webnovel

9. Trick

Chapter 9

Trick

"Ma, kau tidak bisa berbuat sewenang-wenang seperti itu." Beck langsung melayangkan protesnya.

Lucy tersenyum dengan cara yang sangat angkuh. "Apa yang tidak bisa kulakukan? Perusahaan ini milikku."

Beck mendengus, ia kehabisan kata-kata karena fakta ya memang perusahaan itu milik ibunya.

"Sayang, tunggulah di luar," kata Beck kepada Sophie.

Sophie mengangguk lemah dan dengan wajah tertunduk ia meninggalkan ruangan itu diiringi tatapan sinis dari Lucy.

"Mulai Senin, Vanilla yang akan menjadi sekretarismu," ujar Lucy, terdengar dingin, tetapi tegas.

Beck terkejut mendengar ucapan ibunya. "Ma, jangan bercanda." Pria itu mengerutkan kedua alisnya hingga kedua alisnya nyaris menyatu.

"Vanilla tunanganmu, bukankah baik jika kalian bersama sepanjang hari?" Lucy mendekati putranya lalu menepuk bahu Beck, lembut penuh kasih sayang.

"Ma...."

"Apa susahnya kau menerima perjodohan kalian? Lagi pula, kalian telah mengenal sejak kecil."

"Aku tidak mencintai Vanilla, Ma. Dia hanya kuanggap adik." Beck menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Aku tidak menerima gadis lain sebagai menantu di keluarga kita, Beck," ujar Lucy tegas. Ia beringsut lalu duduk di kursi seberang meja kerja Beck.

"Ma, Vanilla meninggalkanku pergi, empat tahun Ma. Dia bahkan tidak pernah mencariku selama itu."

Lucy menatap putranya. "Beck, itu kesalahanmu sendiri," ucapnya dingin.

"Apa salahku? Aku memberinya pilihan saat itu dan kami juga telah sepakat. Tapi, Vanilla sendiri yang membohongiku."

Lucy menelan ludahnya. "Kau sendiri tidak mengerti dengan dirimu, kau tidak mau kehilangan Vanilla tapi kau selalu mendorongnya untuk pergi."

"Dia menginginkan aku memutuskan Sophie, aku pergi untuk memutuskan Sophie saat itu seperti yang diinginkan Vanilla," ucap Beck.

Lucy tertawa hambar. "Kau bisa membohongiku dengan kata-katamu, Beck. Tapi, Vanilla tidak sebodoh itu. Tuhan menyelamatkannya dari kebohonganmu."

Beck kembali mengerutkan keningnya, ekspresi wajahnya jelas berubah.

"Kau nyaris membuatnya kehilangan masa depan. Beck, ingat kata-kataku. Kau akan menyesal nanti jika kau terus menolak Vanilla, camkan kata-kataku." Lucy bangkit dari duduknya, wanita itu menatap Beck dengan tatapan memperingatkan.

Lucy melangkah hendak meninggalkan ruang kerja Beck. Tetapi tepat sebelum ia meraih gagang pintu wanita itu berhenti. "Beck, jika kau terus menolak Vanilla, dengan berat hati aku mengatakan ini, silakan kau keluar dari perusahaan ini, dan kita lihat apa kekasihmu itu masih menerimamu sebagai kekasihmu?"

Rahang Beck mengeras mendengar ucapan ibunya, ia bangkit dari duduknya. "Ma, Sophie bukan gadis seperti itu, dia tulus mencintaiku."

"Dengan memanfaatkan kartu kreditmu yang tagihannya bahkan mencapai angka puluhan ribu dolar dalam satu bulan? Hebat kau Beck, kau dibutakan oleh wajah polosnya." Lucy menarik gagang pintu, melangkah dengan anggun diikuti oleh Beck yang tahu apa yang akan di lakukan oleh ibunya.

Lucy berhenti tepat di depan meja di mana Sophie duduk. Ia mengamati Sophie dengan tatapan dingin.

"Kau, kenapa masih di sini? Apa kau tidak mendengarkan aku tadi? Kau sudah dipecat." Suara Lucy terdengar nyaring dan tegas hingga bisa di dengar oleh semua orang yang berada di kubikel-kubikel tepat di seberang tempat Sophie biasa duduk.

"Oh iya, mobil yang telah di belikan Beck, anggap sebagai bayaranmu tidur dengan putraku. Tapi, kartu kredit yang kau pakai, aku minta kau kembalikan sekarang," ujar Lucy membuat semua yang berada di kubikel semakin bernafsu untuk menguping seolah mendapat bahan gosip yang paling empuk.

Sorot mata Lucy tampak penuh kemenangan yang telak karena Sophie hanya bisa diam seribu kata.

"Dan perhatian untuk semua, mulai hari Senin akan ada sekretaris baru di sini, dia tunangan Beck, kalian harus menghormatinya seperti menghormatiku. Dan kau Beck, kuberi kau waktu satu bulan untuk mengambil keputusan." Lucy semakin menyaringkan suaranya. Memberi tahu dengan lantang bahwa Vanilla akan menggantikan Sophie.

Dengan tangan bergetar Sophie mengulurkan kartu kredit yaang ada ia ambil dari dalam dompetnya kepada Lucy yang menerimanya sambil tersenyum sinis. Wanita itu membolak-baliknya lalu memasukkan ke dalam tasnya dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan apa pun. Begitu juga Beck, ia masuk ke dalam ruangannya tanpa mengatakan apa pun membuat wajah Sophie tampak merah padam. Air mata gadis itu membanjiri wajahnya, ia merasa seolah tertampar di depan seluruh karyawan di perusahaan itu, tidak ada lagi sosok Sophie sombong yang setiap hari dengan angkuh berjalan melewati gerombolan karyawan yang menatapnya dengan tatapan benci ke arahnya.

Kehidupannya seolah berhenti saat itu juga karena tanpa basa-basi maupun menutup-nutupi apa pun karyawan di tempatnya bekerja menggosipkan dirinya, bahkan mereka seolah sengaja menyaringkan suara mereka. Bukan hanya merasa tertampar oleh kata-kata Lucy, ia juga merasa tertampar karena Beck sama sekali tidak melakukan apa pun untuk membelanya di depan karyawan yang menyaksikan bagaimana Lucy memperlakukannya.

Sophie bangkit dari duduknya, sambil menunduk ia memberanikan dirinya masuk ke dalam ruang kerja Beck.

"Beck," desahnya lirih.

Beck yang sedang mengenakan jasnya tidak menggubrisnya. "Kau pulanglah, kita bicara nanti. Aku akan menginap di apartemenmu malam ini."

***

"Ya Tuhan. Nick, kau tidak perlu repot-repot seperti ini," ujar Xaviera. Wanita itu menatap seluruh hidangan di atas meja yang sedang disiapkan oleh pegawai Nick.

Nick tersenyum. "Aku sudah terlalu sering di buatkan makanan oleh putrimu. Jadi, sesekali aku ingin mengajak kalian semua makan di restoran milikku. Tapi, jelas tidak mungkin, kan?"

Hari itu Nick sengaja menginstruksikan koki terbaik di salah satu restoran hotel miliknya untuk menyiapkan makanan untuk di kirim ke Vanilla Bakery agar seluruh karyawan bisa makan siang bersama-sama tanpa mengganggu waktu kerja mereka.

"Kau berlebihan, Nick. Lagi pula, aku tidak menganggapmu memiliki hutang." Vanilla yang sedang membantu salah satu pegawai restoran Nick menyiapkan hidangan dibatas meja membuka suaranya.

"Tentu saja kau tidak boleh menganggapmu berhutang karena aku akan terus datang setiap sore ke sini," ujar Nick dengan nada bercanda.

"Tidak setelah restoranku buka, kau harus membayar di kasir setelah makan," ucap Vanilla sambil terkekeh.

"Lihat putrimu, ia menjebakku dengan tujuan menjadikan aku pelanggannya," kata Nick sambil menatap Xaviera dengan tatapan memelas.

Xaviera menatap Nick, tatapannya penuh kasih sayang. "Lain kali kau harus hati-hati," katanya. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum yang terlihat sangat tulus.

"Aku akan berhati-hati," kata Nick, ia menatap Vanilla yang tampak begitu menikmati apa pun yang ia kerjakan di dapur. Dua Minggu bersama Vanilla, ia belum pernah mendengar gadis itu mengeluh.

Makan siang berlangsung hangat bersama seluruh karyawan Vanilla Bakery, Xaviera bahkan menginstruksikan untuk menutup toko selama tiga puluh menit agar karyawan bisa bersama-sama menikmati hidangan yang telah disiapkan di atas meja.

"Kau tidak kembali bekerja?" tanya Vanilla pada Nick yang baru saja berbicara dengan seseorang melalui panggilan telepon setalah acara makan siang usai.

Mereka telah usai makan siang, karyawan telah kembali bekerja. Vanilla mulai membuka laptopnya untuk melanjutkan membuat desain buku menu untuk restorannya yang persiapannya telah mencapai 70%.

"Sepertinya aku ingin mendaftar menjadi salah satu karyawanmu di sini," ujar Nick yang tiba-tiba mengambil posisi duduk di samping Vanilla yang memangku laptopnya . Pria itu bersandar dengan nyaman di sandaran sofa di ruang kerja Vanilla yang terletak di bangunan calon restoran.

Vanilla menyeringai. "Penghasilan tokoku satu bulan tidak cukup untuk menggajimu."

"Aku tidak perlu kau gaji," kata Nick lirih. Ia dengan lembut menyentuh ujung rambut Vanilla yang tergerai di punggung.

Vanilla tidak menggubris Nick, gadis itu berniat berkonsentrasi dengan layar laptopnya. Tetapi, saat ia merasakan sentuhan Nick di rambutnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya menegang, darah yang mengalir di tubuhnya juga seolah menjadi lebih hangat dari biasanya, juga jantungnya yang berpacu cepat tidak normal seperti biasa. Dan yang lebih menyebalkan lagi, rasanya ia ingin melompat ke dalam pelukan pria yang berada di belakangnya.

Vanilla berusaha menata pikirannya yang mulai menjadi liar, untunglah ibunya telah berdiri di depannya dan membuatnya terhindar dari pikiran liar tentang Nick.

"Ikuti aku sebentar," ujar Xaviera.

Melihat ekspresi Xaviera yang begitu serius, Vanilla mengerutkan keningnya. "Ada apa?"

"Ayo." Xaviera memberikan kode kepada putrinya untuk mengikutinya.

Vanilla meletakkan laptop yang berada di atas pangkuannya. Gadis itu melangkah mengikuti ibunya yang menuju ruang kerjanya.

"Beck ada di dalam," ujar Xaviera pelan.

"Beck?"

Xaviera hanya mengangguk seraya mendorong pintu ruangannya dan langsung menyampaikan Beck yang sedang berdiri memunggungi pintu sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya.

"Beck...," sapa Vanilla tanpa curiga apa pun setelah Xaviera meninggalkan mereka.

Beck membalikkan badannya, pria itu menatap Vanilla dengan tatapan marah. "Kau pikir trikmu itu bisa memisahkan aku dan Sophie?" tanyanya langsung.

Vanilla mengerutkan kedua alisnya. "Apa yang kau bicarakan?"

"Jangan berpura-pura tidak bersalah, kau memang cerdik, ya?" Beck menyipitkan sebelah matanya.

"Beck... aku tidak mengerti."

Beck tersenyum sinis. "Apa kau kesulitan mencari pekerjaan?"

Vanilla semakin tidak mengerti dengan apa yang Beck bicarakan. "Bisakah kau berbicara yang jelas, Beck?"

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate.

Salam manis dari Cherry yang manis.

Siguiente capítulo