webnovel

Kamu Masih Bertahta di Hati

"Jangan lama-lama?" omel Gibran dari dalam mobil saat Kanaya menutup pintu toko.

"Iya, bawel," balas kesal Kanaya.

Kanaya sudah selesai menutup toko. Lalu ia berjalan untuk mencari kendaraan pulang. Biasanya Kanaya naik angkot kalau berangkat, dan pulangnya mengunakan taxi. Jika malam ada angkot pasti Kanaya memilih naik angkot untuk menghemat uangnya.

"Kemana kamu?" tanya Gibran saat melihat Kanaya berlalu saja dari mobilnya.

"Pulang." Kanaya masih sibuk memasukkan kunci toko kedalam tasnya.

"Aku tau. Kenapa nggak masuk?" 

"Masuk? Masuk kemana?" bingung Kanaya.

"Mobil."

"Mobil siapa? Aku belum punya mobil," sahut Kanaya lalu memilih pergi dari hadapan Gibran.

"Mobil aku," balas Gibran.

"Emang kamu nawarin?"

Gibran menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia yang bodoh atau memang ia yang di bodohi. Rasanya Gibran ingin menjitak kepala Kanaya agar sadar kalau Gibran peduli padanya. Perlu diperjelas? Gibran peduli dengan Kanaya.

"Nay, ayo naik!" perintah Gibran.

"Maaf Gibran, aku bisa sendiri. Terimakasih sudah temani aku ya, aku duluan," ujar Kanaya saat sudah dapat taxi.

Gibran hanya bisa diam. Rasanya ia kembali di masa tiga tahun yang lalu, mendengar ucapan lembut Kanaya. Ucapan Kanaya seolah membiusnya agar diam. Gibran berusaha menyadarkan dirinya.

"Waktu itu Kanaya di jodohkan dengan orang lain, pasti dia sekarang adalah istri orang. Mungkin dia tidak ingin suaminya salah paham," batin Gibran berusaha menyadarkan dirinya.

Gibran menyenderkan kepalanya di kursi kemudi. Ia merasa tidak nyaman di hatinya saat mengingat Kanaya istri orang, tapi harus bagaimana lagi, itu keputus keluarga Kanaya. Gibran tidak ingin menjadi perusak hubungan rumah tangga orang.

****

Saat sampai di rumah, Gibran tidak bisa menghilangkan bayangan Kanaya di fikiranya. Ia merasa gelisah, bahkan sulit tidur. Gibran melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 2:00 pagi. Ia belum sempat tidur sejak tadi.

Gibran mengambil ponsel di atas nakas. Ia membuka aplikasi whatsapp, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Gibran bangun dan segera membukan laci, ia menemukan kertas kecil yang ia cari. Kertas itu bertuliskan nomor seseorang.

Gibran mengetikkan nomor itu di ponselnya. Setelah selesai ia mengecek aplikasi whatsapp.

"Masih aktif?" gumam Gibran.

Gibran mengangkat sudut bibirnya untuk tersenyum saat melihat nomor Kanaya masih sama. Ia menyimpan nomor Kanaya. Namun, ia tidak pernah menghubungi perempuan itu.

****

"Tolong, foto copy kan berkas saya, Pak Aldi?" pinta Pak Abraham pada Aldi. Hari ini hari bersih-bersih jadi para OB pun juga sibuk melakukan tugasnya.

"Pak, biar saya saja," sahut Gibran menawarkan diri.

"Lho, kamu bukanya hari ini harus meeting?" bingung Pak Abraham.

"Saya mau beli sarapan di luar. Jadi saya bisa fotocopy-kan berkasnya sekalian," terang Gibran.

"Baiklah. Cepat kembali!"

"Iya, Pak."

Gibran menerima berkas yang perlu di foto copy, ia melangkah keluar dengan langkah cepat yang biasa laki-laki lakukan.

****

Gibran melihat toko foto copy langganan kantornya yang tampak sepi, tempat itu tidak begitu jauh dari kantor. Sebenarnya Pak Abraham hanya ingin memberi pekerjaan pada pemilik toko foto copy itu. Awalnya pemilik toko itu butuh pekerjaan. Jadi Pak Abraham memberi tempat agar pemilik toko itu membuat tempat foto copy-an yang merupakan tanah Pak Abraham. Meskipun itu tanah milik Pak Abraham, tapi Pak Abraham tetap membayar layaknya pada tukang foto copy lainya.

Gibran berniat turun dari mobil, tiba-tiba ia teringat sesuatu, yaitu tempat Kanaya. Gibran memasukkan kakinya lagi ke dalam mobil, Gibran pikir ini kesempatan yang tepat untuk menemui Kanaya. Ia merasa punya alasan ke tempat Kanaya dengan cara foto copy berkas.

Gibran mengurungkan niatnya untuk turun, ia memilih foto copy di tempat sedikit jauh itu. Mungkin jika ada para teman Gibran, laki-laki itu pasti sudah di hujat. Bagaimana tidak? Gibran terkenal tegas, tidak bertele-tele, tapi ia justru lemah hanya karena satu mantan. Satu mantan.

Gibran sudah sampai di depan toko foto copyan Kanaya, ia sedikit ragu untuk turun. Tempat itu sedikit antri dari sebelumnya. Gibran berfikir beberapa kali agar keputusanya tidak salah. Hari ini Gibran seperti orang lain. Kenapa kok begitu? Pasalnya, laki-laki tidak suka berpikir lambat seperti yang Gibran lakukan sekarang.

Gibran memilih turun saja dari mobil. Jujur, ia ingin bertemu Kanaya walau sebentar. Gibran sengaja mengantri paling akhir, ia seolah menanti tempat itu agar sepi.

Setelah menanti hampir setengah jam, akhirnya kini giliran Gibran. Gibran saat ini seperti orang yang bodoh. Laki-laki itu bukan type lelaki yang mau menunggu seperti yang sekarang Gibran lakukan. Mungkin, hanya Kanaya yang bisa membuatnya seperti ini.

"Mas, mana yang mau di foto copy?" tanya Kanaya yang masih belum memandang seseorang di hadapanya.

"Aku," kata Gibran.

Kanaya langsung menoleh saat mendengar suara yang tidak asing baginya.

"Eh, Gibran," Kanaya tersenyum ke arahnya.

"Hmm, rame banget?" ujar Gibran yang masuk ke dalam mendekat pada Kanaya.

"Hmm, iya. Mau foto copy atau ...," goda Kanaya.

Gibran langsung menjitak jidat Kanaya dengan pelan.

"Aww ...," pekik Kanaya.

"Jangan GR! Nih, foto copy in. Jadi 1000 lembar," ujar Gibran ngawur.

Kanaya mengerutkan keningnya. "Ini beneran? Nggak salah?" Kanaya merasa tidak yakin.

"Iya. Buruan!" tambah Gibran.

Laki-laki itu duduk di meja dekat foto copyan.

"Ini tempat duduk." Kanaya menyodorkan satu kursi pada Gibran.

"Oh, iya."

Kanaya mulai melakukan foto copy berkas Gibran. Hari ini Kanaya cukup lelah, karena banyak sekali orang yang foto copy. Memang itu yang Kanaya harapkan, ia merasa bersyukur dapat kemudahan hari ini.

"Setiap hari rame kayak gini?" tanya Gibran.

"Emm, kadang iya. Kadang juga nggak serame tadi," balas Kanaya.

Setelah memasukkan kertas foto copy, Kanaya duduk di meja yang tadi Gibran duduki, untuk istirahat dan menunggu 1000 lembar yang Gibran minta.

"Perempuan nggak baik duduk di meja. Sini duduk di pangkuanku," kata Gibran saat melihat Kanaya duduk di meja.

Kanaya langsung menatap tajam ke arah Gibran.

"Itu mau kamu," ujar Kanaya.

"Mau kamu juga." Gibran tidak mau kalah.

Kemudian keduanya tertawa lebar. Gibran merasa sangat merindukan peristiwa seperti sekarang, bisa menggoda dan bercanda dengan Kanaya. Apakah semua itu akan kembali, Kanaya?

"Kamu sekarang tinggal dimana?" tanya Gibran setelah mereka terdiam lama.

"Masih sama," balas Kanaya.

"Nggak pindah ke rumah suami kamu?" meski berat menyebut kata suami tapi Gibran tetap berusaha bisa melakukanya.

"Suami?" pikiran Kanaya teringat kembali dengan peristiwa tiga tahun lalu.

Gibran mengamati Kanaya yang masih tampak bingung. Laki-laki itu menanti jawaban yang akan Kanaya lontarkan.

"Apa mungkin Kanaya sekarang sudah punya anak?" batin Gibran seolah merasa sesak sendiri.

BACA TERUS KISAH GIBRAN

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

SALAM

NURKHUSNA.

Siguiente capítulo