webnovel

50 Kenangan untuknya

ARMAN POV

Aku tiba di kantor seperti biasa, lebih pagi karena ingin segera menyelesaikan pekerjaanku. Aku mau pulang ke Jogja dalam minggu ini, jadi pekerjaanku harus sudah beres. Sebelum Inez bertunangan dengan orang lain. Kebetulan Ayahku juga jadwal pulang ke rumah. Aku telah lama tidak bertemu dengannya. Selain itu ada tujuan lain, aku ingin mendapat support dari orang tuaku mumpung keduanya di rumah minggu ini. Aku juga ingin meminta pendapat Ayahku sebagai sesama lelaki dalam hal percintaanku ini. Minimal aku punya seseorang yang bisa menyemangatiku dikala rapuh. Pertunangan dia sudah tinggal beberapa hari lagi. Aku sungguh tak menyangka akan secepat itu, dia tak pernah mengatakan sebelumnya. Baru kemarin itu aku mendengarnya.

Aku menampakkan wajah setegar mungkin dihadapannya, tetapi sebenarnya aku merasakan sekujur tubuh ini ditusuki oleh duri. Tubuh ini sperti hancur terjatuh dari ketinggian yang tidak bisa diukur. Aku tahan dan aku simpan dalam hatiku sendiri.

Mungkin satu dua hari aku akan pulang, sehingga hari minggu malam aku sudah kuat menghadiri hari pertunangannya.

"Mas Arman ... Aku kagum deh sama kamu Mas, pasti deh datangnya sering pagi-pagi sekali. Rajin banget buat cari uang, figur yang sempurna banget bagi pria mencari nafkah untuk anak istrinya kelak. Heheee." Rika lagi-lagi hadir tiba-tiba tanpa diundang.

"Hari ini aku tidak menerima bekal Rik, aku janji mau makan siang di warung Benny," ucapku mendahului.

"Iya, gak apa-apa Mas, aku dengar Mas Arman mau pulang ke Jogja ya? Mas Arman sudah janji ajak aku, kan? Aku ikut ya Mas? Hehee," celetuk Rika membuatku kaget.

"Kok bisa tahu kamu Rik? Aku belum bilang siapa-siapa lho, terus baru kemarin aku memikirkan untuk pulang," pikirku kaget.

"Mbak Liza yang bagi tahu, tumben dia baik kasih kabar aku. Hehee, mungkin dia keceplosan," sahutnya kulihat dengan wajah memerah.

"Mana mungkin aku ajakin kamu. Aku mau ada urusan keluarga. Ayahku mau pulang karena sudah sebulan di luar kota. Jangan aneh-aneh Rik," balasku kepadanya. Eeeeh dia malah mendekati aku dan duduk disamping aku tanpa aku persilahkan.

"Aku hanya ikut, tanpa merepotkanmu Mas. aku bisa inap di tempat lain, bukan rumahmu. Aku bisa kok sewa motor disana jadi aku gak terlalu merepotkanmu Mas. Aku sudah punya channel-channelnya disana. Jadi Mas Arman tak begitu repot memandu aku," terangnya membuat aku makin bingung.

"Rik, maaf dulu ya, aku ingin sendiri dulu. Aku lagi banyak masalah. Belum mau ngobrol hal lainnya,

"Ooh ... Aku turut bersedih ya Mas, atas masalah-masalahmu. Semoga lekas terselesaikan. Pasti ini tentang Mbak Inez ya? Pokoknya kalau ke Jogja aku ikut! Aku belum pernah kesana sama sekali! Bye Mas Arman." balasnya yang sama sekali aku tak mengerti apa yang ada dipikiran gadis ini.

"Bisa bisanya Liza cerita ke Rika kalau aku mau ke Jogja? Sudah tahu tuh anak ceriwisnya minta ampun. Dia bakal nekat ikut nih," bisikku dalam hati.

[Liza, bisa pulang kerja nanti nemenin aku nyari kado buat Inez tunangan? Tapi diam-diam saja ya? Inez jangan sampai tahu]

[Humm ... yakin mau cari sendiri atau biar aku saja yang nyariin nih? Kamu enggak apa-apa?]

balas Liza lada chatku.

[Aku gak apa-apa. Kamu temenin aku bisa kan?]

[Iya, aku bisa kok]

[Oke, makasi ya?]

[Yup. Sama-sama]

Kami mengakhiri percakapan kami via chat barusan. Entahlah ... Hariku makin kacau, baru acara pertunangan. Belum pernikahannya. Aku masih sulit menerima semua ini.

****

Seusai jam kerja. Seperti janjiku tadi. Aku ingin membelikan sesuatu sebagai kado pertunganan Inez. Sebagai kenang-kenangan dari aku. Tanpa Inez tahu aku dan Liza berangkat menaiki mobilnya Liza. Liza mengajakku ke toko perhiasan dimana Mama dan dirinya biasa membeli. Aku juga butuh bantuan seorang gadis untuk menentukan bentuk perhiasan yang hendak aku beli. Karena itu Liza yang aku ajak.

"Kau mau belikan apa dulu Arman?" tanya Liza kepada ku.

"Apa ya?! Aku bingung. Sebab ini kan tunangan. Kalau aku beli buat istriku malah aku bisa beli semua. Hehee. berhubung ini tunangan orang ya, cincin juga tak mungkin. Bakal ada dua cincin yang akan dia terima. Cincin pertunangan dan cincin pernikahan dia."

"Kalau kalung Arman? Itu bagus ..." tambah Liza.

"Jangan kalung, selama ini tak pernah pakai tiba-tiba memakai, nanti keluarga dan juga calonnya bakal bertanya-tanya. Dia nanti enggak berani pakai. Aku ingin sesuatu yang dia pakai selamanya dan tak mungkin melepasnya," jawabku sambil melamunkan dirinya.

"Ehm ... Anting-anting juga bagus, kadang orang tak memperhatikan anting-anting. Kadang dari kecil orang tak memikirkan untuk ganti," terang Liza dengan alasannya.

Aku mulai menatap satu perhiasan yang unik dan tampak indah di mataku. Aku yakin Inez pasti suka. Aku segera mengajak Liza untuk melihatnya. Aku menunjukkan itu kepadanya.

"Waaah ... Iya, itu sangat bagus. Aku saja suka, jadi Inez pasti gak beda sama aku," balasnya.

"Mbak, kami mau lihat gelang itu," ucap Liza.

Bentuk gelang itu sangat minimalis, dan tidak terlalu ramai hiasannya, ada bintang dan bentuk Lovenya. Menggambarkan kenyataan yang terjadi kepada hubunganku. Bintang adalah harapan bagiku dan dirinya. Hiasan Love pertanda cinta dan kasih sayangku akan terus melingkar kepadanya. Gelang akan mengikat tangannya. Jadi gelang itu adalah symbol aku yang akan selalu mengikatnya dengan rasa cintaku dan harapan untuk tetap menggandengnya. Meskipun itu mungkin atau tak mungkin. Harapan dan mimpiku untuk bisa bersamanya selamanya itu akan terus ada.

"Oke, bisa dibungkus sekalian Mbak?"

"Lhah?! dibungkus Mas? Harusnya langsung saja dipakaikan ke Mbaknya, Mas. Kenapa pakai dibungkus segala. Hehee kalau orangnya sudah di depan mata lebih romantis." Gadis penjaga toko perhiasan itu nyeletuk enggak jelas. Menyebabkan aku dan Liza saling melotot bertatapan. Nih salah paham Mbaknya nih.

"Ehm ... dibungkus saja enggak apa-apa," Pintaku. Aku sih santai, aku enggak mau jelasin karena sekali ini saja ketemu penjaga toko ini. Kalau aku jelasin, malah kasihan dia pasti malu. Sudah SKSD (sok kenal sok dekat) dengan pembeli tapi salah. Pasti dia bakal malu.

"Mbak sama Masnya serasi banget, ganteng sama cantik. Mau nikah atau tunangan Mbak?" tanyanya lagi. Sungguh enggak jelas. Membuat aku jadi pingin tertawa.

Liza sudah nampak bersungut-sungut, dia sudah merasa tak nyaman dengan celetukan penjaga toko itu, tapi aku tahan. Aku memegang lengannya sambil menggeleng. Kasihan saja kalau sampai tahu dan dimarahi Liza. Pasti gadis ini akan malu se- malu-malunya didepan teman-temannya dan juga di depan kami. Aku lah yang berinisiatif menjawabnya.

"Untuk hadiah tunangan Mbak," balasku singkat. Liza nampak menahan tawa dan menggeleng-gelengkan juga kepalanya. Dia tiba-tiba mencubit aku, aku meringis kaget dan kami pun tertawa bersama.

Siguiente capítulo