Tommy menyandarkan tubuh Sherly di dinding pondok. Mereka berhadapan dengan bibir yang saling membalas ciuman. Lelaki itu memiringkan kepalanya untuk mengambil napas. Sherly juga demikian.
Dengan sangat terkejut Sherly megeluarkan desahan pelan ketika bibir Tommy menyerang tepat di lehernya. Lidahnya yang nakal membuat Sherly sesekali mengeluarkan erangan yang membuat gairah mereka semakin bergolak.
"Oh, Tommy." Diremasnya kepala Tommy saat rasa dingin dan geli yang menyapu lehernya. "Itu enak sekali, Sayang."
Berhasil membangukan dewi api dalam diri Sherly, Tommy mengulurkan tangan untuk meraup buah dadanya. Bra yang masih terpasang di tubuh Sherly kini dilepaskan.
Sherly terkejut. "Tunggu!"
Tommy berhenti dan menatap Sherly. "Kenapa?' bisiknya hampir tak terdengar.
Sherly menatap mata Tommy yang begitu sayu. Ia yakin lelaki itu pasti sudah sangat bergairah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sherly melepaskan bra itu dari tubuhnya dan perlahan-lahan mengangkat blus putih untuk memperlihatkan buah dadanya.
Bagian itu seakan menghipnotis Tommy hingga membawa matanya yang begitu sayu untuk memandang bagian subur yang ukurannya lumayan besar dan tegas. Bagian pucuknya kecil berwarna cokelat kemerahan, membuat Tommy ingin sekali mencicipinya. Dilihatnya mata Sherly yang begitu sayu sama seperti dirinya.
"Cium dia, Tommy."
Dengan lembut Tommy tersenyum. Ia merapatkan wajahnya ke bagian itu dan menyuntuh pucukya dengan ujung lidah.
"Oh, Tommy," desahnya.
Lelaki itu melirik Sherly. Mata gadis itu tertutup rapat dengan tangan mencengkeram bahunya. Ia merasa senang karena bisa memberikan kenikmatan pada Sherly. Diraupnya kedua bagian kenyal itu dengan dua tangan lalu mengulum pucuknya dengan mulutnya yang basah. Sherly mendesah-desah nikmat. Gadis itu bahkan menggeliatkan tubuhnya ketika lidah Tommy begitu lihai saat memainkan pucuk buah dadanya secara bergantian.
"Oh, Tommy, aku..." Sherly mendesah. "Aku tak tahan lagi, Sayang. Kumohon... kumohon Tommy, lakukan sesuatu untukku."
Tommy tersenyum di balik buah dada sherly. Melihat gairah yang semakin meluap-luap dalam dirinya membuat keperkasaan Tommy mengeras. Ia tahu apa yang diinginkan Sherly, karena ia sendiri sangat menginginkannya.
Tapi sebisa mungkin ia menepiskan rasa itu dengan menghentikan mulutnya dan kembali menatap Sherly. Dilihatnya wajah Sherly yang begitu kecewa saat ia melepaskan mulutnya dari dadanya. Tommy tersenyum dan meraup wajah kekasih yang dicintainya itu. "Melakukan apa, hah?" bisiknya lalu melumat bibir Sherly.
Meski hanya sesaat, tapi Sherly selalu menyukai lumatan bibir Tommy. "Aku ingin kau mengeluarkan rasa gelisah yang kurasakan setiap kali kau menyentuhku. Oh, Tommy, tadi itu benar-benar nikmat."
Tommy mengelus pipi Sherly dengan punggung tangannya. Ditatapnya bibir Sherly yang merah akibar hisapannya. Ia tersenyum. "Itu namanya gairah, Sayang. Kegelisahan yang kau rasakan itu istilahnya adalah gairah."
"Ya, pokoknya semacam itu." Tommy tertawa. "Kumohon, Sayang, lalukan sesuatu agar gairah itu hilang dari tubuhku."
"Andai kau tahu betapa aku juga menginginkan hal itu."
"Kalau begitu lakukanlah," kata Sherly.
Jempol Tommy mengusap bibir Sherly yang selalu melontarkan perkataan polos. Baginya permintaan Sherly itu berat. Ia memang sama inginnya dengan Sherly, tapi mengingat Sherly yang masih duduk di bangku SMA__ belum lagi harus menjalani kuliah empat tahun__ membuat Tommy tidak mungkin melakukan hal itu saat ini. Ia takut jika meniduri Sherly sekarang ini, lama-lama gadis itu akan bosan padanya dan mencari pria lain. Ia tidak mau itu terjadi.
Hisapan lembut mulut Sherly di jempolnya membuat Tommy membuyarkan kekhawatirannya. Ia tersenyum manis dan membiarkan Sherly menikmati jempolnya. Bayangan akan mulut Sherly yang bermain di kejantanannya membuat bukti gairahnya semakin mengeras.
Brengsek! Diraihnya kepala Sherly dan melumat bibirnya. Kali ini Sherlylah yang sedikit kasar. Gadis itu mengulurkan tangannya tepat di kancing kemejanya. Tommy pun bisa merasakan jari-jari Sherly mulai melepaskan satu persatu kancing kemejanya. Setelah semuanya terlepas, Tommy menghentikan ciumannya.
Sherly meraba dada telanjang Tommy yang berbulu. Tangannya halus menyapu setiap otot yang mencuat dari tubuhnya.
Erangan-erangan kecil berhasil lolos dari muut Tommy membuat Sherly lebih menjalankan niat untuk menggoda Tommy. Ia melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk Tommy. Sambil menyandarkan kepalanya di dada pria itu, Sherlu memainkan pucuk buah dada Tommy yang berwarna cokelat.
"Oh, Sayangku," erang Tommy saat mulut Sherly meraup pucuk. Ia menjauhkan kepala Sherly dari dadanya. "Hentikan, Sayang. Kalau kau melakukan itu, bisa-bisa kita akan bercinta di sini."
Sherly tersenyum nakal. "Bukannya itu yang kau inginkan? Membuat kenangan di tempat ini yang takkan bisa dilupakan untuk selamanya."
Tommy memeluk erat tubuh Sherly. "Hal yang kita lakukan tadi sudah cukup untuk menjadi kenangan."
Kepala Sherly tersentak. "Jadi kau tidak akan melakukannya di sini?"
Tommy melepaskan pelukannya. Lalu meraup wajah Sherly dengan kedua tangannya. "Kau pacarku yang paling kucintai. Kau wanitaku yang paling berharag. Tidak mungkin aku menidurimu di tempat seperti ini."
Perkataan Tommy benar. Pondok itu memang terawat, tapi tidak ada fasilitas apa pun di dalam sana. Ruangan itu polos dan bersih, tapi akan sangat tidak pantas jika wanita baik-baik seperti dirinya ditiduri oleh lelaki meski sebaik dan tampan Tommy di tempat seperti itu.
"Kita pulang sekarang, ya?" bisik Tommy.
Sherly mengangguk. "Tapi kau mau kan berjanji akan melakukannya di tempat yang pantas?"
Tommy memeluknya lagi. "Aku janji, Sayang. Aku janji. Aku juga sangat menginginkan hal itu."
"Baiklah, kalau begitu cium aku sekali lagi," goda Sherly.
Tommy menurut. Diraupnya wajah Sherly dan melumat bibirnya. Sherly yang memang sengaja ingin mengerjai lelaki itu, dengan lembut mengeluskan tangannya di bagian tubuh Tommy yang sedari tadi mengeras. Terkejut dengan tindakan Sherly, Tommy segera melepaskan ciumannya dan mendorong tubuh Sherly.
Hahahha.
***
Setelah mengantar Sherly ke rumahnya, Tommy segera melajukan mobilnya menuju rumah. Dipacunya sedan hitam itu hingga memasuki garasi.
"Sayang, kau sudah pulang?" tanya Lisa begitu melihat Tommy masuk dari pintu samping.
"Ya, Mi. Aku akan melanjutkan pekerjaanku di kamar."
"Apa kau mau kopi atau susu?"
"Tidak usah, Mi, terima kasih."
Tommy bergegas menaiki tangga. Lisa bisa melihat sikap putra semata wayangnya itu sedang tergesa-gesa. Berpikir itu menyangkut urusan bepekerjaan, Lisa kembali menyibukkan diri untuk menyiapkan makan malam.
Setelah mengunci pintu kamar, Tommy langsung melepaskan semua barang-barangnya secara asal di lantai. Diraihnya ponsel dari saku celana jins dan mengotak-atik mencari nama seseorang untuk dihububungi. Ia berjalan ke arah balkon sambil menempelkan ponselnya di telinga untuk menunggu sambungannya terhubungan.
"Ayo, angkat," katanya. "Nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Cobalah..."
Tut... Tut...
Tak ingin putus asa, Tommy menekan radial lagi untuk menghubungi kontak itu. Ia mondar-mandir dan gelisah karena sedari tadi panggilan itu terhubung, tapi pemiliknya tidak mau mengangkatnya. "Nomor yang Anda tuju sedang..."
Tut... Tut...
Dengan kesal Tommy memutuskan panggilannya. Tapi lagi-lagi perasaan mendorongnya untuk mencoba sekali lagi. Ditekannya logo telepon untuk menghubungi kontak yang sama. Dalam hati Tommy berharap si pemilik kontak itu bisa menerima panggilannya.
"Halo?" Suara sapaan dari seberang telepon terdengar.
Tommy kegirangan. "Kau di mana? Aku ingin kita bertemu denganmu."
"Tapi, Tom. Aku..."
"Tidak ada tapi-tapian. Sekarang kirim lokasimu biar aku yang akan ke sana."
Tut... Tut...
Continued___
Hayo, kira-kira siapa yang dihubungi Tommy? Hahahha.
Jangan sampai salah menebak, ya.