Audrey Frankie…
Rhysand belum pernah mendengar nama keluarga Frankie sebelumnya. "Kau anak tertua?"
"Ya," jawab gadis itu dingin.
Suara gadis itu melengking juga. Selayaknya kebanyakan gadis di sini. Namun, lengkingan itu bersatu dengan nada yang mungil.
Rhysand tidak bisa mengalihkan perhatiannya kepada sosok yang duduk di balik tirai. Tirai itu bahkan tidak menunjukkan secercah pun bayangan di baliknya.
Hugo biadab. Setidaknya, mestinya ia bisa melihat bayangan gadis itu! Bukan disodori dengan tirai hitam legam seakan bicara pada tembok.
"Apa pendapatmu tentang Kerajaan Atalaric?" tanya Rhysand padanya.
"Hanya kerajaan."
Kalimat super dingin masih tercetus dari bibirnya. Meskipun begitu, nadanya yang mungil menyamarkan suara dingin gadis itu.Justru, suaranya mirip seperti gadis yang merajuk.
Menarik…
"Lalu, apa pendapatmu tentang seorang pangeran?"
Gadis di balik itu membuang napas panjang. "Pangeran ingin aku jujur?"
Rhysand menyunggingkan separuh senyumnnya. Ia memejamkan matanya. Di depannya terpatri seorang gadis dalam benaknya. Ia membayangkan, seorang gadis berambut cokelat kepirangan, dengan kulit halus duduk di depannya.
"Katakanlah, rakyatku." ujar Rhysand pelan.
"Bagiku, pangeran adalah calon pemimpin kerajaan. Suatu tatanan yang harus dihormati dan dihargai. Namun, tidak semua rakyat bisa mencintai pangeran."
Jawaban yang meluncur dari mulut gadis itu jauh berbeda dengan gadis lainnya. Biasanya, gadis lain akan mengagungkan namanya. Tuanku, Pangeran, adalah pemimpin negeri yang mashyur. Mereka akan membual. Berbeda dengan gadis ini.
Rhysand mengusap janggutnya.
Menarik, menarik.
"Mengapa kau berpikiran begitu?"
Ia malah tertawa. "Tuanku Pangeran tidak perlu tanya padaku. Tanyakan saja pada diri pangeran sendiri, mengapa, tatkala pangeran berjalan keluar kerajaan, mereka menunduk takut, bukannya menatap takjub?"
Rhysand mengernyit. "Apa maksudmu?!! Kau meremehkanku?"
Gadis itu kembali terkekeh. Seolah menertawainya. "Lihat saja kepada diri pangeran terlebih dahulu. Menurutku, lebih baik pangeran mengetahui diri sendiri dibandingkan mengadakan pemilihan maid yang konyol."
"Konyol????"
Rhysand mengepalkan tangannya. Amarah sedikit tersulut di tubuhnya. Wajahnya berubah memerah marah.
"Tidakkah pangeran tahu, semua negeri seberang tidak pernah mempermasalahkan maid seperti Pangeran. Maksudku, ini lucu."
"Kalau ini lucu, mengapa kau datang ke sini? Kau juga salah satu gadis yang menginginkan kekayaan, bukan?"
Dia tergelak. "Hahaha. Kekayaan? Tidak. Aku bisa hidup hanya dengan menjadi petualang. Tidak perlu mengurus pangeran. Menurutku, hanyalah orang yang bodoh bagi mereka yang memperhatikan kecantikan di atas segalanya. Padahal, kemurnian hati adalah sesuatu yang lebih hakiki. Bukankah wajah bisa menua, sementara hati, tidak?"
Rhysand tidak menjawab pertanyaan retoris itu. "Enyahlah, kau. Kamu beruntung aku tidak melihat wajahmu. Kalau aku melihatnya, kau bisa saja kutebas dan kupancung seketika."
"Aku rasa, aku tidak perlu berterima kasih atas hidupku. Sebab, seorang pangeran yang baik tidak akan semena mena memancung rakyatnya."
*
Prosesi pemilihan maid kali ini jauh lebih panjang dan memuakkan. Ia harus mewawancarai seluruh gadis yang datang. Ketika senja terpulas sempurna di langit, barulah pemilihan maid itu berakhir.
"Bagaimana pemilihan maid hari ini?" tanya Hugo padanya.
"Memuakkan."
Terlebih karena seorang gadis sialan bernama Audrey yang mencaci dirinya tadi siang. Suasana hatinya berubah begitu buruk. Ia bahkan mengucapkan kalimat sarkas kepada beberapa calon maid setelahnya.
Rhysand memberikan seberkas daftar nama yang menarik perhatiannya. Ada sembilan orang yang memiliki kriteria itu. Mereka anggun, lugu, dan cukup pemalu.
"Terima kasih, Pangeran… Aku akan mengumumkan…"
Belum sempat Hugo menyelesaikan kalimatnya, Mademoiselle Edeva membuka pintu tiba tiba.
BRAK!!!
"Maafkan aku, Tuan Pangeran." ujar Edeva. Gadis itu terengah engah. Ia menunduk dan bersimpuh di depannya.
"Ada apa?"
Tangan Mademoiselle Edeva sedikit bergetar. Ia menunduk kian dalam. Seolah telah melakukan hal berdosa.
"Saya meminta maaf, salah satu maid melarikan diri dari istana."
"APA KATAMU?!!!"
Rhysand berdiri dari duduknya secara spontan. Wajahnya memerah sempurna. Matanya berubah tajam.
"Bagaimana bisa, kita kehilangan maid lagi?! Baru saja Hugo akan mengumumkan daftar nama yang terpilih kepada para gadis!"
Mademoiselle Edeva memelas. "Maafkan saya, Pangeran. Lebih sulit mempertahankan para maid untuk tetap di sini. Entah apa yang mereka pikirkan, mereka melarikan diri. Tetapi, Pangeran.. Hal yang paling penting adalah…. maid yang baru saja melarikan diri adalah Beth."
"Maid pribadiku? Dia melarikan diri?!"
Saat itulah, Rhysand terduduk lemas di singgasananya. Ribuan tanya bergelenyar di otaknya. Ia tidak mengerti keinginan para maid di istananya, mereka hanya perlu melayaninya. Menjamukan para tamu, tersenyum seperti boneka, dan membersihkan tempat tidurnya.
Ia tidak pernah meminta mereka untuk tidur bersamanya. Atau pun, perlakuan gila lain yang dirumorkan parra rakyat atas dirinya.
Padahal, mereka sudah diberikan segala kemewahan. Hanya perlu menggantinya dengan kesetiaan. Mengapa mereka begitu sulit diatur?
"Bangkitlah Edeva." titah Rhysand padanya.
Edeva bangkit dari posisi bersimpuh. "Tuanku Pangeran, membutuhkan maid pengganti untuk di sisi Tuan."
Sial. Mestinya, ia harus menjatuhkan hukuman keji kepada para maid yang melarikan diri itu.
Dalam pikiran gelapnya, ucapan Audrey itu menyusup dalam otaknya. Gadis itu secara terang mengatakan, kalau rakyatnya tidak mencintainya. Apakah perlakuan para maid itu salah satu wujud pemberontakan mereka?
"Apakah ada seseorang yang menarik perhatian Pangeran?" tanya Mademoiselle Edeva.
"Tidak ada. Cepat umumkan kepada para gadis sebelum mereka menunggu terlalu lama." sambar Rhysand cepat.
"Akan tetapi, kita akan kekurangan pelayan di sini, Pangeran."
"Tidak masalah. Bukankah sudah biasa seperti itu?"
"Baik, Pangeran."
Tatkala itu, Mademoiselle Edeva dan Hugo berjalan menjauhinya. Saat mereka hendak mencapai pintu, sejumput pemikiran masuk ke dalam benak Rhysand.
"Edeva,"
Edeva berbalik. Ia menatap kepada Rhysand. "Bagaimana, Pangeran?"
Rhysand menerawang cukup lama. Selama beberapa detik. Mademoiselle Edeva mengernyit samar. Ia masih menanti pernyataan dari Rhsyand.
"Aku akan menambahkan satu maid pengganti Beth."
"Siapa namanya, Pangeran?"
"Audrey Frankie. Dia satu satunya maid khusus yang hanya boleh melayaniku."
*
AUDREY berdiri di ballroom istana. Seluruh maid yang telah diwawancarai dikumpulkan di sini. Mereka membentuk aliansi gosip. Bergabung satu dengan yang lainnya.
Banyak dari mereka yang sudah saling mengenal satu sama lain. Hanya Audrey yang tidak mengenal siapa pun. Akan tetapi, ia tetap di sana. Meringkuk di sudut ruangan dan berharap pemilihan maid menjemukkan ini segera berakhir.
Sedetik selanjutnya, pintu terbuka. Seorang gadis begitu cantik membuka pintu ballroom. Di belakangnya, seorang lelaki yang tidak kalah tampannya berdiri di sana.
"Selamat sore. Di sini, aku akan mengumumkan perempuan yang terpilih menjadi maid, sekaligus dengan posisinya di istana ini."
Gadis di depan sana mengumandangkan nama para gadis yang terpilih. Nama mereka begitu indah. Amora, Elsha, Quintessa, dan sejumlah nama lainnya. Audrey mengembuskan napas lega.
Tidak ada. Tidak ada namanya!
Ia bebas!!! Ia akan hidup be… Kalimat yang berseru di hatinya itu menggantung. Tertahan oleh kalimat Edeva setelahnya.
"Dan terakhir…, Audrey Frankie."
Audrey melotot. Namanya! Itu namanya! Bagaimana bisa… BAGAIMANA BISA IA TERPILIH?!
*
UUUWWW! Welcome back my readers to episode 3! Huahhh. Bagaimana kabar kalian? Sehat kan? Yuk cek ricek dan review tentang karya ini, ya! Terima kasih!