webnovel

Tawaran Membingungkan

Wangimu malam ini menamani tidurku,

Membentuk rangkaian mimpi indah untuk kutemui.

Aku terpaku,

Dan aku nyaman.

(Fayez Ghazali)

***

Pagi ini Fayez bangun dengan aura gairah yang berbeda. Ia memandangi wajahnya di cermin. Menyisir rambut yang telah diberi minyak hingga terlihat rapi dan klimis. Tak lupa dengan minyak wangi khas pria yang selalu membuat tubuhnya harum semerbak.

"Lho, Yez. Kamu udah siap aja? Kan ini masih pagi banget," tanya Kania yang baru saja memasuki kamar Fayez.

"Nggak apa-apa, Ma. Fayez mau berangkat pagi soalnya," jawab Fayez dengan senyum menawan.

"Aduh.. Wangi banget sih anak Mama."

Fayez menggaruk belakang kepalanya malu. Apalagi Kania meliriknya seperti tengah menggoda.

"Ah, Mama bisa aja. Fayez jadi malu."

"Apa apa sih sebenernya? Kamu lagi naksir sama cewek?."

Lelaki itu segera menggeleng cepat. Menyangkal semua prasangka Kania.

"Nggak, Ma. Lagian Fayez mau jatuh cinta sama siapa?," tanyanya untuk dirinya sendiri.

"Mana Mama tau. Kamu kan gak pernah cerita sama Mama."

"Udah, ah. Mama mah ngaco. Aku mau sarapan dulu, bye Ma."

Kania menggelengkan kepala maklum. Ia masih berada di dalam kamar sang putera untuk merapikan tempat tidur yang dipakai Fayez.

"Kok dia naro jaket di tempat tidur, sih? Harusnya kan handuk." Kania berjalan mendekati jaket tersebut. Ia menghirup aroma wangi yang berasal dari jaket milik Aksa.

"Wangi banget. Tapi ini mah bukan wangi parfum Fayez. Tapi punya siapa, ya?," gumam Kania yang masih menempelkan jaket Fayez di hidungnya.

"Bau cewek ini mah. Apa jangan-jangan...."

***

Pagi ini aku datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranku. Hatiku berkata, aku harus datang sebelum siswa yang lain datang.

Dan kali ini, aku ingin mengikuti kata hatiku. Ketika aku memasuki gerbang utama, aku melihat Fayez yang sepertinya baru saja memarkirkan kendaraannya. Yang membuatku heran dan takjub, penampilan Fayez hari ini jauh lebih tampan dari hari-hari biasanya.

Rambutnya basah, mungkin karena minyak rambut yang ia tumpahkan di atasnya. Seragam yang masih putih bersih dan sepatu mahal yang menghiasi kakinya.

Aku mengangkat sudut bibirku membentuk sebuah lengkungan. Tak disangka, ternyata seleraku sangat tinggi. Namun, hanya satu yang menjadi beban pikiranku. Apa Fayez juga akan menyukaiku?

Aku menggeleng cepat. Membuang jauh-jauh hal yang tidak mungkin akan terjadi. Aku tidak ingin mati ditengah-tengah harapanku sendiri.

"Aduh...." Aku berseru saat ada seseorang yang menyenggol bahu kiriku.

"Maaf."

Suara itu. Suara berat yang selalu aku rindukan selama ini. Kepalaku mendongak, menatap sosok lelaki tampan yang selama ini menemani tidurku dalam mimpi.

"Ah, Fayez. Nggak apa-apa, kok," ucapku pada si tampan yang masih berdiri dengan wajahnya yang datar.

Kini aku berharap kalau Fayez akan mengulurkan tangannya untuk membantuku. Namun sayang, semua itu tetaplah harapan. Kini ia pergi meninggalkanku yang masih terduduk begitu saja.

"Huh.. Sabar, Dania. Lo harus sabar." Aku tak pernah menyerah untuk menguatkan diriku sendiri. Ketika Fayez menyakitiku, aku akan tersenyum, dan ketika Fayez memutuskan untuk pergi, aku akan bertahan. Aku akan menjadi sosok yang berlawanan untuk Fayez.

Ah, aku tak ingin mengambil pusing atas kejadian ini. Aku mengangkat tubuhku sendiri dan menepuk-nepuk bagian tubuh yang kotor. Kembali aku telusuri jalanan menuju kelas, beratnya tas di punggungku hanya menambah beban hidup saja, dan aku ingin segera mengakhirinya.

Di sepanjang jalan koridor yang masih sepi, aku dapat bersenandung kecil untuk menemani langkah kaki yang berayun seorang diri. Sebari aku memasang earphone ke telinga kanan dan kiriku.

"Ohh...." Aku bernyanyi, mengikuti lirik lagu yang saat ini aku dengar.

Namun sebuah bayangan membuatku menoleh. Dengan sangat terpaksa karena atas dasar rasa penasaran, aku pun menghentikan langkah kakiku.

Di dalam sana, aku dapat melihat seorang lelaki bertubuh tegap yang sedang melakukan sebuah tindakan yang dilarang oleh sekolah. Yaitu merokok. Pelan-pelan aku melangkah semakin dekat, agar dapat melihatnya dengan lebih jelas.

Aku pun menoleh ke arah pintu, sedikit terkejut karena kelas itu adalah tempat di mana Fayez belajar sehari-hari. Berkali-kali aku menggeleng, dan berdoa semoga lelaki yang berada di dalam sana bukanlah Fayez.

Aku membuka jendela yang sesuai dengan ukuran kepalaku. Kumasukkan kepala ke dalam jendela kelas tersebut, menunggu detik-detik di mana laki-laki itu menolah.

"Tidak! Ini tidak mungkin!." Aku menjerit dalam hati. Tatkala wajah itu sedikit menoleh dan sempat kulihat batang hidungnya yang mirip dengan milik Fayez.

Dengan cepat dan terburu-buru aku ingin pergi dari sana. Namun sial, kepalaku terbentur kaca jendela dan membuat si lelaki nakal itu menoleh.

"Fayez. Ternyata dia memang Fayez," gumamku dalam hati.

"Ngapain lo di sana?."

Aku semakin cepat menggerakan tubuh agar bisa segera membebaskan kepalaku dari dalam sana. Namun lagi-lagi kesialan menimpan diriku. Kini rambutku tersangkut pada penyangga jendela.

Wajahku semakin pucat ketika Fayez berlari untuk mendekati diriku.

"Sini lo!."

Benar saja. Ia sudah berdiri di belakang tubuh dan menarik tanganku.

"Fayez, sakit," ucapku dengan lirih.

"Ngapain lo ngintipin gue, hah? Apa gak ada kerjaan lain?."

Aku diam membisu dan menunduk. Aku takut dan tak mampu untuk menatap wajahnya.

"Angkat wajah lo! Gue lagi ngomong sama lo."

Tak kudengar bentakan dari Fayez. Ia berkata sangat lembut namun suaranya terdengar dingin dan membuatku takut.

"Fayez, lepasin...." Aku semakin berani menggerak-gerakan tangan kiriku yang masih berada dalam cekalan Fayez.

"Gak akan. Sekarang lo ikut gue!."

"Aakkhhh...." Tubuhku terhenyak karena Fayez menarikku sedikit kasar. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menangis. Aku takut. Aku menyesal karena telah mengintip Fayez diam-diam.

"Kita mau ke mana? Gue takut."

Fayez tak menjawab. Ia hanya diam membisu dan terus berjalan, menarikku menuju gudang yang berada di dekat toilet.

"Lo ngapain bawa gue ke sini?." Tanyaku sebari menatap matanya yang tak berkedip. Jantungku berdegup kencang, wajahnya dingin dan bibirnya terkatup rapat.

"Karena lo udah liat rahasia yang selama ini gue sembunyiin, gue mau minta pertanggung jawaban dari lo."

Aku mengernyitkan kening karena bingung. "Pertanggung jawaban apa?," tanyaku.

Kulihat Fayez tersenyum miring. Lalu ia mengalihkan wajahnya ke lain tempat. Seolah tengah berusaha untuk menghindar dariku.

"Gue kasih lo dua pilihan."

Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang Fayez katakan.

"Lo harus jadi pacar gue, atau lo jadi pelayan gue selama seminggu."

Tunggu. Aku masih sibuk mencerna pernyataan Fayez. Tubuhku masih terdiam, dan bibirku masih bungkam.

"Gimana?."

Aku mendongak. Tatapanku dan tatapan Fayez kembali bertemu. Aku merasa seolah ada sengatan listrik yang mengalir dari bola matanya yang indah dan memabukkan.

"Lo mau pilih yang mana?."

Fayez kembali bertanya padaku. Sedangkan aku, masih diam bergeming dan entah harus memilih yang mana.

"Pacar atau pelayan?."

Halo, semuanya! Di bab ini aku mencoba sesuatu yang baru. Yaitu menggunakan pov 1 untuk dialog dan narasi. Kalian lebih suka yang mana, nih? Bercerita dari sudut pandangku atau dari sudut pandang tokoh?Kalian bebas berkomentar, ya! Happy Reading *-*

Fenichaancreators' thoughts
Siguiente capítulo