webnovel

Bagian Ketiga

"Bisa kita bicara sebentar?"

Aku menelan salivaku, sepertinya setelah ini kalian tak akan berjumpa denganku. Tatapan tajam Kak Gantara dapat menyiratkan mata sang pencabut nyawa.

"Ma-maaf Kak, Ak-Aku ada kelas, lima menit lagi," jawabku dengan bodoh dan tololnya.

Bagaimana tidak, jam mengajar di kampus itu sama dan istirahat masih ada lima belas menit lagi!

"Ana bodoh! tolol! haish...!" batinku.

Kak Gantara menyunggingkan satu sudut bibirnya yang justru membuatku semakin ketakutan, bahkan serasa tulangku pergi entah kemana bersama rasa beraniku.

Tentu saja aku harus bisa mencari jalan keluar kembali untuk melepaskan diri dari Kak Gantara, ide cemerlang pun datang. "Permisi Kak, Aku baru aja ingat kalau aku ada janji sama Bu Mira," ucapku setelah itu langsung berlari ngebirit pergi.

Sayang, sebuah tangan menahan lenganku membuat tubuhku tak mampu lagi pergi jauh. "Ikut Gue," ucapnya sangat tegas.

Semua orang menatap diriku dan Kak Gantara. Rasanya Aku ingin meminta tolong pada mereka tapi apalah dayaku ini, seretan Kak Gantara tak memberikanku kesempatan itu.

-------

Kak Gantara menghempas tanganku kuat-kuat membuat punggungku terbentur tembok. Aku memejamkan mataku sambil mengelus punggungku yang sakitnya minta ampun.

"Kok kasar sih!" ucapku pada Kak Gantara.

Kak Gantara menatap mataku dan Aku juga menatap mata Kak Gantara. Sekarang di depanku Kak Gantara menjadi orang uang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Matanya yang biasanya menatap santai sekarang menatapku tajam. Wajahnya yang biasa berseri sekarang mengeras kaku dan menakutkan.

Tangan Kak Gantara berada di sisi kanan dan kirirku. Mengurung diriku. Nafasnya mampu ku rasakan, bahkan kedekatan wajah kita hanya berjarak beberapa senti saja.

"Apa yang Lo lihat di rumah sakit?" ucapnya.

Tubuhku menegang, "Apa Kak Gantara melihatku?" batinku.

"Ya, Gue lihat Lo," ucapnya tiba-tiba.

Aku membesarkan bola mataku, "Kak Gantara cenayang?" batinku dengan terkaget-kaget.

"Bukan, Gue bukan yang kamu pikirkan. Gue melihatmu masuk ke dalam lift bahkan lihat Lo keluar dari lift."

"Apa yang Lo lihat?" tanya lagi. Aku menelan ludah ku lagi-lagi. Menghilangkan rasa gugupku.

"Ak-Aku gak lihat apa-apa."

"Ck, jangan ngeles, buktinya kamu gugup kayak orang lagi ketakutan."

"Aku tu takut sama tatapan Kak Gantara," ucapku.

"Suer Kak, Aku aja gak tahu kalau Kak Gantara ada di situ, lagian itu Aku lagi nyari ruangan Ibu Aku," sambung ku.

Kak Gantara menarik sudut bibirnya, "Ketahuan banget bohongnya. Lo nutup pintu ruangan Gue kenceng dan Lo-"

"Kalian ngapain di sana?!" teriakan seseorang membuat Aku dan Kak Gantara menoleh. Pak Bandi?!! Astagaaaa Dosen killer ituuu....

Pak Bandi berjalan dengan tatapan tajam. Kak Gantara menjauhkan badan dan tangannya. Aku langsung menundukkan kepalaku ketika Pak Bandi berada di depan kita berdua.

"Ngapain kalian di sini? berdua lagi!" ucap Pak Bandi.

"Saya lagi bantuin Ana masangin kalung kok Pak, tadi kita gak berdua kok Pak, yang lain udah masuk kelas," ucap Kak Gantara.

Aku langsung meraba kalungku. Segitu telitinya Kak Gantara. Darimana juga dia tahu namaku? padahal ini pertama kalinya aku sama dia. Dan pintar juga Kak Gantara ngelesnya.

"Betul Ana?" tanya Pak Bandi. Aku langsung mengangguk cepat, sebelum kebodohanku mengambil alih.

"Cepat kalian masuk kelas!" perintah mutlak Pak Bandi.

"Urusan kita belum selesai," bisik Kak Gantara membuat kuduk buluku merinding.

-------

Kelas sudah usai, hari ini aku akan langsung cepat pulang. Karena aku harus menuju ke rumah sakit segera dan pastinya menghindari Kak Gantara.

"Eh Na, tim basket pada latihan mereka mau tanding di luar kota besok. Mau nonton dulu gak?" ajak Aini padaku.

"Ogah!" jawabku.

"Tumben banget, biasanya Lo paling gercep soal tim basket. Ada Kak Gantara loh di sana, lumayan juga buat cuci mata," ujar Fera.

"Gak mau gak suka gelay..." Aini dan Fera menatap heran padaku. Mungkin mereka merasa aneh dengan sikap ku kali ini.

Biasanya jika urusan tim basket aku adalah orang pertama yang mengajak Aini dan Fera menonton di lapangan. Sayang seribu sayang, itu DULU!

Aku melambaikan tanganku ke arah Fera dan Aini sebagai pamit pergi. Aku berlari, karena gedung kampus ku dan gedung kampus Kak Gantara lumayan dekat, belum lagi jika benar Kak Gantara sudah ada di lapangan basket artinya mereka satu gedung saat ini.

Aku menyalakan motorku lalu mulai menjalankan dan meninggalkan kampus ini. Ah, rasanya aman dan lega sekali.

"Tunggu, kalau bener nih ya, Kak Gantara suka sama em sesama jenis, terus selama ini dia bergaul sama temen-temen nya gimana?" tiba-tiba batinku bertanya seperti itu.

"Ih merinding ah mikirinnya," ucapku.

Aku membelokkan motorku ke arah rumah sakit. Dan berharap tak bertemu Kak Gantara ataupun 'pacarnya itu'.

--------

Sambil membawa buah-buahan yang Ibu inginkan Aku berjalan ke kamar rawat inap Ibu. Sesampainya di sana Aku langsung memberikan pada Ibu yang sedang duduk sambil memakan makanan dari rumah sakit.

"Mau Ana bantu potong Bu?" tawarku.

"Boleh," jawab Ibu dengan nada yang masih lemas dan pelan.

"Bapak sama Zenna belum sampai Bu?" tanyaku.

"Udah, tapi Bapak nganter Zenna ke rumah buat mandi." Aku menganggukkan kepalaku, paham.

Aku mengambil pisau dan buah Apel favorit Ibu. Tiba-tiba Dokter yang memeriksa Ibu kemarin datang menghampiri Ibu.

"Selamat Sore Ibu Yasmin, maaf Saya ganggu acara makannya." Dokter itu begitu sopan dan tampan, padahal berani Aku tebak usianya sudah tak muda lagi. Mungkin tiga puluhan?

"Iya Dok, apa ini tentang hasil lab kemarin?" tanya Ibu langsung. Dokter itu mengangguk.

"Bu Yasmin, apa Ibu pernah memiliki penyakit yang berhubungan dengan paru-paru sebelumnya?" tanya Dokter itu. Aku yang sedang memotong buah apel langsung terhenti.

Ibu tak pernah sakit sebelumnya, jika sakit itupun demam, flu atau yang ringan-ringan saja.

"Ya Dok, saya pernah memiliki penyakit kanker paru-paru." Tubuh menegang ketika Ibu berkata hal tersebut.

"Dari hasil lab, kanker di paru-paru Ibu mulai aktif dan menyebabkan beberapa bagian paru-paru Ibu terinfeksi."

Duniaku seakan runtuh, pisau yang Aku pegang jatuh ke lantai. Ibu menatap ku dengan senyuman tipisnya, sedangkan Aku menatap Ibu dengan amat terkejut.

Dokter yang melihat respon dari Ana dapat menyimpulkan dengan cepat, bahwa Ana belum mengetahui hal ini.

"Apa semua keluarga Ibu tahu hal ini?" tanya Dokter itu.

"Tidak Dok, hanya saya dan suami saya yang tahu."

Setelah itu Aku dan Ibu sama-sama mendengar penjelasan Dokter tentang kondisi Ibu dan apa yang akan di lakukan kedepannya.

Sejujurnya Aku tak memperhatikan, karena pikiranku yang saling beradu. Memikirkan Ibu.

"Kenapa Ibu dan Bapak merahasiakan hal ini?" tanyaku ketika dokter sudah pergi.

"Ibu..kejadian itu sudah lama dan operasi Ibu berjalan dengan lancar, Ibu dinyatakan sembuh. Jadi untuk apa Ibu bercerita?"

"Bu, tapi Ana anak Ibu, Ana harusnya tahu-"

"Ibu hanya ingin menutup kenangan pahit itu Ana. Ibu juga tak mau membuat anak-anak Ibu sedih"

"Bu....tapi"

"Sini Na, Ibu pingin peluk Kamu"

Aku langsung berdiri dari kursiku dan memeluk erat Ibu. Kanker bukanlah penyakit main-main. Dan Aku hanya manusia biasa yang tak pernah tahu akan kematian, sang rahasia ilahi.

"Ibu pasti sembuh, Ana yakin."

bersambung....

Siguiente capítulo