webnovel

Pacar

-Moirai Valentine-

Rasa cinta itu muncul karan terbiasa, mengalir bak air. Tersenyum, dan tertawa di atas bumi dan di bawah matahari senja.

----------------------------------

Setelah menarik Maura keluar dari asrama phoenix, Erlang menggandeng tangan gadis itu, membawanya menepaki jalan berbatu yang halus. Mereka berjalan-jalan mengelilingi halaman belakang sekolah.

Angin kecil menerpa wajahnya, menerbangkan aroma melati dan mawar.

Bibirnya tidak bergerak, emosi yang tadi sempat meluap perlahan berangsur-angsur menghilang. Erlang menghela berat, ia menatap Maura yang mengerut bingung.

"Maaf.." cicitnya.

"Maaf, kenapa?" tanya Maura.

Gadis itu kebingungan sejak Erlangga menyeretnya tadi, ada raut kesal yang terpampang jelas. Maura hanya diam karena dia tidak mau ikut campur, lagi pula mereka hanya berkencan tidak lebih.

Erlang mengeling, "Lupakan, itu gak penting. Ngomong-ngomong, gimana mereka? Tidak ada yang menyakitimu kan?"

"Hah? Maksudnya?"

"Teman-teman asrama." Erlang berhenti. "Tapi saat liat Lo masih hidup artinya semua baik-baik saja kan?" guraunya santai.

Maura mendesis saat memahami hal yang di tanyakan oleh pemuda itu.

"Gak juga, mereka cukup baik, kurasa."

Lebih dari yang terlihat, Maura dulu menganggap jika anak-anak dari asrama phoniex adalah yang terburuk, dari yang terburuk. Mereka punya segalanya dan enggan berbaur dengan asrama rendah seperti dia dan teman-temannya yang lain.

Setidaknya itulah pendapat orang-orang selama ini, keabsenan mereka saat kafeteria penuh juga cukup menjadi alasan Maura melebali mereka sangat tidak sopan.

Tapi sikap mereka hari ini yang masih seperti manusia tadi membuat Maura meragukan penilaiannya selama ini. Hanya sedikit, mereka masih menyebalkan.

"Mereka menyenangkan, maksudku ya … cukup manusiawi." lanjut Maura.

"Apa itu penilaain Lo sama teman-teman Lo yang lain?"

Erlang melepaskan genggaman tangannya. Ia meraih sejumput rambut Maura, menyisipkannya ke belakang telinga, "Rambutmu berterbangan bebas." bisiknya.

Maura terdiam, langkah mereka memelan. "Te-terima kasih," ucapnya gugup. Wajahnya mungkin memerah saat ini.

Keberadaan Erlangga yang tidak cukup jauh dari tubuhnya sukses mengirim sinyal tidak wajar untuk jantung.

"Rambutmu sedikit berwarna merah, aku tidak lama menyadari itu."

"Hanya saat matahari menimpanya." Maura memberi tahu. "Rambut Mamaku juga seperti ini, hampir mirip."

"Tante Sarah.."

Maura bergumam mengiyakan, "Lo tau nama Mamaku?"

"Cukup mudah kok, ada Gilang yang siap sedia jadi agen dadakan. Lagian kalo gak ketemu ya aku tanya aja langsung sama tente pasti di jawab."

Erlang membimbing Maura turun ke undakan tanah yang lebih rendah. Menarikanya agar duduk di salah satu kursi taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiiri.

"Mama aku terobsesi sama Lo tau, aku aja kaya berasa jadi anak tiri." Seru Maura setengah kesal.

Ia ingat saat malam hari sebelum kembali ke sekolah. Tepat tengah malam Mamanya masuk ke dalam kamar, membangunkannya yang sedang enak-enaknya tidur hanya untuk mengatakan patuah aneh agar Erlangga tertarik padanya.

Kampret!!

Benar kata Gio, standar calon menantunya Mama sarah langsung naik tingkat saat bertemu Erlang. Padahal dulunya, tau Maura mau bertemu teman laki-laki saja senangnya minta ampun.

Tapi sekarang, apa-apanya harus Erlang … Erlang … dan Erlang, asli ia merasa di anak tirikan.

Erlang terkekeh, "Mama Lo unik, jadi tau dari mana keunikan Lo berasal."

Maura menyipitkan matanya, "Aku gak paham apa makna unik versi Lo itu."

Erlang hanya tertawa, enggan menjawab pertanyaan Maura. "Aku belum pernah ketemu sama Papamu, apa dia sebaik tante Sarah?"

"Sangat, bahkan menurut ku papa jauh lebih baik."

Papanya adalah orang yang selalu mendukungnya, menemaninya, tempat berlindung saat mamanya mengamuk. Maura terkekeh mengingat itu semua, ia ingin menceritakan semua kebaikan papanya hanya saja mungkin Erlang akan bosan mendengarkan.

"Kedengarannya menyenangkan, keluargamau sangat bahagia beda dengan keluargaku."

Maura menyadari ada kesedihan dari nada bicaranya. "Orangtuamu tidak begitu?" bisinya memelan.

Erlang mengeling, iris kelabunya menatap lurus ke depan, tatapan kosong. "Mereka sibuk."

Singkat padat dan jelas. Erlang tidak lagi mengungkit hal lainnya. Pria itu menyandarkan kepalanya ke bahu Maura.

Sontak ampunya terkejut, "Err … Erlang …" cicit Maura.

"Bentar, Ra. Aku ngantuk …"

Maura menghela napas berat, ia melirik Erlang yang sudah memejamkan matanya degan damai.

----------Moirai Valentine----------

Matahari semakin condong ke barat. Maura terlihat memandangi wajah lelah Erlang, kilatan cahaya menyusup melalui sela-sela daun rimbung yang ada di taman tidak jauh dari sekolahnya, merembas dan memantul ke kepalanya.

Beberapa kali Erlang menyipitkan matanya kala cahaya itu mengenai iris abu-abunya. Sampai ampunya sukses membuka mata dengan raut kesal.

Erlang menegakkan tubuhnya, "Sudah sore?" tanyanya.

"Hm … tidurmu nyenyak?" sidir Maura.

Gadis itu bahkan tidak berani bergerak saat bahunya kaku dan kebas, sempat terpikir untuk mendorong tubuh kekar Erlang menjauh, tapi saat melihat wajah damainya Maura langsung bergetar.

Rasa itu berbeda saat dia bersama Bara, bukan perasaan sakit dan mendamba seperti saat bersama mantan gebetannya itu.

Saat bersama Erlang, Maura ingin melompat ke dalam pelukannya saat itu juga, jangan ditanyakan lagi betapa kencangnya dekupan jantung. Darahnya mendidih hanya karna pijian kecil yang ia sematkan.

"Lumayan.." gumam Erlang.

Pria itu menoleh ke samping, ia tersenyum, "Apa bahu Lo cepak? Mau aku urut?"

"Er … Shit!!" Maura mengupat.

Erlangga langsung meraih bahunya tanpa menunggu persetujuannya terlebih dahulu. Maura tidak bisa protes, matanya terpejam menikmati sentuhan pelan dari jari jemari Erlang.

"Enak?"

"Hmmm.."

"Anggap ini bayaran untuk yang tadi," bisik Erlang menggoda.

Perlaham matanya mulai mengantuk. Sampai beberapa menit kemudian, Maura langsung tersadar dan bangkit dari posisinya, Erlang mendesah kaget, "Kenapa?" tanyanya.

"Sudah hampir senja, Luna sama Mira bisa kelabakan cariin aku."

Erlang mengangguk paham, ia bangkit, menepuk-nepuk celananya dari debu padahal tidak ada debu di sana.

Maura mengerutkan alisnya bingung, seketika ia menyadari pakaian yang Erlang kenakan memiliki warna yang sama dengannya. Pantas saja anak-anak asrama phoenix tadi habis habisan menggoda mereka.

"Lang!! Baju Lo kok samaan sih sama aku?"

Erlang mendongkrak, "Lo baru sadar?"

Maura memutar matanya, Erlang meraih tengannya lagi membawa naik ke undakan tanah yang lebih tinggi, membantunya.

Maura beberapa kali tersendak kaget saat kulit mereka bersentuhan, ada percikan listrik yang ia rasakan di sana.

'Apa ini cinta lagi? Rasanya mustahil untuk jatuh cinta hanya dalam waktu seminggu lebih.'

Maura tidak berani lagi memulai pembicaraan, ia sibuk dengan perasannya sendiri yang terombang-ambing. Sesekali melirik Erlang.

Bertepatan dengan matahari tenggelam, keduanya sampai di depan asrama Libra.

Erlang melepaskan genggaman tangannya, iris kelabunya seperti menari-nari kesana kemari.

Pria itu beberapa kali berdaham canggung, sampai akhirnya ia memberanikan diiri, "Err … Maura, Lusa Lo ada waktu?" tanyanya.

"Kenapa memangnya?"

"Gio bilang katanya dia ada pertandingan, kalo lo gak sibuk, gimana kita kesana?"

Maura menyipitkan matanya, "Apa ini kencan?"

Erlang terkekeh pelan dan mengangguk, "Hmm, kau pacarku sekarang." Erlang memberitahu seenaknya.

"Seingat aku, Lo belum pernah nyatain perasaan Lo?"

"Surat itu sudah perwakilan Lo." Erlang mengklim seenaknya.

Ingtannya tetang mengutip kata-kata aneh itu kembali menintas di benaknya.

Maura tidak menjawab. Padahal jantungnya sudah nyaris keluar saking kencangnya.

Erlang nyatain perasannya!!

Erlang nyatain perasaannya!!

Mimpi apa aku semalam, ya Gusti!!

Erlang memasang raut aneh, saat Maura hanya mematung tanpa merespon apapun.

Pria itu berdaham canggung. "Ok, err.. Maura Lo mau gak jadi pacarku?" tanyanya hati-hati. "Entah ini sudah terlambat atau apalah itu, but aku sudah mengangapmu sebagai pacarku sejak surah itu sampai padamu."

Erlang menarik pelan Maura sampai ampunya tersipu malu.

"Mau kan?"

Maura mendongkrak, ia tersenyum dan mengangguk pelan.

'Tuh dia sudah hampir berteriak kegirangan dalam hati.'

Semudah itu? Erlang tersenyum lega, ternyata tidak sesulit mengutip surat cinta kala itu.

Maura mendekat tiba-tiba, menyentak pegangan tangannya dan mengecup pelan pipi Erlangga saat pria itu tidak sadar dan mematung.

"Itu bayaran.." kemdian Maura berlari memasuki asramanya tanpa menoleh lagi.

Bersambung..

Siguiente capítulo