Christopher Hudson Side
Part II
Dia datang kekamarku dan aku sudah sangat ketus padanya, aku bahkan mengusirnya keluar. Bukan karna rasaku padanya sudah berubah, tidak sama sekali. Aku hanya ingin dia belajar satu hal, untuk mencintai dirinya sendiri. Setidaknya dengan begitu dia tidak akan mengabaikanku yang mati-matian menghawatirkannya.
***
Lewat tengah malam aku sangat ingin melihatnya di kamarnya, mungkin dia sudah tertidur. Aku berharap saat melihatnya meringkuk diranjangnya dan tertidur pulas dengan wajah malaikatnya, itu akan meredakan amarahku. Aku membuka pintu dan terhenyak melihatnya beridri di ambang pintuku. Sial, setiap kali menatap wajahnya amarah yang sudah hampir mereda itu menyeruak kembali. Semua terjadi seolah ada sensor otomatis.
Aku terdiam beberapa saat, mencoba menengkan diriku, emosiku, mungkin aku butuh waktu semalaman untuk membuat amarahku benar-benar reda. Dan satu hal yang harus kulakukan adalah memintanya pergi dari hadapanku secepatnya, sebelum aku kehilangan kendali diriku.
"Apa yang kau lakukan di situ?" Tanyaku dengan nada ketus.
"Aku . . ." dia tertunduk. "Ingin minta maaf." Jawabnya. Dia bahkan tidak berani menatapku langsung. Mati-matian aku berusaha membuat diriku tidak menarik gadis itu dalam pelukanku meski aku sangat ingin. Sebagian egoku sebagai laki-laki yang sempat terluka oleh kelakuannya membuatku bertahan dalam diam.
"Aku tahu kau pasti sangat marah padaku saat ini, aku bisa menerima itu, tapi setidaknya kau tahu bahwa aku menyesali kebodohanku dan meminta maaf padamu." Sesalnya. Dia berbalik dan melangkah meninggalkanku, dan saat itu aku lepas kendali. Kutarik dirinya hingga jatuh kepelukanku. Kudekap erat tubuh kurusnya dan aku benar-benar gila rasanya. Kerinduan yang membuncah disertai amarah yang hampir meledak.
"Kau membuatku gila." Bisikku dan dia menangis. Tapi tangisnya tak lantas meluluhkan hatiku. Kutarik dia dalam gendonganku dan kubaringkan di ranjang.
Oh nona muda, sesekali kau harus mendapatkan hukuman yang keras agar kau tahu bahwa tidak seharusnya kau mengabaikanku.
Aku melepas kaos yang kukenakan dan langsung merangsek ke atas ranjang. Kutarik kakinya hingga tertekuk ke atas dan kubuka lebar hingga cukup lebar untuk memberiku akses. Aku membuka kancing celanaku dengan cepat dan mengusap milikku, dia sudah tegang dan penuh dengan amarah kurasa. Aku menarik tangannya keatas kepala kemudian kucium bibirnya dengan kasar. Aku ingin membuatnya frustasi, sangat frustasi bahkan.
Dengan tanganku yang bebas aku menarik kesamping celana dalamnya dan kuhujamkan milikku kedalam dirinya dengan sangat kasar.
"Maafkan aku sayang, kau harus belajar satu hal dengan sangat keras agar kau mengerti, mengabaikanku bisa sangat berbahaya bagimu." Gumamku dalam hati. Aku terus merangsek memompanya dan menciuminya. Dia tidak bisa menerima semua yang terlalu deras itu, aku bahkan mendengar desahan kesakitan karena aku memaska masuk disaat dia belum siap. Aku tahu ini menyakitinya, tapi aku tidak ingin ada orang lain yang bisa menyakitinya saat aku tidak bisa berbuat apa-apa atau tidak ada didekatnya.
Aku menemukan puncakku dalam waktu cepat karena adrenalinku terpompa dengan cepat. Aku terhuyung dan jatuh ke sisinya. Ini kenikmatan yang sejujurnya juga menyiksaku. Aku tidak bisa melihatnya menangis, tapi aku tidak ingin dia mengulangi kebodohannya lagi. Mengabaikanku, tidak mengangkat teleponku dan tidak membalas pesanku, itu hal yang paling dilarang, dan dia harus tanamkan itu dalam-dalam di kepalanya.
"Kau menghukumku?" Tanyanya lirih. Aku tidak menatapnya, karena mendengar isakannya saja sudah membuatku merasa sangat bersalah.
Aku terpaksa membuka mataku, dan kulihat air mata berjatuhan dari sudut matanya. "Kau frustasi?" Tanyaku dengan nada ketus. Aku benar-benar ingin memberinya pelajaran berharga.
"Ya." Katanya sambil mengusap air matanya.
"Itu yang kurasakan berjam-jam yang lalu. Dan sekarang kau merasakan hukuman yang akan kau ingat didalam kepalamu, jadi jangan ulangi lagi." Aku memutar posisiku menjadi tertelungkup dan menutup mataku. Mungkin dia akan menganggapku pria kejam, jahat, atau egois. Entah apa aku tidak peduli, satu hal yang harus dia tahu, aku sangat mencintainya dan ingin selalu melindunginya meski aku tak bisa selalu bersamanya.
Hari ini berat, entah bagiku atau baginya. Aku bahkan tidak bisa memikirkan akan seperti apa reaksiku besok saat harus berhadapan dengannya. Karena sebelum aku jatuh tertidur aku merasa dia beringsut turun dari ranjangku dan pergi keluar kamarku.
Mungkin saat ini dia sedang menangis didalam kamarnya sambil mengutukku.