Adrian : La, gue tahu apa yang lo rasakan. Gue juga nggak setuju dengan keputusan ortu kita soal perjodohan lo. Tapi, satu hal yang lo harus percaya, Valdy nggak akan menyakiti lo semasih ada gue. dia sudah berjanji sama gue akan selalu menjaga lo.
Angela : Kak, gue cuma ingin tahu dia aslinya kayak gimana! Berbahaya atau enggak untuk gue?
Adrian : Dia manusia, La. Bahaya gimana?
Angela : Ya gue tahu dia hooman! Thx!
Angela : Ortunya kayak mengisyaratkan kalo dia punya masa lalu yang suram. Lo tahu soal itu kan? Berapa lama kalian sahabatan?
Adrian : Apapun masa lalunya, gue bisa jamin, Valdy yang dulu beda dengan yg sekarang. Nggak usah cemas.
Adrian : Kalo dia mulai membuat lo merasa terancam, bisa lapor ke gue!
Adrian : Btw, lo jadian kenapa nggak bilang apa2 ke gue?
Angela : Biar lo nggak heboh duluan, Kak!
Adrian : Pacaran yang sehat, La! Gue nggak mau adek gue jadi mainan cowok nggak jelas.
Angela : Iya, tahuuuu
Adrian : Valdy yang bakal jadi guardian lo, La. Selama gue jauh dari lo. Baik-baik sama dia ya.
Angela : Kak, gue bukan anak kecil lagi!
Adrian : Lo masih satu-satunya adek kesayangan gue, La. Dan gue peduli sama lo. OKE? Jangan banyakan membantah deh!
Angela : OKEEEEEEE…..
Angela memasukkan kembali ponsel ke dalam tas, lalu duduk sambil mengusap bibirnya dengan ibu jari. Mobil yang ditumpanginya bersama Valdy melesat di atas jalur yang menuju ke arah resto milik lelaki itu di dekat pelabuhan. Sedari tadi mereka tak banyak bicara, tak berdebat seperti biasanya. Alunan musik yang lirih terdengar dari radio yang dinyalakan. Angela mengamati sosok Valdy yang menyetir dengan tenang dari kursinya di belakang, membayangkan jenis kenakalan apa yang kira-kira dulu pernah dilakukan lelaki tampan itu di masa sekolahnya, yang tak pernah dilakukan Adrian sekalipun mereka bersahabat.
Geng motor? Hobi tawuran? Playboy sekolah? Suka mabuk-mabukan dan bolos sekolah? Tapi Adrian tak pernah melakukan hal yang sama, pikir Angela sambil mengingat-ingat sosok Adrian yang selalu bersemangat di masa SMA-nya. Ia membandingkan lagi dengan teman-teman sekelasnya, terutama Roni dan Andrei, dua ikon di angkatannya. Dua lelaki itu berprestasi, nyaris tanpa cela. Lalu apa? Angela jadi penasaran sekali. Mulutnya sudah gatal untuk bertanya langsung, namun ia malas membayangkan konsekuensinya nanti.
"Kenapa, La?" tanya Valdy tiba-tiba, meliriknya dari spion. "Kemana perginya kecerewetanmu hari ini? Mendadak jadi sejinak ini."
Ji…apa tadi? JINAK?
"Lagi banyak pikiran." Angela menjawab ogah-ogahan.
"Apapun pertanyaanmu, simpan dulu. Nanti kita bicarakan."
Angela menghentakkan kaki dengan tak sabar, namun tak bergerak juga untuk membuka mulut. Ia memilih untuk berpaling, menghindari tatapan Valdy yang tajam, kembali memandang ke luar jendela. Tak lama lagi mereka akan sampai di tujuan.
Resto cukup ramai saat mereka tiba. Angela mengamati sekitarnya dengan waspada, celingukan ke segala arah untuk memastikan situasi aman sebelum ia keluar dari mobil. Area parkir aman, entah dengan situasi di dalam resto. Ia mencondongkan tubuh ke sela kursi di depannya, mengamati lebih seksama dari kaca depan mobil. Valdy tersentak saat menoleh dan mendapati Angela menjulurkan tubuh di sebelahnya dengan wajah tegang.
"Aku turun duluan." Valdy berkata pelan sambil melepas seatbelt. "Tunggu lima menit. Nanti kukirim Edgar untuk menjemput."
"Nggak ngaruh, Val! Nanti kita duduk berdua, pasti ada aja yang lihat!" Angela memprotes dengan nada cemas.
"Kamu lupa? Resto ini punyaku." Valdy berdeham. "Nggak usah cemas berlebihan."
Valdy lalu turun dari mobil. Angela mengamati sosoknya yang tegap berjalan dengan langkah-langkah panjang ke arah resto. Lima menit menunggu terasa seperti sejam. Angela telah pindah ke kursi depan, dengan mata mengawasi pintu masuk resto dan ponsel di tangan.
Valdy : Edgar datang.
Sesosok waiter berjalan keluar, waiter yang sama dengan yang melayani mereka dulu. Dalam sekejap ia mencapai mobil, lalu melongok ke arah kaca, lalu mengetuknya. Angela membuka pintu dengan ragu, meringis untuk membalas senyum lebar Edgar.
"Tempat untuk kalian sudah disiapkan." Edgar berkata.
"Yakin? Aman?" tanya Angela gugup.
"Tenang saja, La."
Angela lalu mengikutinya berjalan ke arah resto. Satu tangan menempel rapat di satu sisi gaun pendeknya yang melambai ditiup angin pantai yang keras. Dalam hatinya ia mengutuki gaun pilihan mamanya dan Mirna, gaun kasual cokelat gelap yang roknya beberapa sentimeter di atas lutut. Untunglah bagian lehernya tak begitu terbuka. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sangat pas, membuat penampilannya jauh berbeda dibanding biasanya. Hanya saja, kependekan untuk selera Angela dan tubuhnya yang tinggi ramping.
Sampai di dalam, Edgar langsung menuntunnya menjauh dari area yang ramai pengunjung, membawanya ke arah dapur resto. Angela yang keheranan hanya memilih diam dan mengikutinya. Ia menyelip-nyelip diantara para koki yang tengah memasak dengan sibuk, lalu keluar dari pintu belakang yang tembus ke area taman samping yang sepi.
Pohon-pohon kamboja berbunga kuning menaungi area terbuka dengan hamparan rumput prancis yang hijau segar. Sekelilingnya dipagari semak tinggi kembang sepatu merah, sementara satu sisinya menampilkan hamparan pasir putih pantai yang tak jauh. Di bawah naungan pohon-pohon kamboja itu, terdapat meja untuk dua orang dengan dua kursi, semuanya bergaya Prancis, tak cukup nyambung dengan resto yang berdekorasi tropis. Valdy duduk di salah satu kursi sambil memandangi laut di depan mereka.
"Pesanannya kubawakan sekarang, Val?" tanya Edgar saat Angela telah duduk dengan kikuk, cukup menyukai suasana sepi yang sejuk di sekitarnya.
"Ya." Valdy menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari birunya air laut yang disinari cahaya kekuningan matahari yang makin condong ke cakrawala.
Angela melirik ke arah Valdy yang terlihat sedingin biasanya, namun kali ini tampak lebih membekukan dibanding yang pernah dikenalnya. Ia tak bicara apa-apa, memutuskan menyibukkan diri dengan ponselnya, mengabadikan suasana di sekitarnya yang menenangkan. Ia berselfie berkali-kali, lalu berhenti saat Edgar datang membawa kereta makanan.
"Kenapa aku dipesenin salad, Val?" tanya Angela, meringis memandang piring salad di hadapannya. "Aku nggak suka."
"Makan aja, La." Valdy menjawab pelan. Ia sendiri memesan risotto yang segera dimakannya. Setelah beberapa suap, ia baru menyadari bahwa gadis di hadapannya sama sekali belum menyentuh makanannya. "Dimakan dulu. Setelah itu baru boleh mengeluh enak atau enggaknya."
Malas dipelototi, Angela akhirnya menyuap sesendok, lalu sesendok lagi, mengunyahnya sambil mengernyit. Setelah suapan ketiga, ia menyerah dan meminum jus jeruknya. Mual.
Angela memandang jengkel hidangan lainnya yang sama sekali bukan seleranya. Akhirnya ia hanya memakan semangkok kecil salad buah, mengabaikan tatapan tajam dari lelaki di seberangnya.
"Angela. Semua ini pesanan mama untuk kita. Jangan mengeluh."
Angela membanting sendoknya di atas meja, melotot pada Valdy.
"Sampai sedetail ini kencan kita diatur?" sembur Angela dengan pipi menggembung, belum sempat mengunyah makanannya. "Kenapa kamu mau-mau aja sih? Dan kamu mau aja menerima perjodohan kita!"
Valdy ikut membanting sendoknya. Es yang menyelimutinya seolah berganti menjadi kobaran api yang memanaskan jarak diantara mereka dengan cepat.
"Ingat bahwa kamu menyerahkan semuanya padaku?" desisnya sengit. "Kamu melempar semuanya padaku, Angela. Kenapa masih protes juga?"
"Kamu bisa menolak!"
"Aku memilih tak menolak."
"Kenapa?"
"Karena lebih baik dijodohkan dengan orang yang memang kukenal ketimbang dijodohkan secara random, dengan entah siapa gadis yang sifatnya tak kukenal sama sekali!" Valdy menyandarkan punggung di kursinya, dengan mata masih terpancang pada Angela yang terlihat terguncang. "Kita tak akan menikah. Jangan khawatir. Kita akan menemukan cara untuk mengakhiri semua ini tak lama lagi."
"Kita berdua sudah putus asa, Val!"
"Dalam menghadapi mamaku, kita nggak boleh sembarangan. Semakin kita menentang, dia akan semakin memaksa."
Angela memijat keningnya sambil mengerang pelan. Nafsu makannya lenyap seketika.
"Kenapa kamu mau-mau saja sih menuruti kemauan ortumu?" tanya Angela heran. "I mean, look at you. Kamu guruku yang paling galak dan menjengkelkan di sekolah. Bertampang sangar setiap saat. Tapi, kamu nggak jauh-jauh dari kesan anak mami buatku, Val. Bagian mananya yang kulewatkan?"
"Sangar? Aku?" tanya Valdy tak percaya. Selama beberapa saat dia hanya bisa melongo, lalu mendengus pelan. "Oke, itu penilaian subjektif darimu. Yang jelas tak semua siswaku sependapat denganmu, La."
"Nggak usah narsis dulu. Jelasin! Bagian mana yang kulewatkan?" Angela menyingkirkan mangkok salad dari hadapannya dan menumpukan kedua lengan di atas meja, siap menyimak kata-kata Valdy.
Valdy ikut menyingkirkan piring dari hadapannya dan menumpukan kedua lengannya, menampilkan otot bisep dari balik lengan kaosnya.
"Masih ingat kata-kata orangtuaku tentang masa remajaku yang berantakan?"
***
Jangan lupa Vote ya!
Terima kasih sudah mampir, dan author sarankan tinggalkan jejak. Komen atau vote.
Thank youuu