webnovel

Persiapan Perang

Malam ini kami bangun jam 2 pagi, menghabiskan waktu untuk mandi selama nyaris 40 menit, Bersuci, dan sekarang masing-masing dari kami mengambil beberapa Buku bacaan untuk dipelajari.

Seperti biasa, Raga duduk dikursi dan belajar di Meja Belajarnya, sementara aku duduk didekat jendela, tempat khusus belajar untukku.

Sejak awak kamar kami dibangun, kami sudah menatanya sedemikian rupa supaya setelah atau sebelum tidur aku bisa langsung belajar tanpa harus terlalu jauh melangkah dari tempat tidur kami.

Ada Meja kecil yang permukaannya cukup untuk meletakkan buku ukuran A2.

Didekat Meja ada Terminal Stop Kontak dengan 5 Slot Stop Kontak.

Satu Slot kugunakan untuk aliran ke lampu belajar.

4 Slot sisanya jarang terpakai sampai penuh.

Lampu belajar ini cahayanya cukup teduh, tidak terlalu terang atau redup. Suhu kamar kami juga bisa disesuaikan dengan cuaca dengan 'Air Conditioner', atau 'Kondisioner Udara' yang memiliki kisaran suhu antara 11 hingga 31 derajat Celcius.

Suhu ideal kami untuk belajar biasanya kisaran 25 hingga 27 derajat. Dengan hembusan angin sedang.

Didekat jendela kami, aku dan Raga menempatkan Akuarium untuk ikan hias berukuran kecil, dan beberapa wadah plastik untuk tanaman hias dalam ruangan.

Ini seperti 'Markas Utama' milik kami berdua.

Seringkali kami mengibaratkan 'Pertempuran' melawan bangsa Iblis dari keturunan Satan dimulai dari 'Awal mata memandang'. Sehingga setiap kali kami bangun tidur, setiap saat itulah kami harus bersiap 'Bertempur' melawan Iblis.

Dan Kamar ini adalah 'Markas Utama' dengan segala persiapan dan peralatan kami untuk 'Berperang' melawan pasukan Iblis nantinya.

Dimulai dari kebiasaan kecil, keseharian yang terulang tanpa bosan, juga kedisiplinan dengan tekad yang kuat.

"Mulai hari ini kita akan melakukan tanya-jawab, Raga"

Tulisan di buku 'Sejarah Iblis' yang kubaca ini bisa kumengerti tanpa harus terlalu serius membaca dan memahami setiap kalimatnya. Aku sudah membacanya 3 kali hingga selesai.

"Untuk apa?"

Balasnya singkat dan datar.

"Untuk membuat kita memahami apa yang kita hadapi, dan apa yang akan kita lakukan jika berhadapan dengan mereka, para Iblis."

Jawabku sambil menutup buku, memastikan bagaimana reaksinya setelah mendengar jawabanku.

"Kita lakukan saja di 'Taman Ilmu'. Dirumah kita tetap seperti ini."

Raga masih tetap membaca dengan tenang dan menjawabku dengan jawaban datar dan dingin.

Jangan kaget, beginilah kami saat dirumah. Sungguh perbedaan yang sangat signifikan. Aku penasaran bagaimana reaksi teman-teman kami jika melihat kami seperti ini di rumah.

"Jangan pikir aku akan menahan diri nanti di 'Taman Ilmu' jika memang dirumah kita nggak berlatih dulu."

Aku membalas ucapannya dengan santai dan kembali membuka buku bacaanku.

Kami berdua terdiam sangat lama. Kubiarkan ia beberapa waktu nantinya biar ia sadar dengan sikap dinginnya dirumah yang menjengkelkan ini.

Waktu menunjukkan jam 3 pagi lebih 10 menit. Sebentar lagi 'Panggilan Kemenangan' akan dikumandangkan, tapi kelopak mataku menjadi berat. Hal seperti ini biasa terjadi jika aku bangun tengah malam.

Kulihat Raga sudah tertidur dengan menyandarkan kepala diatas kedua tangannya yang terlipat dimeja belajar.

Aku membuka mata.

Entah kenapa aku terbaring di ranjang.

Ustadz Firman, Ustadzah Terry, Tuan Zahal, dan beberapa orang yang tak kukenal duduk disekitarku, disekeliling tempat tidurku.

"Kembalilah besok."

Hah? Aku mengatakan hal yang sama sekali tak kupikirkan dan tak ingin kuucapkan kepada orang-orang disekelilingku.

Wah, gimana nih, saat seperti ini malah aku mengucapkan kata-kata yang nggak sopan didepan Ustadz Firman dan orang-orang penting ini.

"Baik..."

Jawaban dari Ustadz Firman terdengar lirih, dan di akhir kalimat beliau mengucapkan sebuah nama yang tak kudengar dengan jelas. Kenapa ia begitu sopan saat bicara denganku?

Yang lebih mengejutkan, Ustadz Firman, Tuan Zahal, dan prang-orang dewasa ini berlutut berbaris dan menciumi tanganku satu-persatu.

"Wa... wah... ja... janga..."

Suaraku begitu pelan, malah nyaris tak keluar. Bagaimana mungkin mereka melakukan ini kepadaku? Seolah mereka menghormatiku.

"Jangan Ustadz!"

Suaraku meledak begitu keras.

Didepan wajahku Raga menyentuh pipiku : "Kamu kenapa?"

Nafasku tak beraturan. Seperti orang baru saja kelelahan berlari.

Tubuhku berkeringat, Raga menyeka keringatku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menepuk-tepuk pipi kiriku : "Bangun, sudah waktunya Ibadah."

Raga membuatku tersadar sepenuhnya bahwa kejadian barusan adalah mimpi. Mimpi yang aneh.

"Nggak biasanya kamu bangun setelahku, bahkan bisa kubangunkan seperti ini."

Raga berdiri dan menarik tanganku agar mampu berdiri dengan cepat dan mudah.

"Kamu berteriak saat bermimpi, sebelumnya kamu mengerang seperti Cowok yang mau Klimaks saat Onani..."

Aku menghantam wajahnya dengan keras hingga hidungnya mimisan seperti biasa.

Sebelumnya aku terlalu lemas : "Sudah kubilang bahasmu terlalu vulgar, Ga."

Raga menutup hidungnya yang berdarah akibat pukulanku dan segera pergi ke kamar mandi.

Aku mengambil gelas diatas meja kabinet, lalu mengisinya dengan air galon di dispenser dekat jendela, posisinya berjauhan dari posisi meja belajar kecil milikku.

Sambil duduk dengan tenang, aku meneguk segelas air putih itu dan merenungkan mimpiku barusan.

Karena posisi dudukku menghadap Kamar Mandi aku jadi tahu Raga keluar dari kamar mandi dan langsung mengajakku ngobrol: "Kadang mimpimu punya firasat yang kuat, barusan apa yang kamu mimpikan?"

Raga mendekatiku dan duduk dikursi yang berada didekat kursi yang kududuki.

"Ustadz Firman, Tuan Zahal, dan orang-orang penting mencium tanganku dan bersikap hormat padaku."

Aku menjawab pertanyaan Raga dengan ringkasan mimpi yang singkat.

Raga berdiri dengan wajah kesal : "Baguslah itu cuma mimpi, ayo bersuci dan ibadah."

Sungguh, siapapun tak akan pernah menyadari fakta ini. Fakta sikap menyebalkan Raga yang benar-benar bertolak belakang dari dirinya saat diluar rumah: "Oke..."

Seperti biasa, aku juga menganggap pukulan yang kulayangkan kewajah Raga adalah hal biasa.

Ia sering menerima pukulan seperti itu dariku setiap kali ucapannya ngelantur, apalagi sampai membahas hal vulgar.

Kami tidak terikat hubungan saudara, dan seringkali ucapan vulgarnya yang memacu hasrat itu terlalu berbahaya dan mengarah ke keinginan kuat untuk melakukan hal-hal berbau seksual, dan hal itulah yang membuatku selalu menghantam wajahnya dengan tinjuku, dan sepertinya ia sudah kebal dengan pukulanku, seperti aku sudah biasa mendengar hal Vulgar dari mulutnya.

Akhirnya kami beribadah.

Saat Ibadah kami selalu berusaha menenangkan perasaan dan pikiran kami.

Tidak berpikir dan tidak berprasangka.

Suatu bentuk 'Istirahat' yang 'Disengaja'.

Kebalikan dari 'Tidur' yang bagiku merupakan 'Istirahat tak disengaja'.

Sepuluh menit berlalu sejak kami beribadah.

Hembusan angin begitu kencang setelah Raga membuka Jendela lebar-lebar. Bau embun pagi menyusup diantara udara segar itu. Jika sudah seperti ini kami tak lagi memerlukan Kondisioner Udara.

Raga pasti akan kembali ke tempat tidur. Bukan untuk tidur, tapi berlatih.

Ia terbiasa melakukan Sit up, Push up, dan olah raga kecil setiap pagi sebelum sarapan dan berangkat sekolah.

Sementara aku keluar kamar, turun ke bawah, membersihkan ruang tamu dan halaman, juga mempersiapkan kaos kaki dan sepatu kami.

Orangtua kami, maksudku, orangtua Raga jarang dirumah.

Kami tinggal bersama Bang Jago, Siswa SMA yang diasuh oleh orangtua Raga, sama sepertiku.

Bedanya, Bang Jago yang baru saja bergabung dalam keluarga kami berniat untuk mengabdikan hidupnya kepada Orangtua Raga beserta keluarganya. Itu artinya ia juga mengabdi untuk Raga.

Namun seringkali yang membuatku tersenyum adalah, kedua orangtua Raga benar-benar menyayangiku dan memperlakukanku seperti anak mereka sendiri.

Setiap kali aku mengatakan 'Seperti Anak Mereka', mereka selalu menyanggahnya dan berkata, 'Kau memang anak kami'...

Bang Jago mungkin belum pernah merasakan bagaimana diperlakukan sebagai anak sendiri oleh orang yang bukan merupakan orangtua kandung kita. Dan hal kecil itulah yang membuatku sangat menyayangi keluarga ini seberapapun menyebalkannya Raga.

"Sarapannya sudah jadi Er."

Bang Jago memanggilku dari arah dapur dengan suaranya yang berat dan serak. Terlihat benjolan yang mengganjal ditenggorokannya, benjolan yang membuat suaranya terdengar berat. Sebuah tonjolan kelenjar Tiroid yang seringkali berada pada leher pria mulai masa remaja.

"Iya bang! Terima kasih!"

Bang Jago membawa beberapa piring kosong ditangan kirinya, sementara tangan kanannya membawa sebuah piring berisi telur rebus yang diiris beberapa bagian dan dilumuri saus khas balado : "Seandainya Raga juga gampang bilang 'Terima kasih' kayak kamu ya Er... Hahahaha!"

Aku tertawa mendengar lelucon Bang Jago. Lelucon yang Ironis. Bang Jago tak tahu bahwa Raga sangat Jago 'Berterima kasih' dan 'Memohon maaf' diluar rumah.

"Sudah diam..."

Suara Raga turun dengan cepat dari atas bersamaan dengan tubuhnya yang berjalan perlahan menuruni tangga.

"Persiapan Perangnya sudah lengkap, Er, Raga?"

Bang Jago tersenyum melihat kami berdua yang sudah bergegas menuju sekolah.

"Sebut namaku dulu, baru nama Er, jangan terbalik!"

Sisi menyebalkannya lagi-lagi keluar. Dirumah ia seperti 'Sang Tuan Sempurna' yang menilai segalanya tanpa 'Cacat'.

"Hahaha, iya deh, Raga, Er..."

Bang Jago tertawa setelah mendengar ucapan Raga, lalu meralat ucapannya tadi.

"Ulangi kalimatnya dengan sempurna."

Dengan kekuatan dominasinya sebagai pewaris keluarga, Raga menunjukkan kekuatannya yang menurutku malah terasa... Menyebalkan.

"Persiapan Perangnya sudah siap, Raga, Er...?"

Bang Jago mengulangi ucapannya dan memperbaiki urutan penyebutan nama kami. Raga mengangguk, mengartikan bahwa ia menjawab pertanyaan Bang Jago dengan jawaban 'Ya'.

"Baiklah, saya kembali ke dapur dulu, katakan saja jika memerlukan sesuatu, Raga."

Setelah melihat anggukan leher Raga, Bang Jago kembali ke dapur.

"Kamu keterlaluan sekali ke Bang Jago."

Tak banyak porsi Kentang dan Telur yang kuambil, jadi aku bisa secepatnya menegur Raga.

"Nggak usah banyak komentar, aku berperan sebagaimana seharusnya aku berperan disini."

Jawaban Raga mengingatkanku dengan tegurannya Tadi Pagi... "Kamu terlalu banyak Mengalah, itulah yang membuat 'Mereka' meragukan dan meremehkanmu..."

Apa itu artinya aku harus bersikap di Sekolah dan Taman Ilmu sebagaimana Raga bersikap terhadap Bang Jago dirumah?

Siguiente capítulo