disuruh baca syahadat bagaimana?
Kalau orang tuanya tahu jika anaknya bergaul dengan non muslim bagaimana?
bisa-bisanya banyak pertanyaan melintas di otakku.
* * *
Aku melajukan mobil Ibra cukup kencang, berpacu dengan waktu, melesat jauh meninggalkan kota Bandung, Ibra sudah kusuruh tidur, awalnya dia menolak takut aku kesepian, tapi aku memarahinya, akhirnya dia menyerah dan tidur dengan lelap di kursi sampingku, kami hanya berhenti sekali di rest area untuk mengisi bensin, Ibra kutawari makan tapi ja menolak, kebetulan aku juga tidak lapar. Ibra kembali tidur, ia sangat mengantuk, sedangkan aku, aku memang terbiasa tidur sebentar, bagiku asal mataku memejam 2 atau 3 jam, sudah jauh lebih dari cukup.
Kurang lebih 9 jam perjalanan kami tempuh, kami tiba di kota Yogyakarta, Ibra bangun menggantikan posisi menyetir, karena ia lebih tahu jalan menuju rumah sakit. Kami tiba di RSUP Dr Sardjito, setidaknya itu nama yang kulihat di depan rumah sakit, Ibra memarkirkan mobilnya, Ibra bergegas menuju bagian informasi untuj menanyakan pasien dengan nama Azar Sholeh Almuzakky, lalu kami diantar oleh seorang perawat laki-laki menuju ruangan tempat Abi.
Hei, dengan tidak tahu malunya aku ikut menyebut ayahnya Ibra dengan sebutan Abi.
Di dalam ruangan sudah ada Ibu berjilbab, yang kuyakini adalah Ibunya Ibra, dan seorang perempuan muda kisaran umur belasan, manis, juga berjilbab, dan Ayahnya Ibra yang berbaring di ranjang pasien. Aku jadi kikuk, tak tahu berbuat apa, tapi aku ikut menyalami orang tua Ibra seperti yang Ibra lakukan, aku menghempaskan tubuhku ke sofa panjang yang ada di seberang ranjang Abi, Ummi dan perempuan manis yang memperkenalkan dirinya sebagai adik perempuan Ibra bernama Sarah, ikut duduk di sampingku, membiarkan Ibra dan Abinya berbincang dengan nada yang pelan, aku sama sekali tidak mendengar yang mereka bicarakan.
"Nak Gabriel, makasih ya sudah nganter Baim pulang, Ummi tadinya khawatir kalo Baim pulang sendirian, ternyata sama kamu, Ummi bersyukur banget Baim punya temen yang baik kayak nak Gabriel" ujar Ummi menggenggam tanganku.
Ah teman ya? iya juga sih, salahku tadi memperkenalkan diri sebagai teman, tapi kalau aku memperkenalkan diri sebagai pacar, yang ada penyakit yang diderita Abi semakin parah.
"iya Ummi, sama-sama, Ibra sudah sering bantuin Gabriel, jadi udah kewajiban Gabriel sebagai teman, membantu temannya yang sedang kesulitan" sahutku ikut menggenggam tangan Ummi.
Di usianya yang senja, Ummi masih terlihat cantik, tak jauh berbeda dengan Abi, Abi juga masih terlihat tampan dengan brewok dan kumis yang sedikit memutih, tapi look a like sugar daddy, karena tubuhnya yang gempal dan masih terlihat bekas kekekarannya, sepertinya di usia muda Abi rajin ngegym.
"Ngomong-ngomong Abi kenapa Ummi?" tanyaku yang sudah nampak akrab menyebut kedua orang tua Ibra Abi dan Ummi. Aku jadi malu sendiri, berasa dikenalkan dengan calon mertua.
"biasa kak, bandel sih, dibilang udah nggak boleh ngopi ama ngerokok masih aja nggak mau denger, gitu tuh hasilnya, jantungnya kambuh" celetuk Sarah di ujung sofa, wajah manisnya menunjukkan kekesalan.
"Husttt, nggak boleh ngomong gitu sama Abi" tegur Ummi, Sarah hanya menyengir.
"Ya emang gitu kan kenyataannya Ummi, kan udah sering dibilangin, lagian pingsan dikit doang udah geger, kasian Mas Baim tuh" Sarah kembali menimpali.
"Tapi Abi nggak kenapa-kenapa kan Ummi?" tanyaku lagi memberi perhatian pada ayah mertuaku, sungguh sudah hilang rasa maluku, bisa-bisanya berharap lebih.
"Nggak kenapa-kenapa, udah boleh pulang juga sore ini, tapi Abi nyebut nama Baim terus dari semalam, makanya Ummi terpaksa nelpon Baim, tadinya Ummi pikir nggak perlu ngerepotin Baim, jadinya kamu ikut repot karena Baim" ujar Ummi memandangku dengan hangat.
"Puji Tuhan" ujarku bersyukur, "nggak perlu sungkan Ummi, Gabriel gak keberatan sama sekali kok" jawabku atas pernyataan Ummi.
"Sekali lagi, makasih ya" ucap Ummi lagi, aku hanya mengangguk dan tersenyum memeluk Umminya Ibra.
* * *
Setelah mengurus biaya administrasi, jami pulang ke rumah Ibra, Ibra mengemudikan mobil Abi membawa Abi dan Ummi, sedangkan Aku bersama Sarah di mobil Ibra. Sarah mudah akrab dengan orang baru, ia tidak canggung untuk bercerita panjang lebar, tentang sekolahnya, tentang ketertarikannya dengan manga, anime dan tentang oppa Korea favoritnya, bahkan drama Korea yang kami sukai sama, aku senang sekali mendapatkan teman yang banyak kesamaan seperti Sarah.
"Kak Gabriel tuh mirip tau kayak oppa- oppa Korea, jadi Sarah panggil Kak Gabriel, Oppa aja ya" ujar Sarah dalam perjalanan pulang.
"Masa sih, Oppa dari mana, opah-opah kali" sahutku membuat Sarah tertawa.
"Iih ... beneran tau, seneng deh, pokoknya besok wajib foto bareng, biar Sarah pamerin ke temen sekolah kalo Mas Baim punya temen dari korea hahaha" tambahnya lagi membuatku menggeleng-geleng, ada-ada saja Sarah, bisa aja bikin seneng.
"Oppaa" celetuknya manja seperti drama-drama korea yang kutonton,
"Bengek hyung" jawabku asal, aku dan Sarah tertawa bersamaan.
"Oppaaa, Oppa beneran cuma temen sama Mas Baim?" tanya Sarah.
Aku terperanjat, hampir saja setir mobil terbanting olehku, apa-apaan pertanyaan itu, apa aku harus menjawab pertanyaan Sarah dengan jujur, bisa mati Aku, yang ada setelah sampai di rumahnya, aku dan Ibra bisa di ruqyah atau bahkan di usir.
Aku berusaha menenangkan diriku, kupandangi Sarah sebentar, lalu fokus kembali menyetir mengikuti mobil Abi yang dikendarai Ibra, "ya--ya iya, emang ... ah, masa iya bukan temen" jawabku terbata bata, aku yakin wajahku memerah karena pertanyaan Sarah.
Sarah mengeluarkan nafas kecewa, "yaaaah kok cuma temen" ujarnya kemudian.
Aku semakin dilanda kebingungan, apa maksud Sarah, kenapa dia tidak menyukai jawabanku, apa sebenarnya yang ada di otak gadis kelas 1 SMA ini.
"Lih, emang kenapa? kok gitu jawabnya" ujarku mengutarakan kebingungan, mencoba menelisik lebih dalam agar tahu maksud Sarah.
"Ya, kenapa nggak pacaran aja Oppa, Sarah padahal udah seneng tadi pas awal ngeliat Oppa sama Mas Baim dateng, kirain pacaran, taunya cuman temen, kesel" Sarah mengerucutkan bibirnya, lalu ia meniup ujung jilbabnya.
Aku hampir saja berteriak mengumpat tapi segera kutahan, bisa-bisanya adiknya Ibrahim ini berharap aku dan kakaknya berpacaran. Oh God, dunia macam apa yang sedang kujalani, aku tidak mengerti harus bersyukur atau bagaimana, aku bingung, tidak habis pikir, kenapa ada orang seperti Sarah yang mendukung hubungan sesama sepertiku dan Ibra.
"Cuma temen sih" ujarku lirih, "tapi ... kadang lebih dari temen"
Aku masih berusaha menutupi, takut kalau Sarah hanya ingin tau, setelah ia tahu, bisa saja kan Sarah melapor ke Ummi dan Abinya, lalu ruqyah yang kupikirkan menjadi kenyataan.
"Jadi kayak TTM gitu ya, Oppa?" tanya Sarah menelisik, aku tidak melihat ekpresinya, aku tetap fokus mengikuti mobil yang dikemudikan Ibra, mobil itu berbelok ke kanan saat berada di perempatan.
"Hmm gimana ya" aku berusaha mencari kata kata yang tepat menjabarkan, namun tidak kutemui juga, lagipula kenapa Sarah tau TTM yang sudah kujalani dengan Ibra, "eh kok kamu tau TTM?" tanyaku melirik sebentar ke Sarah karena penasaran.
"TTM, Teman Tapi Mesra Oppa, atau bisa dibilang Bromance" jawab Sarah.
"Ooh ... iya, bisa dibilang gitu" jawabku akhirnya sedikit lega, sampai-sampai aku menghela nafas panjang atas pertanyaan Sarah.
"Oppa, Sarah mau jujur, tapi Oppa jangan bilang sama yang lain ya" Sarah kembali melanjutkan ucapannya, aku hanya menjawab dengan nada humming.
"Sebenernya Sarah suka sama Genre komik dan anime yaoi, makanya Sarah ngiranya udah nemu kapal yang cocok yaitu Oppa sama Mas Baim, ternyata enggak, sediiih" ujarnya lagi menambahkan.
Aku mengernyitkan dahi "yaoi? kapal? apaan tuh? Oppa gak ngerti."
"ishhh oppaa" ujar Sarah lagi dengan nada dibuat buat korea, tapi cocok juga sih, karena wajah sarah manis tapi kulitnya putih seperti Ummi, jadi perpaduan gadis arab yang imut, apalagi matanya, matanya itu bening dan tajam seperti Ibra.
"masa gak ngerti, sarah ini Fujoshi, tapi jangan bilang bilang ya, ini rahasia kita" Ujarnya lagi, jarinya tampak menunjuk kearahku, tapi aku tidak menganggap itu bagian tidak sopan, Aku justru lucu melihat tingkah Sarah.
"aduuh apalagi sih Fujoshi, beneran Oppa gak ngerti" jawabku yang mulai nyaman menyebut diriku Oppa didepan Sarah.
"jadi gini lho Oppa, Yaoi itu genre yang mengusung kisah cinta cowok sama cowok, Boyslove loh Oppa, nah kalo Fujoshi itu sebutan cewek kayak Sarah, kalo Kapal yang sarah maksud, Shipper loh Oppa, pas tadi ngeliat Oppa sama Mas Baim, Sarah udah ngeships kalian berdua" jelasnya dengan bangga, seolah memberi ilmu baru bagiku.
Tapi serius, Aku baru tahu tadi saat sarah menjelaskan, karena yang Aku tahu istilahnya Homo dan Gay, sudah itu saja, mana Aku tahu ada istilah lain seperti yang dijelaskan Sarah.
"Oppa juga mau jujur" Aku sedikit tercekat menelan ludah, ah tapi sudahlah, lebih baik Aku jujur saja, toh sarah sepertinya sudah open minded dengan hal tabu seperti ini, "tapi kamu juga jangan bilang bilang, sebenernya Mas kamu sama Oppa",
Aku masih sedikit ragu, "Kami berdua pacaran" ujarku pada akhirnya sedikit menyipitkan mata yang memang sudah sipit dari sananya.
Tapi entahlah kenapa aku jadi lega mengungkapkan kenyataan ini pada sarah.
"beneran? serius?" sarah meremas lenganku yang fokus memegang setir, Aku mengangguk, "yeeesssss, horraayyyy, wuhuuuuu, aaaakk, gak kuat, gak kuat" Ujar Sarah berteriak kegirangan.
Sarah menggoyang lenganku, membuatku menegurnya dengan sedikit menaikkan nada,"Saraah, Oppa lagi nyetir, bahaya tau".
Sarah menyengirkan bibirnya,"maaf Oppa, abisnya sarah seneng banget, ya ampuuun, aaakhhhh, aduh, oh god, iiiiiih"
Entahlah kenapa ekspresi kebahagiannya bisa seaneh itu, seperti kehabisan obat.
"terus siapa yang Uke, siapa yang Seme Oppa?" tanya Sarah lagi.
Aduuh PR apalagi sih ini, Istilah baru apalagi yang kudengar dari sarah, bikin pusing saja.
"Oppa Uke nya, Mas kamu seme nya" jawabku asal seolah mengerti, Aku tidak mau di cap bodoh karena tidak nyambung dengan obrolan Sarah, anggap saja ini cara mendekati Adik Ipar.
Aku mengatakan seperti itu, karena menurutku Uke lucu juga di dengar, jadi Aku memilih Uke saja, daripada Seme, apaan tuh Seme, jelek buat pendengaran telingaku, kok jadi lucu juga, Gabriel si Uke, tuh kan cocok,ah lucu, aku jadi suka sebutan itu.
"OMJ, Oh My Jung-kook, aaakkh cocok kok Oppa, Sarah suka, Sarah suka" ucap sarah mengekspresikan kebahagiannya seperti mei mei didalam kartun upin ipin yang masih sering kutonton.
"iya, Oppa juga suka istilah yang kamu sebutin tadi, Uke, lucu yaa" Ujarku sok tau.
"makasih ya Oppa, saranghae pokoknya, nanti pokoknya kita poto bertiga sama Mas Baim" ucap sarah lagi memberikan tanda cinta dengan jarinya, Aku mengangguk tersenyum.
Akhirnya restu adik ipar sudah ditangan, tinggal restu dari Abi dan Ummi, Aku berusaha menepis pikiran barusan, terlalu berharap takut sakit nantinya.
Mobil yang kukemudikan masuk kedalam gerbang rumah yang dibukakan seorang perempuan, "itu Mbok Rahmi Oppa, panggilnya Ajumma aja, mbok suka nobar drama korea sama sarah"
Sarah menjelaskan tanpa aku bertanya.
Mobil kami masuk ke rumah yang tidak begitu besar, namun cukup mewah dengan bentuk yang masih tradisional, tapi aku menyukainya, terlebih lagi perkarangannya yang luas, dihiasi taman dan juga pondokkan kecil yang mengarah ke kolam ikan, satu hal yang menarik perhatianku, Rumah Ibra memiliki sedikit ukiran aksara jawa, pokoknya sejuk dan segar, seandainya suatu saat aku bisa tinggal disini bersama Ibra, pasti bahagia sekali rasanya, aku jadi tidak ingin pulang.
Aku memarkirkan Mobil di Garasi yang luas, persis disamping mobil Abi, Garasinya memang luas sekali, bahkan masih muat dua atau tiga mobil lagi disamping mobil Abi.
Aku mematikan mesin Mobil, lalu membuka pintu dan turun bersamaan dengan Sarah.
Ummi, Abi dan Ibra sudah menunggu didepan Garasi karena mereka sudah lebih dulu keluar dari mobil.
Ummi langsung berlari memelukku, begitu juga Abi, Aku memicingkan mata ke Ibra, tapi Ibra malah tersenyum lebar, ada apa ini, ada apa?, begitu banyak hal yang tidak bisa kuterima akal sehatku dan membuat kebingungan melanda pikiranku.
"kamu kenapa gak bilang" ujar Ummi, sedangkan aku masih bengong, bingung harus berbuat apa.
"udah Ummi, mending cepetan siapin makan, pasti mereka udah laper" Abi menimpali.
"ya udah, Ummi sama Abi duluan buat nyiapin makan, Kamu keliling bentar sama Ibra" Ucap Umi berlalu kedalam rumah memegang tangan Abi.
Ini surga bukan sih, kenapa rasanya sehangat ini, tadi Sarah yang membuat hatiku hangat, sekarang Ummi dan Abi, apa arti dari semua ini.
Dalam dilanda kebingunganku, Ibrahim menghampiri, Ia langsung memelukku tanpa ragu yang masih disaksikan sarah.
"udah gak usah bingung, nanti Aku jelasin, udah dapet restu kok dari Ummi sama Abi" Ujar Ibra mencium keningku.
"iiiiiiichhhhhh ulang dong pliiiiiis, ini mesti diabadiin" pekik sarah yang berjalan menghampiri kami.
"yeee bocah, ngapain masih disini, sana pergi!" usir Ibra
Sarah mendengus, Ia mengeluarkan Handphonenya dan memotretku yang masih ada di pelukan Ibra, "Oh My Jung-Kook, mimisan parah, yaa ampuun" teriak Sarah berlari masuk kedalam rumah.
"pokoknya kamu harus cerita, ini maksudnya apa, Ibra, kepalaku mau pecah mikirin ini semua" Ujarku melepas pelukan Ibra.
Tapi Ibra malah mempererat pelukan dan mencium pipiku, "mulai sekarang kamu harus panggil aku Mas Ibra" bisiknya ditelingaku.
NEXT PART """
_________________________________________
Gabriel : Ibra cepetan jelasin!
Ibra : gak seru gak ada sesi ngentot.
Gabriel : cepet, tar malem aku kasih jatah.
Ibra : iya Aku jelasin di partku.
_________________________________________
Special part for Intermezzo
Drrttt Drttttt
Handphone lita bergetar, lita yang sedang tiduran dikasurnya menonton Drama BL segera mengklik tombol pause, dia tidak ingin ketinggalan Drama Favoritnya itu.
"hallo, kenapa lus?" Tanya Lita yang langsung mengangkat panggilan telepon saat melihat layar di Handphonenya bertuliskan nama lusi.
"eh lit, lu ditelepon mba mel gak?" Tanya Lusi diujung sana.
"iya, masalah disuruh jadi PJS alias pejabat sementara kan? ngegantiin Ko Briel sama Mas Baim"
"hu'um, bener, dan lu tau gak alesannya?" Tanya lusi lagi.
"enggak, mba mel bilangnya sih Mas Baim sama Ko Briel lagi ada urusan di yogya"
"tadi gua kepo sama mba mel, dan lu tau gak lit mereka ke yogya itu alasannya apa?" Lagi-lagi lusi bertanya yang sepertinya Ia sudah tahu jawabannya.
"apaan, lu tau lus, cepetan kasih tau gua, pliiis" Raut wajah lita seolah tidak sabar.
"Mas Baim ngajak Ko Briel ketemu orang tuanya, itu artinya--"
"Mereka lamaran" Ujar Lita dan Lusi bersamaan.
"Oemjiiiiiii, fix gua mimisan nih, sweet bangett" teriak Lita melupakan Drama BL yang Ia tonton, mereka malah asyik mengobrol tentang Ibrahim dan Gabriel.