3
Namun aku tidak mendapat kesempatan lebih banyak lagi.
"Apa maksudmu dengan 'insiden'?" Aku baru saja akan bertanya, tapi hampir menggigit lidahku keras-keras. Jadi, aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Dan bahkan bila aku secara ajaib bisa, perkataanku tidak akan pernah sampai ke telinga Kunagisa, atau telinga orang lain, termasuk telingaku sendiri.
Semua akan tenggelam oleh kebisingan lainnya. Getaran hebat.
Aku segera menyadari gempa bumi sedang berlangsung.
"Gah!" seru Shinya.
"Semuanya, tolong, tetap tenang!" desak Hikari. Profesinya menuntut agar dia tetap tenang apa pun yang terjadi. Tapi aku hampir tidak menerima nasihatnya.
Maki, yang kelihatannya telah menantikan gempa bumi selama ini, berbaring di sofa tanpa sedikit pun khawatir.
Aku mencoba mengingat apa yang telah kupelajari tentang gempa bumi di tahun pertamaku di sekolah menengah pertama, ketika aku masih di Jepang. Seharusnya gempa dimulai dari getaran kecil, dan kemudian kian membesar. Aku tidak bisa mengingat mana gelombang S dan mana gelombang P, atau mencari tahu mana yang horizontal dan mana yang merupakan getaran vertikal, tapi itu bukan masalah.
Bagaimanapun, kekuatan guncangan telah melonjak beberapa tingkat. Dalam kepanikan, aku mendorong Kunagisa─yang ekspresinya berkata "Aku tidak tahu apa yang terjadi"─ke atas sofa dan menjatuhkan diriku ke atasnya. Ada lampu gantung tepat di atasnya. Jika itu jatuh, dia tidak akan mungkin selamat dengan perawakan kecilnya itu. Itulah yang kupikirkan.
Namun usahaku agaknya sia-sia, karena tak sampai beberapa saat kemudian, goncangannya mereda. Tentu saja, ketika aku mengatakan "tak sampai beberapa saat kemudian," maksudku menurut ukuran waktu sebenarnya. Bagiku, rasanya hanya sedikit lebih cepat dan mengerikan daripada menaruh tanganmu lima menit di atas kompor.
Pada kenyataannya, guncangan itu mungkin berlangsung kurang dari sepuluh detik.
"Sudah berakhir?" Tanyaku, masih di atas Kunagisa.
"Ya," sahut Maki. Perkataan itu bak seorang nabi, dan kemungkinan bisa dipercaya. Sementara itu, Kunagisa mengerang dengan wajah terkubur di sofa, jadi aku turun darinya untuk saat ini.
"Gempa… Cukup besar. Aku ingin tahu berapa skalanya," kata Shinya sambil melihat sekeliling ruangan. Gelas dan botol di atas meja semua berjatuhan, dan Hikari refleks sudah mulai membersihkan.
"Maaf, Hikari. Aku mau pinjam telepon. Aku mengkhawatirkan Kanami."
Shinya menunjuk telepon rumah. Hikari mengangguk. Shinya pun lantas pergi menuju telepon putih dekat lemari.
"Hikari, apa kamu punya radio atau sesuatu?" Aku bertanya. "Aku ingin memeriksa level gempa. Oh, Tomo, bisakah kamu mencarinya di internet?"
"Yah, mungkin sudah disiarkan pada buletin berita terbaru. Kita secara teknis berada di prefektur Kyoto sekarang, bukan? Atau mungkin bukan?"
"Gempa itu level 3 atau 4. Aku tidak bisa menentukan episentrumnya, tapi mungkin di sekitar Maizuru, di mana levelnya sekitar 5," tandas Maki tanpa basa-basi. "Dan kelihatannya tidak banyak korban luka, bahkan di daerah perkotaan."
"Bagaimana kamu tahu?" Mungkin kurang elegan bagiku untuk mengajukan pertanyaan seperti itu, tapi rasanya wajar saja untuk mengatakannya.
Dia menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sepertinya aku sudah memberitahumu, aku tahu saja. Kamu mungkin pintar, tapi kamu pasti lelet berpikir. Tampaknya juga tidak mampu mengingat banyak. Hei tunggu, bukankah itu artinya kamu bodoh? Apa pun, intinya aku bisa melihat hal-hal ini dengan kontras seperti siang hari. Ibuki dan yang lainnya semuanya baik-baik saja."
"Ah, peneropongan jarak jauh dan clairaudience, bukan?"
Jarak bukanlah faktor baginya. Dia bisa melirik TV di suatu tempat jauh di seberang laut dan memprediksi akan muncul apa di sana selanjutnya. ESP majemuk.
Namun bahkan jika dia baru saja mengada-ada, tidak ada cara untuk memastikannya. Dia tidak bilang apa pun yang tidak bisa diselesaikan dengan beberapa penjelasan.
Setidaknya, mansion itu memang benar tidak mengalami kerusakan parah. Senang mendengarnya.
Shinya kembali usai membuat panggilan telepon. "Kanami baik-baik saja," katanya. "Dia bilang dia ada di studio. Beberapa kaleng cat jatuh dari rak. Kedengarannya merepotkan, tapi setidaknya dia tidak terluka."
"Haruskah kamu pergi ke sana?"
Dia itu pengasuhnya, dan bahkan bila bukan, dia pasti tetap mengkhawatirkannya, mengingat dia tidak bisa berjalan.
Tapi dia merentangkan tangannya dan berkata, "Tidak, tidak perlu. Dia mungkin akan marah kalau aku pergi ke sana."
"Mengapa kamu bilang begitu?"
"Sebab dia menyuruhku jangan datang," jawabnya dengan ekspresi kerendahan hati bernada sedih. "Dia bilang sedang bekerja sekarang. Malah, dia sedang mengerjakan potretmu. Kedengarannya dia akan mengubahnya menjadi mahakarya, jadi sebaiknya aku tidak mengganggu dia."
"Bahkan dengan bakat Ibuki, tidak ada harapan bila model yang dipakai begitu lusuh…"
"Kamu benar-benar membenciku, ya?"
"Yap," Maki mengangguk. Wajahnya lurus.
Ya ampun.
Nah, terserah. Begitulah hidup bagiku.
Aku melihat ke arah Hikari.
"Apa ini kerap terjadi di sini? Gempa bumi, maksudku."
"Tidak sering, sungguh… Shinya, kamu mengalami beberapa, kan?"
"Ya, tapi yang satu ini luar biasa besar."
"Aku ingin tahu apa ada mebel jatuh. Aku sedikit kuatir."
"Jika kamu mau merapikan barang-barang, akan kubantu."
"Tidak, itu tidak perlu. Kami akan menanganinya besok dipandu Rei."
Hikari mengedipkan senyum manis. Jika dia seorang ibu, anak-anaknya pasti akan tumbuh baik. Kalau kita tidak bertemu di tempat seperti ini dalam keadaan begini, aku pasti sudah jatuh cinta padanya. Atau paling tidak, kupikir aku akan jatuh cinta. Mungkin tidak akan pernah terjadi, tapi kupikir begitu.
"Tee hee. Ini gempa bumi pertamaku setelah sekian lama," gumam Kunagisa sambil menggaruk rambut birunya dan akhirnya bangkit dari sofa. "Aku ingin tahu apa komputerku baik-baik saja. Seharusnya tidak terjadi apa-apa. Jika episentrumnya berada di Maizuru, kondominiumku juga akan baik-baik saja. Wah, ini mengingatkanku kembali gempa besar Hanshin. Beri tahu aku, Iichan, kamu sudah berada di Houston pada waktu itu, kan? "
"Ya, kupikir iya." Samar-samar aku ingat pernah melihat berita tentang gempa itu di kamar sempitku di Amerika.
"Waktu itu sangat sulit bagiku. Aku masih di Kobe saat itu. Sebagian besar komputerku benar-benar rusak berat. Aku terperanjat."
Apa "terperanjat" kata paling tepat untuk menggambarkan keadaan kala itu?
"Lalu, bukankah seharusnya kamu khawatir dengan komputermu? Kamu pasti sudah kenyang makan keju sekarang. Ayo kembali ke kamarmu."
Waktunya pun tepat, jadi kuputuskan untuk meninggalkan ruang tersebut. Rasanya aku tidak akan sanggup tetap tenang jika aku harus berbicara dengan Maki lagi. Sepertinya saat yang tepat untuk berpisah.
Seolah-olah membaca setiap pikiranku, tatapan Maki membakar lubang di punggungku, dan aku mesti mengerahkan sekuat tenaga cuma untuk mengabaikannya. Aku meraih lengan Kunagisa dan membawanya kembali ke kamar.
Tiga PC (maksudku dua PC dan satu workstation) di kamarnya terletak masih aman di rak komputer, dan ruangan itu tidak menderita kerusakan berarti.
Kunagisa menguap lebar dan menggeliat. "Aku akan pergi tidur sekarang. Perut kenyang memang bikin mengantuk, ya? Iichan, lepaskan ikatan rambutku."
"Lakukan sendiri, oke?"
"Ayolah, sulit untuk melepas kuncir ini sendirian. Aku tidak fleksibel. Bukannya aku tidak bisa melakukannya, tapi aku mungkin akan melukai diriku sendiri. Aku pernah mematahkan tulang seperti itu, tahu."
"Aku mengerti, aku mengerti. Kamu benar-benar menggemaskan, kamu tahu itu?"
Aku melepas pita dari rambut Kunagisa dan menyisirnya. Tomo Kunagisa tertawa kecil nan nakal. Setelah selesai, dia pun terjun ke tempat tidur. Dia membenamkan dirinya ke kasur putih dan berguling-guling gembira.
"Lepaskan mantel itu. Berapa kali harus kuberi tahu? Dan apa kamu tidak kepanasan?"
"Mantel ini memiliki kenangan khusus yang melekat, jadi ini pengecualian."
"Kenangan, ya?"
Kenangan apa itu? Bahkan peramal tersayang kami yang diberkahi ESP, Maki Himena, tidak bisa membaca pikiran atau masa lalu Kunagisa ... Mungkin ada hubungannya dengan Tim itu.
"Omong-omong, Iichan, hubungan Kanami dan Akane memang buruk, tapi kamu dan Maki tampaknya juga kurang cocok."
"Yah, rasanya dia melecehkanku tanpa alasan," kataku, memikirkan tentang betapa miripnya ini dengan perkataan Kanami. "Aku tidak punya masalah dengan dia pribadi."
"Ya, menurutku juga sama. Kamu tidak cukup agresif untuk membenci orang atau merasa sakit hati. Seburuk-buruknya, kamu merasa sedikit kesal saja, bukan begitu?"
"Itu pikirmu? Menarik."
"Hanya bercanda," dia mencibir dan menahan senyum. "Tapi Iichan, kamu benar-benar tidak pernah jatuh cinta dengan seseorang sebelumnya, kan?"
"Tidak."
"Aku suka sisi dirimu itu."
Terkekeh.
"…"
Aneh. Dia nampak bergairah. Aku bertanya-tanya apa mungkin ginger ale itu sebetulnya anggur. Aku belum pernah melihatnya mabuk sebelumnya, jadi aku tidak bisa membayangkan seperti apa saat dia teler.
Omong-omong, Tomo.
"Vat eez eet?"
"Apakah kamu percaya pada kekuatan super?"
"Hmm… Bila itu ada, aku tidak akan keberatan sama sekali," katanya sambil menyeringai. "Aku tidak benar-benar menginginkannya, namun kau selalu bisa bermimpi. Lebih baik Sinterklas ada daripada dia tidak pernah ada, bukan? Seperti itu."
"Kamu santai sekali."
Dia tidak keberatan. Hmm, memang.
Tak kuduga jawabannya berwawasan. Ada atau tidak, hal itu tidak akan banyak berpengaruh pada kehidupan sehari-hariku. Kecuali sekarang, ada sedikit pengecualian.
Sebab kami berada di pulau ini?
Sebab kami berada di pulau ini.
"Aku akan kembali ke kamarku dan beristirahat pula. Sampai jumpa besok. Andai kamu berencana tidur sekarang, aku akan membangunkanmu besok, jadi ayo kita sarapan bersama."
"Hei, Iichan," Kunagisa, masih berbaring telungkup di tempat tidurnya, memanggilku. "Ayo main-main."
Dia memanggilku.
Aku berhenti sebentar.
"Tidak," tandasku.
"Hmph! Tak berguna. Pengecut! Pai ayam!"
Ya, ya, kataku, dan menutup pintu, menuruni anak tangga, dan berjalan menuju gudang tempat aku menginap. Akan mengerikan bertemu Maki di lorong atau semacamnya, namun untungnya hal itu tidak terjadi. Mungkin dia masih sibuk mengobrol dengan Shinya.
Ketika sampai di kamarku, aku menyadari pintunya terkunci. Mungkin seharusnya bukan sesuatu yang mengejutkan, mengingat ruang ini sebetulnya ruang penyimpanan, tapi aku tidak bisa menahan diri membayangkan terjebak di dalamnya jika seseorang mengunci gembok selama aku tidur. Tidak mungkin aku bisa mencapai jendela bahkan bila aku berdiri di atas kursi, jadi citra sebuah sel penjara memang terkesan sungguhan. Kembali lagi, tidak ada untungya juga mengurungku, jadi itu mungkin hanya kekhawatiran berlebihan.
Aku masuk, meringkuk di kasurku, dan menatap langit-langit sambil berpikir.
"...…"
Aku tentu saja memikirkan apa yang Maki katakan sebelumnya.
Ya ampun, bagian ini cukup mencengangkan. Kamu tetap di sisinya sebab cemburu padanya. Dan meskipun kamu iri atas kemampuan Kunagisa untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dia entah bagaimana nampak kurang bahagia, terlepas dari apa dia benar-benar bahagia atau tidak. Kamu melihat gadis ini punya semua yang kamu inginkan dan dia dapat melakukan semua hal yang tidak dapat kamu lakukan, namun dia masih, entah kenapa, belum bahagia, dan itu membuatmu merasa lebih baik. Hal itu membuatmu merasa tidak keberatan andai kamu tidak bisa memperoleh keinginanmu.
"Ha!"
Sial.
"Dia benar sekali…"
Akane dari Tujuh Orang Gila menggambarkan Kunagisa dan aku sebagai pasangan saling kebergantungan satu sama lain, tapi sebenarnya, pendapat Maki lebih mendekati.
Bagiku, Tomo Kunagisa mewakili hal yang paling kuinginkan.
Tidak, bukan itu. Bukan itu. Bagiku, dia dulu…
Dulu…
"Dulu apa?"
Alasanku memilih universitas di Kyoto daripada Kobe yaitu karena dia pindah ke Kyoto. Aku juga tidak dapat menyangkal dia itu salah satu alasanku meninggalkan Houston.
Mengapa kulakukan semua itu?
Seperti yang dikatakan Kunagisa, aku tidak cukup agresif untuk memiliki perasaan seperti cinta atau benci. Bahkan kalau seseorang menggangguku, perasaan yang muncul tidak akan lebih dari sekedar kesal saat hujan mengguyur. Tidak peduli seberapa besar penghinaan Maki terhadapku, tidak peduli berapa banyak komentar jahat yang Kanami tujukan padaku, tidak ada emosi meluap pada diriku soal itu.
Aku tidak bisa tidak terheran-heran. Apa aku benar-benar manusia?
Aku sama sekali tidak mengerti perasaan orang lain.
Jika kekuatan itu benar-benar ada.
Jika kekuatan super seperti yang diklaim Maki benar-benar ada, mungkin aku sendiri pun menginginkannya.
"Nah, tidak juga," aku berpikir ulang.
Andai aku bisa memahami perasaan orang, hidup akan jauh lebih menyebalkan. Aku tidak mencari kehidupan di mana kotak Pandora terbuka. Aku tidak berani.
"Omong kosong…"
Aku benci perjalanan mengunjungi suatu tempat. Aku akhirnya terlalu banyak berpikir. Yah, aku tidak tahu terlalu banyak, tapi pikiran berbahaya tadi itu bisa menghancurkanmu.
Empat hari lagi.
Aku sanggup bersabar…
Aku tidak benci bersabar.
Atau setidaknya, aku sudah terbiasa.
Penderitaan dan rasa sakit.
Aku terbiasa dengannya.
"Tetap saja, rasanya tidak enak."
Sial, aku ingin kembali ke kehidupanku yang tenang di seberang lautan, pikirku sesaat sebelum tertidur.
Namun keesokan paginya aku baru menyadari sesuatu.
Tiga hari ke belakang ternyata terhitung tenang dan tenteram.