Aku bangun terlambat, dan menyadari seseorang telah masuk ke kamarku karena aku menemukan segelas susu yang masih hangat juga sepotong sandwich. Ada secarik kertas terlipat di dalamnya.
"Have a good day." Itu yang tertulis didalam kertas, dan kurasa ini tulisan tangan Christ, karena begitu mirip dengan yang pernah kubaca saat aku bekerja di kedai kopi.
Kubuka ponselku dan kubaca pesan singkat darinya. "Hari ini aku akan ke Ohio untuk urusan bisnis, kau boleh tinggal sesukamu. Bahkan jika kau tidak lagi ingin tinggal di Dorm, kau bisa menganggap itu rumahmu sendiri." Tulisnya.
Dengan cepat kutekan tombol panggil, tapi saat aku berusaha menghubunginya, ponselnya tidak aktif, mungkin dia berada di dalam pesawat. Aku menghela nafas dalam, bagaimana ada manusia yang diciptakan oleh Tuhan sesempurna itu, parasnya tampan, dia kaya, cerdas, dan begitu menarik, yang lebih buruk lagi adalah dia terlalu baik untuk menjadi nyata.
"Bagaimana dia bisa memiliki semua kesempurnaan itu?" Gumamku kesal. Aku beringsut mendekat ke arah baki berisi segelas susu hangat dan menyesapnya, bahkan jika itu hanya dia tuang dari dalam kotak dan dia panaskan, entah mengapa rasanya begitu spesial bagiku.
Dia tidak hanya memberikan tempat tinggal bagiku, dia juga membuatku merasa disayangi, entah sebagai apa, aku bahkan tidak peduli. Yang kurasakan saat ini adalah, kedua hal sederhana yang ada dihadapanku, segelas susu hangat dan sandwich buatan tangannya adalah sarapan terlezat yang pernah kumakan dipagi hari sepanjang hidupku hingga detik ini.
Setelah menikmati sarapanku, aku beringsut turun untuk membereskan piring kotor yang dia gunakan untuk meletakan dua potong sandwich buatan tangannya itu dan kemudian kembali ke kamarku untuk mandi dan berkemas. Tidak mungkin dengan sangat tidak tahu diri aku tetap tinggal di rumah megah itu sementara si pemilik rumah tidak ada di tempat.
***
Aku segera pergi dari rumah itu begitu hari siang, tentu saja dengan laptop, pakaian, dan ponsel baru yang dia pinjamkan untukku. Aku kembali ke Dorm karena sore harinya aku harus ke kedai kopi paman Bento untuk bekerja. Entah apa yang terjadi padaku, sepanjang empat jam shift'ku, aku membuat banyak kekacauan di kedai dan itu cukup menyusahkan.
"Istirahatlah, mungkin kau lelah." Ujar paman Bento dengan tatapan yang sulit ku gambarkan. Antara iba atau kesal padaku karena beberapa pesanan salah kubuat dan pelanggan memberikan complain padanya langsung.
Aku tertunduk lesu, "Maaf aku membuat banyak kekacauan paman." Sesalku.
Pria tua itu mencoba tersenyum dengan sisa tenaganya setelah hari yang panjang dan melelahkan yang dia lewati. "Tidak masalah, aku memahamimu. Sepertinya kau sedang banyak pikiran." Dia masih begitu bijak dan mencoba memaklumiku. "Kau bekerja paruh waktu di tempat ini, kau juga harus memikirkan sekolahmu dan tugasmu yang lainnya nak. Aku bisa memaklumi beberapa kesalahan kecil yang kau buat hari ini." Tuturnya bijaksana dan itu membuatku merasa semakin tidak enak hati.
Aku menggeleng penuh sesal. "Tidak, aku sungguh menyesal karena ceroboh."
"Pulang dan istirahatlah." Katanya memberikanku senyuman terakhir.
"Maafkan aku paman." Kataku.
"Pulanglah dan bekerja dengan baik besok." Katanya lagi.
Aku menyelesaikan setengah shiftku dan pulang. Entah mengapa ciuman Mr. Christ membuatku sulit berkonsentrasi, dimanapun dan kapanpun bayangannya begitu nyata dan membuatku berantakan. Aku tengah membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan tiba-tiba bayangan itu muncul, membuat kakiku tersandung dan seluruh kopinya tumpah ruah. Bahkan saat aku mengisi cangkir dari mesin coffee maker seluruh isinya tumpah ruah dan mengenai kakiki dan tanganku, hingga aku mengalami luka di tanganku.
***
Seminggu berlalu dan aku menjadi ragu untuk datang ke rumah Mr. Christ untuk melanjutkan tugasku. Dia bahkan tidak memberiku kabar atau menanyakan kabarku selama seminggu ini. Lagipula buku tebal yang kubuat ringkasannya juga tidak akan memberikan manfaat apapun padanya karena aku yakin itu hanyalah caranya memberikanku pekerjaan untuk memberiku uang tanpa harus menjual diriku padanya. Pria itu terlalu baik untuk menjadi kenyataan, dia bahkan seperti dongeng saat aku mengingat tentangnya, seperti tidak nyata. Bahkan setelah aku mengobrol dengan Zevanya secara serius, mata dan pikiranku baru terbuka.
"Dia mungkin menginginkan sesuatu darimu." Itulah komentar Ze begitu aku mengisahkan semua yang kualami di tempat Mr. Christ. Tentu saja tidak semua secara detail, termasuk saat aku masuk ke kamarnya dan kejadian memalukan itu. Aku hanya menceritakan garis besar pada Ze, betapa baiknya dosen kami itu.
"Tapia pa? Aku bahkan tak memiliki apapun yang mungkin dia inginkan dariku." Ujarku putus asa.
Zevanya terdiam. "Dia memberikanmu laptop, dia juga memberikanmu telepon genggam, dan memintamu membuat ringkasan buku setebal itu dan memberikanmu upah yang tidak masuk akal menurutku." Mata Zevanya tiba-tiba membulat. "Dia sangat dermawan, ingin memberimu banyak hal yang tidak kau miliki, jadi dia mencari alasan untuk bisa memberikanmu barang-barang dan uang. Mungkin dimatanya kau mahasiswa paling memprihatinkan."
Dan benar, apa yang dikatakan Zevanya mutlak benar. Dia hanya kasihan padaku, dia memberiku semuanya itu karena dia memang benar-benar dermawan dan aku tidak bisa menerima semua ini. Aku berpikir aku benar-benar berguna baginya dan sedang bekerja untuknya dengan keahlianku. Mungkin emailku soal ringkasan buku itu bahkan tak pernah di bacanya sama sekali.
"Kau benar." Jawabku. "Mungkin dia iba padaku." Kataku menyetujui pendapat Ze.
Gadis itu mengangguk, "Jika dia menginginkan hubungan semacam friend with benefit, dia bisa mencari yang lebih berkelas dari mahasiswa menyedihkan seperti kita." Ujar Ze kembali dan aku mengangguk setuju. Akhirnya pembicaraan kami berujung pada sebuah kesepakatan bahwa Mr. Christ hanya menaruh belas kasihan pada mahasiswa malangnya, dan tidak ada hal lebih dari itu. Tapi entah mengapa setiap kali aku mengingat tatapannya itu, aku merasa dia menginginkanku seperti layaknya aku adalah wanita dewasa di hadapannya. Tapi apa itu mungkin? Atau semua hanya sebatas fantasi liarku saja?
***
Keesokan harinya aku kembali bekerja. Kali ini aku harus lebih hati-hati jika aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku di kedai paman Bento. Lagipula kuliah di awal smester tidak cukup menyita perhatianku, semua berjalan mulus kecuali satu hal, soal dosen charming itu. Dia membuatku hampir gila memikirkannya.
Untung saja hari ini semua berjalan baik, pelanggan puas dan sepanjang hari paman Bento tersenyum sumringah. Aku juga mendapatkan tip tambahan yang lumayan, setidaknya cukup untuk membeli makan malam untukku dan Ze. Dia sudah menungguku saat aku baru saja selesai dengan shiftku.
Kami berjalan menuju Dorm sambil menikmati burger yang kami beli dalam perjalanan.
"Thank sudah mentraktirku." Kata Ze.
Aku tersenyum, "Hari ini aku mendapatkan tip cukup lumayan." Jawabnya.
"Apa yang akan kau lakukan hari ini?" Tanya Ze.
"Entahlah." Aku mengangkat bahu." Kau sendiri?" Tanyaku.
Ze memutar matanya, "Derex akan menjemputku, mungkin kami akan hang out malam ini. Kau mau ikut?" Tanya Ze.
Aku menggelengkan kepalaku, hang out ke club bukanlah seleraku. Aku bahkan tidak menikamti dentuman music keras dan alcohol sama sekali, jadi kupikir aku akan melakukan hal lainnya. Tapia pa? Setelah kupikirkan sejenak, tiba-tiba terlintas di benakku untuk kembali ke rumah mr. Christ dan mengembalikan semua pemberiannya yang tidak masuk akal itu. "Aku akan datang ke rumahnya dan mengembalikan semua barang-barangnya." Kataku mendadak.
Ze seperti hampir tersedak burger di dalam mulutnya, "Kau yakin?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Aku menghela nafas dalam. "Entahlah, aku hanya tidak bisa menerima semua ini sebagai bentuk belas kasihan." Jawabku. "Aku memang membutuhkan semua fasilitas itu, tapi aku tidak bisa menerima sesuatu yang tidak seharusnya pantas kuterima." Aku berusaha menjelaskan apa yang kupikirkan, tapi kurasa Ze cukup memahamiku.
Ze mengangguk, tepat saat di belokan terakhir blok menuju dorm kami, "Ok, lakukan apa yang kau yakini Bell. Hanya kau yang tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Ya." Aku mengiyakan, karena ada bagian yang kusembunyikan darinya. Bagian dimana aku menikmati ciuman Mr. Christ, saat tubuhnya menghimpitku, saat bibir lembut dan hangatnya melumat bibirku.
"Bell . . ." Ze mengangetkanku, karena entah mengapa aku merasa menikmati kembali secara nyata sentuhan bibir lembut yang hangat disertai aroma nafas segar pria itu.
"Kurasa aku akan meminjam sepedamu." Kataku mengalihkan perhatian begitu kami sampai di Dorm.
"Cepat kembali." Jawab Ze.
"Tentu." Kataku sembari memasukkan potongan burger terakhir ke dalam mulutku sebelum berjalan menuju ke arah parkiran sepeda, tempat dimana aku harus menemukan sepeda Zed an segera menghilang sebelum pikiranku semakin kacau.
Aku meminjam sepeda Ze untuk pergi ke rumah besar itu. Dengan perasaaan gugup dan campur aduk, sebagian diriku mempertanyakan apakah keputusanku ini tepat atau justru akan mendatangkan masalah bagiku?
Apakah sebaiknya aku berpura-pura tidak menyadari semuanya dan tetap memiliki semua fasilitas yang dia perlukan tanpa mempedulikan ego dan juga harga diriku?
Lagipula kenapa jika ada orang kaya yang menaruh belaskasihan padaku, aku memang makhluk menyedihkan dengan kehidupan yang tak kalah menyedihkan dan perlu dikasihani.
OH . . . . otakku bertengkar dengan diriku sendiri. Aku menarik rem tangan dan menghentikan laju sepedanya hingga menimbulkan decit yang cukup keras. Aku duduk di atas sepeda dengan kedua kakiku menyangga sepeda itu. Kulihat rangsel yang kuletakan di keranjang depan, rangsel itu berisi laptop, ponsel dan didalamnya ada virtual account yang berisi uang cukup banyak bagiku. Aku bahkan harus menghabiskan berminggu-minggu bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang itu dalam semalam.