webnovel

Mengikutimu

"Kamu ikutin aku?" tanpa basa basi laki-laki itu langsung berucap hal tesebut pada Kanaya.

"Hah?" kedua mata Kanaya langsung saja terbuka sempurna. Bagaimana bisa laki-laki itu berkata seperti itu padanya.

Tatapan Gibran seolah benar-benar membuat seorang Kanaya tidak mengerti.

"Kamu ikutin aku?" ulang Gibran.

"Atas dasar apa aku ikutin kamu, Gibran?"

"Nyatanya kamu disini juga."

Kanaya tertawa, ia mengelengkan kepalanya dengan tak percaya.

"Jangan halu!" Kanaya melangkah pergi dengan rasa kesal yang masih menyelimutinya.

"Nay, kamu mau kabur?" kini gantian Gibran yang panik karena di tinggal oleh Kanaya.

Gibran melangkah mengikuti Kanaya yang melangkah pergi dari tempat itu menuju tempat sebuah makanan ringan.

"Aku yang ikutin kamu?" Kanaya merasa jengah, bukankah Gibran yang mengikutinya sejak tadi.

"Aku --- " entah apa yang harus Gibran jelaskan. Semantara tuduhan memang hanya sebagai alasan berbicara dengan Kanaya.

Bibir Gibran masih komat kamit tidak jelas, ia tengah bingung memberi alasan kepada Kanaya agar mempercayainya. Kedua bola mata laki-laki itu pura pura sibuk mengamati sesuatu yang ada di keranjang belanjaan Kanaya. Seolah mengalihkan tatapan dari perempuan yang ada hadapanya.

Kanaya menghela nafas panjang, ia tidak tau tuduhan itu mudah Gibran lontarkan padanya. Padahal ia sendiri baru saja melihat Gibran, bagaimana bisa laki-laki malah menuduhnya seenak jidat.

Kanaya memilih melangkah pergi dari hadapan Gibran, ia berusaha mencari sesuatu untuk Surya. Ada sesuatu yang menurutnya menarik, yaitu sebuah mie instan super pedas kesukaan Surya. Sudut bibir gadis itu tersenyum saat melihat sesuatu yang membuat Surya nantinya bahagia. Selama ini Surya sudah membantunya banyak hal, tentu Kanaya akan merasa senang jika dirinya juga berguna untuknya.

Kanaya mengambil empat bungkus mie tersebut dengan cepat, seolah tidak ingin tiba tiba Gibran berada di hadapanya. Lalu ia masukkan ke keranjang belanjaan. Setelah merasa aman dan cukup dengan barang barang yang harus ia beli. Kanaya memutuskan untuk ke kasir untuk membayar semua belanjaanya.

Kanaya keluar dengan langkah cepat berharap tidak ada seseorang yang mengikuti dirinya. Mengingat ada Gibran di sekitarnya tentu membuatnya merasa waspada.

Bruuukk ...

Tiba-tiba ada seseorang yang membuat Kanaya terjatuh.

"Aduh ...." rintih Kanaya dengan mengusap lutut yang di bungkus celana panjang.

"Maaf," Gibran ikut menunduk untuk memastikan Kanaya baik baik saja. Niatnya hanya ingin berbicara dengan Kanaya, tapi kenapa ia justru membutnya terluka.

"Kamu ...." tatapan Kanaya menajam begitu saja saat tau pelakunya adalah Gibran.

Gibran nampak panik melihat kondisi Kanaya, apalagi perempuan itu menatapnya tidak santai. Terlihat jelas rasa kesal yang perempuan itu rasakan saat ini.

"Ayo, aku bantu," Gibran menyodorkan telapak tanganya pada Kanaya. Namun, Kanaya justru berdiri tanpa menerima uluran tangan Gibran.

"Kenapa sih, kamu? Bukanya kamu yang ikutin aku. Buktinya sekarang kamu ada di depanku." Rasa kesal benar benar menyelimutinya saat ini, entah kenapa ia hanya ingin segalanya berakhir. Antara dirinya dan Gibran.

"Nay, aku ---" rasanya teramat berat bagi Gibran untuk menjelaskan segalanya.

"Apa? Maaf, aku harus pergi."

Kanaya mengambil belanjaanya yang jatuh, lalu ia berjalan menuju di mana Surya parkir.

Rasa sesak itu menyelimuti Gibran lagi. Dimana rasa sakit kehilangan Kanaya yang sangat ia takutkan. Kini Gibran berusaha menyadari perlakuan Kanaya yang berubah. Mungkin karena Kanaya sudah menikah. Ya, mungkin itu alasan dia tidak suka dengan kehadiran Gibran.

Gibran menatap punggung Kanaya yang semakin menjauh, tampak ada sebuah mobil yang menunggu kehadiranya.

"Itu pasti suami Kanaya." Tatapan Gibran semakin sayu melihat Kanaya masuk mobil bersama seorang laki-laki.

****

Gibran pagi ini ada acara berkumpul bersama teman SMA. Mengingat akan hal itu, Gibran memutuskan untuk cuti satu hari saja. Gibran juga merasakan tubuhnya sangat lelah. Apalagi pikiran Gibran yang kembali lagi memikirkan perempuan. Perempuan yang tiga tahun berusaha ia lupakan. Namun, justru memori itu kembali hanya dalam kurang dari satu menit.

Perjalanan hidup harus tetap berjalan. Ia tidak mungkin terus terusan larut dalam kenangan, tapi apa yang bisa Gibran perbuat jika rasa itu muncul tanpa ia minta. Bahkan, ia sendiri ingin melupakannya.

Gibran berpatut di cermin dengan mengenakan kemeja warna biru tua. Warna kesukaan Kanaya. Kenapa semua harus tentang dia, kesukaan dia. Sebegitu pentingkah Kanaya?

Gibran melangkah keluar, sembari menunggu kedatangan kedua sahabatnya semasa di SMA. Dua laki laki itu sampai sekarang masih sering bertemu dengan Gibran, saat Gibran punya waktu luang.

"Bro," panggil laki-laki yang sejak tadi Gibran tunggu.

"Lama." Gibran memakai sabuk pengaman setelah kedua sahabatnya masuk ke dalam mobil miliknya.

"Kanapa nggak pake mobil sendiri sendiri aja, biar terlihat keren," kata Rian.

"Iya, biar banyak cewek yang melirik," tambah Rio.

"Alah, mana ada?" ledek Gibran.

"Ada, banyak."

Gibran hanya fokus dengan jalan yang ia tempuh, malam ini suasana nampak sangat indah. Membuat Gibran merasa bersemangat. Padahal di tempat itu tidak ada Kanaya.

"Dia ... kembali." Ucap Gibran tanpa memandang kedua orang yang berada di mobilnya.

"Dia?"

"Siapa?"

Kedua lelaki itu tentu bukan cenayan yang bisa menebak isi pikiran seseorang. Gibran masih diam, ia masih engan menjelaskan seseorang yang ia maksud. Mungkin butuh waktu extra untuk mengutarakan yang sebenarnya, atau ia akan mendapat hujatan tanpa batas dari kedua manusia di mobilnya itu.

"Gib, apa? Siapa?" Haruskah Rian menebak kemana arah bicara Gibran.

"Iya, dia siapa?" Rio juga ikut penasaran. Pasalnya, semenjak berakhir dengan Kanaya, laki laki itu jarang menyebut perempuan lain selama ini. Bahkan, hanya nama Kanaya yang menjadi topik pembicaraannya.

"Kanaya."

"HAH?"

"KANAYA?"

Kedua laki-laki itu sama sama terkejut. Sudah hampir tiga tahun mereka tidak membahas tentang perempuan itu, dan sekarang Gibran membicarakannya lagi.

"Iya." Gibran kali ini menoleh ke arah kedua lelaki itu untuk memastikan ucapanya sungguh sungguh.

Rian dan Rio masih terkesiap. Mereka tidak menyangka Gibran masih memikirkan perempuan yang sudah meninggalkanya demi menikah dengan orang lain. Itulah yang kedua laki- laki itu tau tentang Kanaya.

"Bro, kenapa harus dia? Bukanya banyak perempuan yang jauh lebih baik dari dia." Rian menepuk pundak Gibran pelan, ia merasa tidak tega dengan keadaan Gibran jika sedang memikirkan Kanaya seperti sekarang. Setau mereka, Kanaya adalah perempuan jahat. Padahal, kebenaran itu tidak 100% benar adanya. Masih banyak hal yang kedua orang itu tidak tau tentang Kanaya.

Rasanya sangat sakit di benak Gibran, saat seseorang berkata hal semacam itu tentang Kanaya. Meskipun ada beberapa kebenaran, tetapi rasa itu masih utuh untuknya. Entah sampai kapan perasaan itu tetap ada.

BACA TERUS KISAH GIBRAN

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

JANGAN LUPA KASIH SUBSCRIBE DAN VOTE YA ...

SEE YOU ...

SALAM

NURKHUSNA.

Siguiente capítulo