webnovel

Episode 14 : Sowan Gus Roy

"Hari sudah hampir malam, kita harus mencari Sulastri sekarang!"

"Tapi dimana kita akan mencarinya? Pasti dia sudah mati ditangkap oleh warga sekitar."

"Din, kau jangan ikut campur. Biarkan aku, mas Piet dan Yuli akan mencari Sulastri. Kau lebih baik berjualan saja."

"Berjualan?! Semudah itu kau berbicara?! Kalau bukan karena rasa ibaku melihatmu, aku tak akan mengizinkanmu untuk tidur di warungku, Dul!"

"Sudah aku bilang ini bukan urusanmu, Din!"

"Hei kriwul! Jaga ucapanmu!"

Cak Dul tersinggung mendengar perkataan "kriwul" yang keluar dari lidah Udin sebegitu luwesnya tanpa berpikir panjang. Pukulan langsung dilayangkan tepat ke arah pipi kanan Udin hingga membuatnya tersungkur meninggalkan luka memar. Udin paham bahwa cak Dul adalah mantan preman sekaligus pekerja kasar yang sudah berkeliling di berbagai kota sehingga pengalaman dalam berkelahi pasti lebih banyak daripada Udin yang semenjak kecil hanya mengerti berjualan saja.

"Aku sayang denganmu, Din. Aku sebenarnya tak ingin melibatkanmu. Tapi tolong dengarkan dulu, aku dan mas Piet yang punya masalah. Bukan kau! Aku tak ingin Raden Farid dan dedengkotnya mencabut nyawamu."

Mas Piet membangunkan Udin yang masih susah untuk bangun setelah terhantam bogem mentah dari cak Dul sampai membuatnya hampir pingsan. Sementara itu Yuli menenangkan cak Dul agar emosi dalam dirinya bisa mendingin dan tidak ada lagi keinginan untuk memukul Udin kedua kalinya.

"Mas, sudah jangan marah lagi. Kita bisa bicarakan ini dengan mas Roy. Akan kubujuk dia untuk melacak Sulastri."

"Ah, aku kapok ketemu sama abangmu lagi. Nanti ujung-ujungnya cuma diajak basa-basi enggak jelas. Atau enggak disuruh menghabiskan makanan dan minuman di kedainya sampai perut menggembung."

Yuli memegang erat tangan cak Dul sambil meremas-remas perlahan layaknya pengantin baru yang keluar dari KUA. Tapi sayangnya raut muka cak Dul belum menampakan tanda-tanda riang gembira layaknya anak kecil dibelikan permen lolipop oleh ibunya. Mas Piet masih belum sempat menghibur cak Dul karena kedua tangannya membersihkan meja dan kursi angkringan milik Udin. Selembar kanebo basah menyapu semua kotoran debu dan daki pelanggan yang sembrono menggaruk-garuk tanpa ditiup atau dibersihkan lalu menempel di meja hingga terlihat mengkilap. Mas Piet masih mengantuk dan berulang kali menguap sampai hampir saja tawon ndas masuk ke kerongkongannya.

"Bang Udin! Tuh sudah aku bersihkan semua meja dan kursimu mulai dari sela-sela kaki sampai seluruh tubuh mengkilap semua. Daki, upil, debu, sampai mayat kutu pun lenyap seluruhnya."

"Ah terima kasih bang Piet. Kita memang baru saja bertemu dan saling kenal. tapi sifat rajin serta suka menolong membuat aku suka padamu." Mas Piet menggeser tubuh gemuknya dan melakukan langkah ke kiri, takut si Udin sudah tidak normal alias homo.

"I-iya, sama-sama bang Udin. Aku juga senang bisa membantumu untuk merapikan warung angkringanmu. Semoga hari ini daganganmu laris ya, bang."

"Aamiiin. Hem, ngomong-ngomong kamu dan Dullah kerja dimana?"

"Jaraknya lumayan jauh sih, bang. Keluar dari gapura 'Selamat Datang di Kabupaten Lamongan' terus agak lurus sedikit lah nanti di kanan jalan ada warung kopi Pantura."

"Emm, ternyata mental kalian sudah keras bagai baja ya.

"Memangnya kenapa. bang?" Kali ini mas Piet berpura-pura tidak tahu menahu tentang asal-usul tanah tempat dia dan cak Dul berjualan. Padahal saat pertama kali berjualan kopi, teror telah mengancam mereka sampai nyawa taruhannya. Mas Piet juga heran mengapa dia rela menyerahkan dirinya kepada cak Dul untuk menjadi partner jualan kopi di tempat horor itu. Ia bisa mencari beasiswa kuliah atau kerja di kota yang memiliki gaji lebih tinggi. Mungkin karena cak Dul adalah sahabat karibnya, itulah alasan mas Piet tetap mengabdi sepenuh hati membuat kopi nikmat untuk pelanggan kepada tercinta.

"Ya, aku dengar dari omongan pelanggan daerah perbatasan Gresik dan Lamongan sering ada penampakan makhluk halus."

"Ah, masa? Jangan-jang.." Lidah mas Piet mendadak kaku seperti ada yang menahan dan menarik keluar dari mulut. Seluruh otot-ototnya kaku tak bisa bergerak kemana-mana. Dari belakang telinga berhembus angin dingin membisikkan mantera-mantera yang tidak dimengerti oleh mas Piet. Diangkat tangannya untuk menepuk bahu Udin tapi sayangnya tak bisa. Tanpa disadari dan tanpa ada perintah dari otaknya kedua tangannya lurus sejajar menyamping seperti patung Rio de Jeneiro di Brazil.

"Mas, kamu ngapain sih?" Cak Dul meletakan kembali kedua tangan mas Piet di pahanya yang gemuk. "Ajaib!" Gumamnya dalam hati. Barusan saja ia mengalami otot beku yang membuat seluruh tubuhnya seolah membeku dalam es, tapi saat disentuh oleh cak Dul seluruh ototnya lemas kembali.

"Cak, kok aku merasa aneh ya?"

"Ya kamu itu yang aneh. Hari mau malam kok malah senam aerobik. Lama-lama tak masukin rumah sakit jwa nanti."

"Ada apa ya cak?"

"Aku dan Yuli mau ke kedai Panji Bukan Petualang. Mau ada urusan sama Gus Roy. Kamu disini dulu ya bantu si Udin."

"Lah terus, cak? Warung kita bagaimana?"

"Aku enggak mau urus dulu, mas. Sulastri harus ditemukan dulu baru kita lanjutkan jualan."

Dalam sekejap mata Udin merangkul mas Piet sambil memperlihatkan seluruh gigi depannya yang belum disikat dari pagi. "Tenanglah, Dul. Pasti sobat kita tercinta akan kujaga selama kalian pergi. Sudah sana, kalian kencan dulu."

Udin langsung membawa menuju angkringan diikuti gerakan tangan mengusir cak Dul agar segera pergi bersama Yuli. Cak Dul menaiki motor RX King yang sudah seharian tidak dipanaskan. Pasti mesinnya kedinginan akibat angin malam serta embun pagi yang begitu dingin. Dipasangkanlah kunci ke kepala motor kemudian kaki kanannya mendorong double starter sebanyak tiga kali. Asap knalpot membumbung ke udara menyebabkan polusi kecil di area Paciran dan sekitarnya.

"Mas." Yuli menatap cak Dul dengan muka sedih. Ia masih khawatir nyawa cak Dul akan hilang malam ini secara mendadak. Firasat Yuli jauh lebih kuat melebihi firasat seorang ibu kepada anaknya. "Aku akan terus bersamamu. Jika kau mati juga, aku rela jika mati bersamamu malam ini."

"Ah jangan ngaco melulu deh. Kalau ingin aku hidup, ayo naik!"

"Eh iya. Baiklah mas."

Untuk pertama kalinya cak Dul membonceng Yuli di belakang motor bututnya. Ia tahu Yuli adalah teman kecilnya namun bertahun-tahun tak pernah semesra ini. Sejak kejadian cak Dul mengotori pakaiannya, Yuli tak pernah bertegur sapa dengan cak Dul bahkan saat bertemu pun, Yuli selalu memalingkan pandangan seolah cak Dul tidak ada. Saat beranjak dewasa, cak Dul lebih berfokus pada pekerjaan sedangkan Yuli berfokus pada apa yang diingkan. Masih misterius apa keinginan Yuli. Walaupun jutaan lelaki datang ke rumah untuk melamarnya, tidak satupun yang cocok di mata Yuli.

"Yul, kenapa sih kamu sekarang berbeda?"

"Berbeda gimana sih, mas?"

"Engg, kok aku merasa enggak enak saja kalau kamu manggil aku mas. Enak Dullah saja."

"Suka suka aku dong."

"Kamu berbeda loh."

"Lah iya bedanya itu dari mana?"

"Ya beda lah perlakuanmu ke aku. Dulu dan sekarang berbeda."

"Lah terus kenapa, mas?"

"Ya enggak apa-apa sih."

Percakapan mereka berhenti tepat di depan warung kopi terbuka milik Gus Roy. Sang pemilik seperti biasa berada di gubuk menikmati rokok kretek dan secangkir kopi hitam. Jika yang melihat orang biasa, dia seperti orang gembel yang tak memiliki rumah dan masa depan yang jelas dengan hidup berpindah kesana kemari. Dengan baju serba hitam dari celana silat, baju safari hitam dan blangkon hitam. Rasa-rasanya Gus Roy adalah titisan genderuwo.

"Assalamu'alaikum, Gus."

"Ah elu lagi, Dul. Pergi sana loh jauh."

"Kakak, kita butuh bantuanmu." Yuli angkat bicara dengan nada serius. Memang kakak beradik ini sangat jarang bertemu dan bertegur sapa. Namun karena Yuli adalah adik tercinta dari Gus Roy, ia mempersilakan mereka masuk dan menemuinya.

"Ada apa, dik? Tumben kau mau mengajak si kriwul kesini?

"Ada masalah, mas. Raden Farid sedang mencari Sulastri yang kabur."

Siguiente capítulo