webnovel

Apapun Itu, Aku Tidak Suka

"Aku pikir kamu serius, Fan." Maya menarik nafas lega setelah kepergian Arsyilla dan kedua sahabatnya.

"Kita pulang." Putus Fandi, moodnya hilang setelah bertemu dengan Arsyilla.

"Tapi aku mau belanja." Rengek Maya.

"Next time May," ucap Fandi sedikit menekan ucapannya.

Ia tidak bisa tenang setelah melihat bagaimana acuhnya Arsyilla padanya, dan lagi ingatannya kembali saat pembicaraannya di rooftop.

'Mungkinkah Cia tau' batinnya penuh kekhawatiran.

Maya tidak mempersoalkan jika Fandi benar menyukai Arsyilla, itu akan mudah membuatnya mengakhiri hubungan mereka dan dia bisa fokus mengejar Dhika tanpa pengganggu.

***

Sesampainya di penthouse, Arsyilla langsung masuk kekamarnya tanpa menyalakan lampu ruang tamu, ruangan sangat gelap namun Arsyilla bisa dengan mudah berjalan menggunakan senter ponselnya.

Tidak membuang waktu gadis itu menyegarkan diri dengan berendam di bathub, air dingin menyambutnya dengan aroma mawar yang menyegarkan.

Hatinya masih terasa sedikit sakit melihat Fandi dan Maya, ia tidak menyangka laki-laki yang di anggapnya baik dan hangat ternyata memiliki niat busuk ketika mendekatinya.

"No problem Cia, lebih baik sakit sekarang daripada lo di bodohi dalam hubungan yang toxic," ucapnya pada diri sendiri.

Ponsel Arsyilla sedari tadi berdering tiada henti, entah siapa yang kurang kerjaan menghubunginya di jam malam seperti ini.

Arsyilla tidak mungkin mengangkatnya, ia sudah tertidur pulas ketika selesai berendam.

Sementara seorang pria yang baru saja mendarat di belahan bumi yang lain sudah berang karena panggilannya tidak di jawab oleh remaja yang berstatus istrinya.

"Gadis ini sungguh mudah membuat darahku mendidih," gumamnya.

Ia mengirimkan pesan lebih dari sepuluh kali pada Arsyilla namun tidak satupun di baca.

"Apa sesibuk itu dirimu?" Omel Dhika sambil menatap ponsel.

Supir yang membawa Dhika mengerutkan alis karena bingung dengan sikap Bosnya.

Yang menjemputnya adalah salah satu orang kepercayaannya yang menjalankan bisnisnya di America.

****

Arsyilla menyambar tas dan ponselnya lalu dengan segera berangkat sekolah, ia hampir terlambat karena tidurnya sangat nyenyak.

"Nona, mari saya antar." Suara Bodyguard yang semalam mengantarnya mengintrupsi saat Arsyilla tiba di lobi.

"Ya Tuhan! Kalau muncul jangan tiba-tiba dong! Jantung gue nggak ada cadangannya." Omel Arsyilla.

"Maaf Nona." Bodyguard tersebut menunduk hormat, membawa Arsyilla menuju mobil.

"Lo nggak pulang?" Tanya Arsyilla setelah duduk di kursi penumpang.

"Saya tinggal tiga lantai di bawah anda," jawabnya.

"Nama lo siapa? Terus gue panggilnya apa? Keliatannya lo lebih tua dari kepala sekolah gue."

"Panggil saja saya Boy," ucapnya.

"Wih nama lo keren bener." Boy tersenyum kecil mendengar penuturan remaja yang sudah menjadi majikannya ini.

"Lo single?"

"Saya sudah berumah tangga, punya satu putra." Arsyilla mengangguk kecil, ia merasa nyaman sekarang.

"Lo, eh maksud gue. Aih susah bener. Maksud saya, pak Boy nggak perlu nungguin saya, ntar kalau saya butuh sesuatu, saya hubungi." Bodyguard bernama Boy itu tersenyum lalu mengangguk sopan.

Arsyilla tidak mungkin ber lo - gue sama pria yang usianya sangat jauh, cocok menjadi pamanya.

****

Tepat lima menit sebelum bel, Arsyilla sudah sampai di sekolah, asal sudah lewat pintu gerbang dia sudah merasa aman, meskipun bar-bar Arsyilla paling anti telat kesekolah.

"Hai yayang Cia!" Seru Alex begitu melihat mantan pujaan hatinya.

"Oh, hai Alex, tumben lo rapi." Arsyilla melihat penampilan Alex yang beda dari biasanya.

"Harus menampilkan sosok goodboy kalau mau dapet pacar, bukan jadi gebetan aja." Arsyilla terbahak mendengar sindiran Alex.

"Jadi diri sendiri lebih worth it Lex, jangan maksa terlihat baik, padahal bullshit." Arsyilla mengingat sosok Fandi.

"Ya tapi kalau gue begini terus mana ada yang mau," lirih Alex, si tampan yang supel.

"One day ada kok yang bakal cinta mati sama lo, percaya sama gue." Arsyilla menepuk pundak Alex lalu masuk kedalam kelas dan bertemu pandang dengan Maya.

"Apa liat-liat?" Ketus Arsyilla, dia bukan tipe gadis yang menghindar jika menyadari jika seseorang sedang memperhatikannya.

"Pd banget lo, siapa juga yang ngeliatin." Maya tak kalah ketus.

"Oh baru tau gue, lo itu juling." Seisi kelas tertawa mendengar ucapan sarkas Arsyilla.

Gadis itu berjalan kearah bangkunya dengan perasaan puas, sementara Alex sudah kembali ke kelasnya, tujuannya datang memang hanya untuk menyapa Arsyilla.

Ternyata menyukai Arsyilla sebagai teman lebih menyenangkan baginya.

Seketika ia kembali menjadi urakkan, benar kata Arsyilla jika dia harus menjadi apa adanya, pasti ada cewek yang nemplok karena bisa menyukai gaya dan kepribadiannya.

"Lo di cariin Gabriel," ucap Cecillia.

"Buat apa?" Cecillia mengedikkan bahu, sebab pemuda itu tidak mengucapkan apapun.

"Kangen kali," sela Zanetha yang sibuk menata poninya.

"Kangen ndasmu," sahut Arsyilla.

"Dih kenapa? Walaupun mantan gebetan nggak boleh gitu kangen?" Tanya Zanetha sewot.

"Kok kesannya lo yang maksa mesti gitu yang sebenarnya sih?" Kesal Arsyilla.

"Masih pagi, bisa gak ribut?" Cecillia menatap jengah keduanya.

"Sahabat lo tu!" Seru keduanya, lalu di detik berikutnya mereka terbahak, Cecillia hanya bisa geleng kepala.

"Ci, nyokap gue kaget liat belanjaan gue, lebih tepatnya merk barang yang gue beli."

"Iya nyokap gue juga," timpal Cecillia.

"Lo berdua bilang apa sebagai alasan?"

"Cia menang lotre!" Seru keduanya.

"Kok bisa bareng jawaban kalian?"

"Udah sepakat dong, sebab nyokap kita pasti nanya satu sama lain." Arsyilla hanya beroh ria, ia lupa ibu mereka kan teman arisan, sahabat kayak ulat bulu juga.

"Gue perhatikan mood lo lagi baik deh, seneng aja bawaan." Dari kemarin Zanetha mengamatinya.

"Gimana nggak, musuh bebuyutannya kan nggak masuk." Cecillia yang menjawab.

"Ulu..., ulu..., Cecil tau aja deh." Cecillia ngeri kalau Arsyilla udah bersikap seperti ini.

"Jijik gue." Cecillia langsung balik hadap kedepan, Arsyilka terbahak.

"Gue kangen my future husband," lirih Zanetha.

"Kali ini gue yang jijik liat lo, Neth." Arsyilla fokus pada buku pelajaran karena bel telah berbunyi.

*****

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, setelah beristirahat sebentar karena penerbangan, Dhika langsung pergi menuju rumah sakit, ia tidak sabar untuk bertemu dengan kekasihnya itu.

Mobil membawa Dhika dari penthousenya menuju salah satu rumah sakit terbesar di America, ia pergi keruangan VIP tempat kekasihnya di rawat.

Saat akan masuk ia mendengar suara tawa kekasihnya, tanda wanita itu tidak sendiri.

Ceklek

Kedua orang yang sedang bercengkrama langsung menoleh kearah pintu masuk, alangkah terjekutnya gadis yang duduk di kursi roda melihat sosok yang kini berdiri di depan pintu, menatapnya tajam.

"Dhika?" Elleana menyebut nama pria itu dengan tidak percaya.

"Terkejut?" Dhika berjalan masuk, meletakkan barang bawaannya di atas meja lalu mndekati balkon.

"Kenapa di luar, ini sudah malam. Anginnya tidak baik untukmu." Dhika mengabaikan pria berwajah eropa yang memakai seragam dokter.

"Dhika, kenalin ini Dokter Willy yang merawat aku selama ini," ucap Elleana memperkenalkan Dokter tersebut pada kekasihnya.

"Wlliy." Pria itu dengan ramah mengulurkan tangan.

Setelah beberapa detik baru Dhika menyambut uluran tangan tersebut.

"Mahardhika." Tegasnya.

"Nice to meet you dude, aku pergi dulu." Tak lupa Willy berpesan agar Elleana istirahat lebih awal.

"Kenapa tidak memberi kabar?" Dhika mendorong kursi roda menuju ranjang.

"Jika memberi kabar, aku tidak akan melihat adegan romantis tadi," sarkasnya.

Dhika menggendong Elleana dan membaringkannya di kasur.

"Ayolah yang kamu lihat tadi bukan adegan romantis, kami hanya mengobrol." Elleana mengerti seposesif apa kekasihnya ini.

"Apapun itu, aku tidak suka." Tegas Dhika.

selamat membaca ya, kami bahagia jika kalian meninggalkan jejak cinta sebagai wujud dukungan yang tak ternilai buat kami.

we love u guys :)

Ardhaharyani_9027creators' thoughts
Siguiente capítulo