webnovel

4 Kemarahan Leon Kepada Alex

Sepanjang perjalanan yang ada di pikirannya Cuma ingin cepat-cepat sampai ke galeri. Dan begiu benar-benar sampai, proses pemarkiran mobilnya pun diwarnai sedikit drama hampir serempetan dengan yang lain.

Mobil merah itu mau keluar dari parkiran, dan pemiliknya pun mengumpat. "Anjir! Lu punya mata nggak sih? Dipakek dong kalo mau parkir!!"

Alex pun diri. Bukannya minta maaf, dia justru segera keluar dan membanting pintunya sebelum berlari masuk ke galeri seni itu.

Lagi-lagi sayang.

Baru saja Alex masuk ke dalam, mendadak rombongan pengunjung berhamburan keluar begitu saja.

Mereka membawa pamflet dan majalah-majalah disertai dua orang kurator muda.

Yang dijelaskan serius. Mirip perkuliahan seperti tentang rasa seni dan pewarnaan memakai akrilik.

Biasanya Alex akan memperhatikan hal-hal seperti itu kalau Leon yang mengocehkannya dia sela-sela membuat desain grafis. Sayangnya hari ini itu menjadi 100% tidak penting.

Bahkan Alex langsung menabraki mereka demi membuat celah lewat.

"Leon, ini Alex!" teriaknya diantara gerombolan itu. "Ini, Alex baru bisa dateng, maaf ya! Kamu dengar suaraku gak?!"

Persetan dengan siapapun yang menoleh.

Persetan dengan siapapun yang mencibir seperti akting FTV saja.

Persetan dengan anak-anak kecil yang menunjuknya penasaran dirinya kenapa.

Pokoknya persetan.

"Leon! Kamu denger suaraku, kan?!" teriak Alex lagi.

"Apaan woy! Lu siapa sih manggil-manggil nama gua segala?!" teriak seorang pria di belakang Alex.

Alex pun refleks berbalik dan menatap sosok tambun berkumis yang memakai beany biru.

"Maaf, bukan kamu," kata Alex. "Yang saya cari itu pacar saya-"

"Apa?!" kaget pria itu. Refleks menyela. "Tapi kan nama gua nama cowok. Jadi lu homo ya?" desaknya.

"Shit. Gak ada gunanya saya ngomong sama kamu!!" balas Alex tak peduli. Dia lalu mundur dan segera membuat jalan lagi.

Menenggelamkan diri diantara orang-orang dan tak peduli diteriaki pria berkumis itu.

"HEI! WOY! LU BELOM NJAWAB PERTANYAAN GUA JUGA!"

"Brengsek!" maki Alex dalam hati."Ngapain juga lu kepo urusan gua, Dasar Gembrot!"

"Leon!" teriak Alex sekali lagi. Dan suaranya mendadak berubah sedikit serak. Entah kenapa. "Hei Alex disini! Alex dateng ke galeri, Leon! Hahh... hahh..."

Alex berlutut sebentar dan mencoba mengatur nafasnya.

Orang-orang di sekitar lagi-lagi saling berbisik dan mencibirnya.

Beberapa juga berjalan melewatinya begitu saja.

Dan matanya mulai berair.

Entah kenapa.

"Maaf, Mas... saya sekuriti disini. Anda bisa tolong tenang? Beberapa pengunjung sudah mengajukan protes kepada saya barusan."

Alex bisa melihat bayang-bayang siluet sekuriti itu di depannya. Dia pun menegakkan badan, lalu menangkup kedua bahu pria itu sambil menatap matanya lurus-lurus.

"Kalau begitu maaf, Pak. Saya Cuma lagi bingung sekarang... hah... hah..." katanya, masih sedikit tersengal. "Saya mau cari seseorang... dan saya pikir tadi dia masih disini. Dia pasti belum lama masuknya... aku yakin."

Si sekuriti pun tak jadi ingin mengerasinya. "Begitu. Tapi pamerannya sudah mau kami tutup, Mas. Ini saja sudah lewat lima menitan dari jam biasanya.

"Hahah... begitu." Tawa Alex. Lalu mundur beberapa langkah. Dia menangkup separuh wajahnya dan tertawa lagi. "Haha... tapi sebentar aja kok Pak. Yah? Aku benar-benar Cuma butuh waktu sebentar untuk mencarinya sekali lagi."

Setelah itu Alex, melewati sekuriti itu begitu saja.

"Tapi, Mas! Hei!" teriak sekuriti itu. Meskipun begitu, kakinya tetap terpaku di tempat. Tak ingin mengejar sedikit pun, dan hanya menghela napas panjang setelahnya.

Sebab dalam hitungan detik Alex sudah tenggelam di balik kelokan koridor galeri yang lebih luas.

Dan disana lah kaki Alex refleks terpaku di tempat. Tepat ketika melihat sesosok tinggi dengan perawakan yang ia hapal dari kejauhan sekalipun.

Itu Leon. Panda-nya. Yang sedang berdiri sendirian di depan sebuah lukisan berukuran sepapan tulis.

Potretyang terpampang adalah wanita setengah telanjang bersayap bidadari. Bulu-bulunya berguguran ke tanah dan ekspresi wanita itu terlihat sedih. Padahal tak ada satu pun lukisan air mata yang ditampakkan.

"Kamu..." desah Alex. Refleks dia tersenyum lega dan melonggarkan dasinya yang terasa mencekik leher.

Leon justru meneruskan kegiatan mencatatnya dan mempersiapkan kamera untuk memotret lukisan itu seolah tak mendengar apapun.

Alex berjalan mendekat. "Maaf aku telat... Leon. Dan lagi, ini juga bukan mauku..."

CKREK!

Sebuah foto didapat, Leon lalu membiarkan kameranya tergantung di leher. Dia baru menoleh ke Alex setelahnya. Menatapnya sekilas, sebelum kemudian berjalan melewati seperti angin.

"Bodo amat. Aku mau pulang." Kata Leon pelan.

Alex pun segera berjalan mengikutinya. "Leon, listen me first, okay?"

"Nggak usah caper deh. Aku udah capek, tahu." Balas Leon. Sinis.

"Tunggu," kata Alex.

"Ck. Nyebelin." Decak Leon kesal.

Alex pun meraih tangannya segera. "Kubilang tunggu, Leon."

Pakh!

Dan tangannya terhempas begitu saja dalam sekejap.

"Apaan sih?!" Protes Leon. Dia berbalik dan menatap Alex tajam. Galerinya sudah mau tutup, tahu. Lagian ini udah jam berapa baru kesini, hah?!"

Mendadak ada suara peringatan dari speaker ruangan. Bahwa pengunjung galeri diharapkan segera keluar sebelum benar-benar dikunci oleh petugas.

"Denger itu, kan? Aku yakin kamu nggak tuli." Kata Leon.

Tapi Alex justru kembali meraih tangannya. Dan menggenggamnya erat. "Kalo begitu aku juga mau kamu dengerin aku."

"HEY!" protes Leon.

Pelototan dibalas pelototan.

Alex mempererat genggamannya, seolah benar-benar tidak ingin dibantah. "Aku yakin kami juga nggak tuli." Katanya. "Jadi ikut aku sekarang."

Leon mendesis, tapi Alex tak peduli. Dia menyeret anak itu keluar dari galeri dengan langkah-langkah urgen.

"Kenapa kamu seenaknya gini sih? Harusnya aku dong yang marah!" bentak Leon. Taoi dia malah dibanting masuk ke mobil Prof. Ari begitu sampai di parkiran.

"Masuk dulu." Tegas Alex.

Bukannya menegakkan duduk, Leon justru semakin terlihat marah setelahnya.

"Ini juga mobil siapa? Hah?! Baunya rokok dan parfum laki-laki!"

Alex justru semakin menaikkan suaranya. "Diam dulu bisa nggak?!" bentaknya balik.

Leon pun diam. Mereka bertatapan sesaat sebelum kemudian Alex mundur, menutup pintunya. Lalu masuk lagi lewat pintu kemudi.

Saat mobil dilajukan, Leon baru membenahi duduknya dan melengos ke luar jendela.

Matanya berair, tapi tidak sampai jatuh setetespun dari sana.

"Di-WA nggak dibaca, ditelpon nggak diangkat, janjian di kafe nggak dateng, dan sekarang udah ketemu malah main kasar..." dumal Leon pelan.

Tapi Alex tak menanggapi satu pun dan hanya meliriknya sekilas.

"Kalo ada apa-apa ngabarin aku bisa kan?" lanjut Leon. "Padahal tandanya online, tapi nggubris aku sekalipun nggak. Keterlaluan banget sih?!"

"Terus?" tanya Alex. Kali ini tanpa melirik sedikit pun.

Deg

"Apa?" kaget Leon. Kali ini dia yang menoleh sangking terkejutnya.

"Udah gitu aja ngomelnya?" tanya Alex.

Leon pun mengepalkan tangan. "Kamu, ya-"

"Marah aja sampe puas," sela Alex. "Nanti kalo udah capek aku baru ngejelasin semuanya sama kamu."

Dikatai begitu, Leon justru kembali melengos. Dia buang muka ke sisi jendela sekali lagi.

"Nggak kok. Udah gitu aja marahku." Katanya, terdengar menahan diri.

Alex meliriknya sekali lagi. "Serius?" tanyanya memastikan.

Bukannya menjawab, Leon justru memaki pelan.

"Fuck."

.

.

.

Mobik Prof. Ari diparkir di depan apartemen Alex. Tapi tak ada satu pun yang turun dari sana sampai Alex menghela napas panjang.

Dia mengalah dan memutari mobil. Dia membukakan pintunya dari luar dan mengulurkan tangan.

"Aku minta maaf, Leon. Aku minta maaf soal seharian ini, ya?" pintanya.

Leon memandangi tangan itu dan menatap Alex tajam. "Kenapa nggak pake ngebentak lagi, hah?!" protesnya kesal.

Alex tak menunggu lagi. Dia meraih tangan Leon sekali lagi dan menggenggamnya. Aku mau bener-bener baikan sama kamu," katanya. "Apa itu masih kurang?"

Raut wajah Leon tidak sekeras sebelumnya, tapi dia tetap tidak ingin bicara sedikit pun .

Alex pun menghela nafas panjang. "Oke, fine. Aku salah. Sangat salah karena buat kamu nunggu dan akhirnya nggak bisa nepatin janji. Tapi, jujur... kejadian hari ini benar-benar nggak bisa kuhindari, trust me."

Leon membuang pandangannya dan menatap kaca depan. "Yeah. As you tell and I don't care." Katanya, masih sinis.

"Kasih kesempatan aku ngejelasin semuanya, please." Pinta Alex. Suara seraknya semakin menjadu saat itu dan p bergoyang sebentar di akhir kalimatnya.

Tapi Leon tetap diam. Selama beberapa saat. Mereka terus seperti itu, sampai kemudian dia menangkup wajahnya dan menunduk. Menyembunyikan tangis yang mendadak pecah tapi berusaha ditahan sekuat tenaga.

"Ini Anniversary kita yang ke-6, Kak," katanya. "Dan aku terlalu berharap banyak sampai-sampai ngelakuin banyak hal egois kayak gini... hahaha..."

Tawa dan tangis.

Kalau sudah begitu, Alex tak tahu lagi harus apa, kecuali ikut masuk, mendesak sedikit dan merengkuh anak itu ke pelukannya.

Siguiente capítulo