webnovel

38 Pagi Yang Kocak

Bang Benny menjawab sambil menampilkan wajah serius.

"Iya dia tanya-tanya tentang kantor awalnya, terus tanya tentang kamu cintah, bener! Juga tanya tentang Bebebhmu, kirain teman kamu. Iiiiih tau gitu, aku cuekin ya? Maafkan aku meladeni dia, habis tau sendiri Benny kalau lihat cowok ganteng, langsung Kejer kagak nahan. Maafkan daku ya cintah." Dia menampilkan wajah menyesal dan sedih, sambil menghentak-hentakkan kakinya geregetan. Aku langsung memeluk Bang Ben lagi. Aku berkaca-kaca mau menangis.

"Tak apa Bang, wong namanya enggak tahu," balasku.

"Tadi aku diantar dia, sebel banget," lanjutku

"Aku harus berpisah sama Arman Bang, hubunganku sama dia enggak tahu sampai kapan, tapi jangan bilang dia ya? Kalau dia cerita sendiri baru Bang Ben tanggapi." Bang Benny mengusuk-ngusuk punggungku untuk menenangkan aku yang sedang terisak.

"Siap cintah, aku kadang ikut sedih lihat banyak orang-orang terkasih Benny bersedih hati, tapi Benny enggak bisa bantu apa-apa. Kemarin Mbak Liza, sekarang Mbak Inez, besok siapa lagi ya?" curhatnya pula menimpali aku.

Aku yang mendengar sontak kaget, Liza? Apa enggak salah dengar? Liza pernah sedih? Ups apa Liza bisa sedih? Dia wanita terkuat dan termandiri yang aku kenal, dia sangat dewasa juga luar biasa. Dia bisa menangis tanpa aku tahu?

"Liza Bang? Sedih kenapa? Aku malah dianggap saudaranya malah enggak tahu Bang kalau dia sedih," tukasku penasaran.

"Eh ... iya lho, malah dia sering pagi buta kesini. Aku belum apa-apa sudah nangis saja duduk termenung di kursi warungku ini."

Apa?! Sering nangis katanya? Kenapa ini? Kenapa aku sebagai orang terdekatnya malah tidak diberi tahu? menangis kenapa dia?

"Masalahnya apa dia Bang?" cecarku ingin tahu. Bang Benny mengatakan bahwa Liza tidak pernah mengatakan dengan jujur seperti aku, dia hanya mengatakan bahwa ada masalah yang selama ini mengganggu hatinya dan tak tahu itu apa? Sungguh Liza tega sekali menyembunyikan masalahnya kepadaku. Aku selalu terbuka dengannya bahkan tak ada sedikitpun yang aku tutupi. Apa iya dia tidak menganggapku saudara dengan sungguh-sungguh? Sungguh enggak adil kamu Liz, sama aku! Kamu jahat sekali.

"Kalau sering nangis, sejak berapa lama Bang?" tambahku lagi.

"Ya, kalau nangisnya itu sudah lama dari dulu sering nangis, tapi dua pekan ini makin sering Cin, tapi aku enggak bisa bantu apa-apa gitu, ya cuma jadi pendengar setia juga hanya bisa menenangkannya dengan secangkir kopi atau teh untuknya," bebernya membuat aku makin bertanya-tanya. Karena aku lihat jam sudah pukul 07:30, aku bergegas berpamitan dengan Bang Benny. Aku harus masuk ke kantor karena sudah mulai akan masuk jam kerja. Bang Benny seperti biasa melambai-lambaikan tangannya terus sambil mengirim Kissbye dari jauh membuat aku tersenyum.

Aku berjalan menuju tempat kerjaku. Aku tak menyangka ada seseorang yang mengagetkanku dari balik pintu utama masuk kantor.

"BAAA!!!" teriaknya.

"AAAAHHH ...!!" Aku terperanjat karena tak menyangka.

"Arman?! Kamu?" Aku yang hendak marah seketika layu dan berganti dengan rasa hati yang berbunga-bunga.

"Kamu kaget ya? Aku datang dari tadi lho, aku kira kamu sudah datang duluan karena ingin tahu tentang ceritaku kemarin, ternyata jam segini. Humm habis ini sudah banyak yang datang," jawabnya sewot.

"Aku sudah enggak mau dengar cerita kamu sama si Ayu. Kamu, kan sudah memberi aku kabar terus, jadi aku sudah percaya sama kamu," ucapku dengan senang hati.

"Kalau begitu, ayo lakukan dengan cepat," obrolku.

"Apanya?!" tanyanya mungkin tak tahu maksudku.

Aku langsung memeluknya dan segera mencium bibirnya itu, mumpung belum ada orang. Aku sudah merindukan lelakiku ini sejak kemarin. Aku ingin menghapus cerita kemarin bersama orang itu yang sangat menjengkelkan, digendong dia, diajak kerumahnya, diantarkan dia, kisah Arman yang sedang bersama perempuan lain di rumahnya itu. Humm banyak sekali daftar yang ingin aku hapus. Mungkin dengan ciuman dan pelukan dari orang yang kusayang akan bisa menghapus itu semua, mengganti dengan bunga-bunga di hari ini dan meniupkan aroma kesegaran pada hariku sekarang, dia juga sama, tak menolak dan makin mengeratkan pelukannya kepadaku.

Kami segera melepaskan itu semua, sambil sama-sama memberi senyuman yang menghangatkan. Mengingat waktu yang semakin mendekati jam 08:00 akan ada banyak karyawan yang akan segera datang.

"Nanti pulang anterin aku ambil motor di rumah warga ya?" pintaku.

"Kok bisa? Di rumah warga gitu?"

"Iya, panjang ceritanya, nanti saja pas pulang sama kamu aku kasih tahu," jawabku malas menjelaskan kejadian yang tak kusuka itu.

Aku berpamitan kepada Arman untuk menuju ruanganku karena memang harus prepare banyak hal sebelum aku memulai pekerjaanku. Dia pun sama bergegas ke ruangannya. Kami saling melempar senyum dan melambaikan tangan.

Ketika Arman hendak memasuki ruangannya, giliran dia yang di balas dikagetkan oleh orang lain. Siapa lagi kalau bukan Rika? Fans satu-satunya yang sama sekali tak pernah putus asa.

"Hai, hai Mas Arman!!! Selamat pagi Mas yang paling ganteng!" Sumringah menyambut kedatangan Arman kayak menyambut seorang di terminal kedatangan Bandara. Arman dengan ekspresi kaget sedikit, lalu biasa saja. Dia melanjutkan kegiatannya. Ia rogoh tasnya lalu mengeluarkan bekal makan yang dibawakan oleh Ayu. Apalagi kalau bukan semur ayam pedas masakan sisa kemarin itu. Ia letakkan di meja sampingnya.

"Waaah ini bekal Mas Arman? Masak sendiri ya mas? Keren nok, uda ganteng pinter masak pula, idaman deh, Mas Arman." Rika makin berbinar-binar.

"Hadeeeh, jangan berisik dong Rik, pagi-pagi begini kayak radio ..." Protes Arman.

"Iya deh, aku to the point saja, lihat aku bawain apa buat kamu, Mas? Aku tahu kamu orang Jogja, dengan kesibukan Masnya yang padat jarang bisa pulkam, kan ya? Karena itu aku buatkan Gudheg Jogja, yeay!! Kamu pasti kangen dengan makanan khasmu ini mas? Kamu suka, kan Mas? Aku latihan bikin sudah lama lhoo mas." Gadis itu sambil tertawa-tawa girang dan bertepuk tangan sendiri.

"Kamu keliru Rik, baru saja minggu kemarin aku pulkam, jadi aku enggak kangen gudheg," jelas Arman.

"Yaaah Rika sedih, Mas. Eh ngomong-ngomong aku enggak pernah ke Jogja lhoo sama sekali, lain kali mas Arman harus ajak aku ya kalau pulkam lagi, janji lhoo ya?" wajah Arman makin merasa bodoh diajak berdebat dengannya.

Rika secepat kilat mengambil bekal Arman dan meninggalkan bekal dia.

"Makasi Mas bekalnya buat aku, kita tukeran bekal ya? hihihi."

"Eh, ayo! Ayo segera pergi! Mbak Inez dari pagi sudah datang lho, nanti kamu dihajar dia," usir Arman kepada gadis yang mentalnya kuat banget selama ini, masih saja mencari perhatian Arman dengan telaten.

Siguiente capítulo