webnovel

Ingvild Leviathan

"Tidak kusangka, ada seseorang yang bisa melihatku."

Gadis itu membuka mulutnya setelah beberapa saat terkejut yang terlihat diwajahnya.

Asheel hanya diam saat dia terus menatapnya dengan tenang. Sedikit keterkejutan melintas saat dia menyadari bahwa keberadaan didepannya bukanlah roh alam ataupun roh mati, tapi hanya jejak jiwa yang ditinggalkan gadis itu, namun bukan itu yang membuatnya terkejut melainkan saat dia menyadari bahwa jiwa itu masih hidup.

"Namaku Ingvild, siapa namamu?"

Nada itu lembut dan menenangkan hati saat dia menanyakan namanya, serta membawa kerinduan didalamnya.

Asheel menatapnya beberapa saat sebelum berkata, "Namaku Asheel Doom, senang bertemu denganmu, nona muda."

Gadis itu, atau Ingvild, membelakakan matanya saat melihat bahwa Asheel menjawabnya, tapi menjadi tenang kembali setelah beberapa saat.

"Maaf, aku hanya terkejut karena ini pertama kalinya aku berbicara dengan seseorang setelah puluhan tahun."

Ingvild meminta maaf dengan sedikit kepanikan saat dia mencoba untuk menundukkan kepalanya.

Dari garis pantai, dia berjalan diatas pasir putih menuju tempat Asheel berada, saat yang terakhir hanya berbaring dan menatapnya.

"Apakah kamu terus terjebak selama ini?" Asheel bertanya saat dia mengangkat alisnya, tertarik dengan gadis muda didepannya.

Ingvild menatapnya sejenak sebelum menutup mata dan menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak terjebak, ini hanyalah sebuah mimpi bagiku."

"Mimpi?" Asheel mengerutkan kening.

"Ya, setelah ini aku akan kembali pada tidurku dan hanya memiliki ingatan kabur tentang kejadian ini."

Asheel hanya menatapnya sebelum membenarkan posisi duduknya. Dia tidak tertarik lagi pada masalah ini dan hanya tertarik pada gadis didepannya.

"Dengan keberadaanku, kamu tidak akan dangan mudah melupakanku." Dia hanya mengatakan kata-kata itu sebelum menghela nafas.

Ingvild hanya menatapnya dengan bingung sebelum mengangguk.

"Suaramu sangat indah, aku menyukainya."

Asheel tidak lupa untuk memuji nyanyian gadis itu. Suara itu berhasil menyenangkan dirinya, yang bahkan makhluk sekelas dirinya sangat menikmatinya.

Ingvild sedikit malu saat dia dipuji begitu tiba-tiba karena ini adalah pertama kalinya seseorang mendengar nyanyiannya setelah puluhan tahun.

"....Walaupun aku sering tidak mengingat mimpiku sendiri, tapi aku tahu bahwa tempat ini akan selalu menjadi tempat dimana aku berada, dan itupun selalu saat setelah matahari terbit. Selama ini, aku terus bernyanyi dihadapan laut, berharap alam akan mendengar nyanyianku."

Suaranya membawa berbagai emosi saat dia mengatakannya, tapi dia senang berbicara untuk pertama kalinya karena sudah lama.

"Jangan khawatir, alam senang dengan suaramu, bahkan tanaman dan hewan juga menyukainya." Asheel mengatakan kebenaran karena dia melihatnya sendiri sebelumnya.

"Benarkah?" Matanya berbinar saat tatapannya sangat mendesak untuk menjawabnya.

"Ya, aku tidak berbohong."

Ingvild tersenyum saat dia berkata, "Aku sering hanyut dalam duniaku saat aku bernyanyi."

"Itu sebabnya kamu tidak mengetahuinya."

"Ya, aku senang kamu menyukainya." Ingvild tersenyum dan berkata dengan sedih, "Aku hanya sendirian disini dan orang-orang tidak bisa melihatku."

Dia lalu menunjuk ke suatu tempat dan ditempat itu, tidak ada apa-apa selain lahan kosong yang sepertinya bekas bangunan.

"Itu adalah tempat dimana aku tinggal sebelumnya, puluhan tahun yang lalu, sebuah rumah berdiri diatasnya. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku disana sebelum aku terkena penyakit tidur yang membuatku terus berdiam diri selama ini." Kali ini, nadanya membawa kerinduan dan ketidakberdayaan.

"Selama ini, hanya laut yang terus menemaniku, dan yang terus menghiburku. Itu sebabnya aku sangat menyukai lautan."

Dari ceritanya, dia berusaha menghibur dirinya sendiri dari kesepiannya yang selama ini dia alami. Walaupun hanya mimpi, setidaknya dia bisa leluasa didalam mimpi karena ini adalah salah satu cara untuk dia bergerak.

"Kamu terus berusaha selama ini. Yah, bahkan laut mengakui keberadaanmu, alam bahkan tidak bisa menolakmu." Asheel berkata dengan tenang saat dia merasakan aura laut pada diri Ingvild.

"Itu karena aku adalah seorang keturunan Leviathan. Juga, aku seorang hibrida Manusia dan Iblis." Bahkan jika ini adalah pertama kalinya mereka bertemu, Ingvild akan memberitahu alasannya. "Apakah kamu membenci Iblis?"

Asheel hanya menggelengkan kepalanya, "Tidak juga, Iblis di era ini tidak terlalu menggigit."

Dia sebelumnya telah menerima ingatan dari salah satu Iblis tingkat tinggi, dan pada saat Empat Raja Iblis yang asli masih hidup, mereka benar-benar membuktikan dirinya sebagai ras yang memegang simbol kejahatan.

Masing-masing dari mereka membawa teror ke seluruh dunia bahkan sampai ke alam lain.

Jika dibandingkan dengan Iblis pada era ini, perbedaannya terlalu banyak saat Empat Satan yang sekarang kebanyakan menjunjung kedamaian untuk mempertahankan keberadaan ras mereka, bahkan salah satunya menciptakan Evil Piece untuk mengisi kekosongan ras dengan mengubah ras lain menjadi Iblis.

Bagaimanapun, Ingvild tidak tahu situasi dunia luar dan bahkan jika dia tahu, dia hidup setelah era Perang Saudara Iblis dan tidak pernah berinteraksi dengan Iblis lain karena seumur hidupnya dia hanya tinggal di pesisir pantai bersama orang tuanya, dan tidak terlalu memperhatikan dunia supernatural.

Sebagai hasilnya, dia hanya tertawa setelah mendengarkan perkataan Asheel. Tapi didetik berikutnya, ekspresinya meredup saat merasakan cahaya matahari yang semakin naik.

Tidak tahu apakah dia sadar atau tidak, tapi setiap dipagi hari, disekitar tempat ini akan menampilkan kedekatan alam yang luar biasa dan lingkungan sendiri memberkatinya, mengirim Ingvild sebagai pemberkat dengan cahaya matahari saat dia akan tidur dalam kegelapannya.

"Aku tidak bisa terus berada disini karena sudah waktunya aku pergi. Terima kasih, Asheel-kun, karena telah berbicara denganku. Aku senang sekali kamu bisa menemaniku."

Ingvild berkata dengan suara lembut tapi didalamnya mengandung kesedihan, walau begitu dia sudah bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk mengobrol dengan orang lain.

"Apakah kamu ingin keluar dari kegelapan yang selama ini terus menyelimutimu?" Alih-alih mengirimnya pergi, Asheel malah memberinya pilihan dan harapan.

Mata Ingvild membelalak karena terkejut saat dia mendengarnya, dia tidak berpikir ada orang yang bisa menyelamatkannya karena selama ini belum ada yang bisa melakukannya.

Iblis yang terkena penyakit tidur hanya bisa mempertahankan hidupnya melalui artifisial, karena tubuhnya akan melemah seiring berjalannya waktu dan jiwanya juga akan tercemar. Oleh karena itu, artifisial digunakan untuk mempertahankannya.

Mungkin hanya Dewa Olympian yang dia tahu yang bisa membantunya, dan selain itu tidak ada yang bisa dipikirkan olehnya.

"...Bagaimana?" Ingvild bertanya dengan harapan dimatanya.

"Bahkan jika aku tidak membantumu, kamu masih bisa bangun dengan sendirinya. Yah, selama kamu terus bernyanyi dihadapan lautan."

Asheel mengeluarkan rokok dari sakunya dan membakar ujungnya dengan api yang muncul dijarinya. Merokok saat musim dingin adalah yang terbaik, sayangnya tidak ada coklat panas atau kopi.

"Benarkah?" Ingvild bertanya dengan ragu-ragu.

"Ya, saat kamu berada disini, energi dilaut akan mengalir kepadamu, membuatnya secara paksa memanifestasikan Sacred Gear yang berada didalam tubuhmu terbangun, dan dengan itu kamu bisa bangun dengan sendirinya."

"... Hanya dengan melihatku, kamu bisa mengetahui beberapa kondisiku. Luar biasa ..."

Ingvild mau tidak mau harus kagum terhadap Asheel karena hanya dengan melihatnya, yang terakhir mampu melihat melaluinya dengan mudah.

Asheel masih acuh tak acuh saat dia terus berkata, "Mungkin butuh waktu sepuluh tahun untuk kamu bisa terbangun secara alami jika kamu terus seperti ini. Disini, aku bisa mempercepatnya secara instan."

"... Bisakah kamu?"

"Ya, selama kamu mempercayaiku!" Asheel berkata dengan percaya diri.

"Tapi tubuh asliku berada didunia bawah, aku tidak berpikir kamu akan nekat menyerbu Klan Leviathan seperti itu." Ingvild mempernyatakan keprihatinan.

"Tenang saja, aku akan melakukan sesuatu tentang itu. Untuk sekarang tidurlah, dan aku akan segera menghampirimu." Asheel berdiri dan bersiap-siap saat dia menepuk-nepuk celananya untuk menghilangkan pasir yang menempel.

"Ya, aku akan mempercayaimu!"

Ingvild mengatakannya dengan semangat sebelum dirinya melebur menjadi partikel cahaya yang tak terhitung jumlahnya dan menghilang.

Siguiente capítulo