webnovel

Disekap

"Aku tidak bisa pergi jika aku tak bisa menemukan, Denias!" tegas Marry.

"Lupakan Denias, Marry! Karna keselamatanmu lebih penting!" tukas Salsa.

"Tidak bisa seperti itu, Salsa! Karna Denias, menghilang itu salahku! Kalau bukan karna ulahku waktu itu, pasti Denias, baik-baik saja!"

"Tidak, Marry! Ini bukan salahmu! Percaya kepadaku, dan lupakan masalah Denias, karna ku pikir ...."

"Apa yang kau pikirkan, Salsa?"

"Karna ku pikir, Denias itu sudah tewas!" jawab Salsa dengan tegas.

 

Seketika Marry langsung menangis dengan wajah penuh kecewa, dia memang tak tahu keberadaan Denias saat ini, bahkan mengetahui keadaannya saja tidak tahu, dia masih hidup atau mati?

Mungkin benar apa yang telah dikatakan oleh Salsa jika Denias, mungkin sudah tewas.

 

Seperti yang telah dilakukan Arthur kepada Jerry dan kedua temannya dulu. Mungkin Arthur melakukan hal yang sama terhadap Denias.

 

"Ya, Tuhan! Apa yang sudah aku lakukan! Denias, di mana kau!? Aku sangat berharap dia masih hidup!" tukas Marry dengan tangisan yang tersedu-sedu

 

Salsa mempererat pelukannya di tubuh Marry, dia berharap agar Marry bisa tenang, setidaknya dia harus berpikir lebih jernih dan mengutamakan keselamatannya, ketimbang harus memikirkan Denias  yang sudah pasti tidak akan bisa ia tolong.

 

Sebesar apa pun dia menyesalinya, tapi Marry tak bisa merubah keadaan, satu-satunya cara yang harus dia lakukan adalah menjauh dari keluarga Davies.

 

 

Ceklek!

Terdengar seseorang yang membuka pintu kamar itu.

Marry dan Salsa menoleh dengan kompak.

 

"Kak Salsa!" ucap Mesya sambil tersenyum.

Tentu saja kehadiran Mesya membuat Salsa menjadi ketakutan.

Dia tidak mau berurusan dengan keluarga Davies lagi, an kedatangannya kemari murni karna Marry.

 

"Ah, sial!" umpatnya. Salsa segera memalingkan wajahnya.

"Kak Salsa, kemana saja? Lama sekali tak terlihat?" tanya Mesya.

"Hentikan ucapan ramahmu itu, Mesya!" bentak Salsa.

Mesya mendadak mematung.

"Kau tahu, di balik keramahanmu itu terdapat banyak sekali kepalsuan!" cerca Salsa.

 

 

Mesya merasa bingung dengan apa yang sudah diucapkan oleh Salsa, entah mengapa, Salsa bicara sekasar ini kepadanya.

"Ka-kak Salsa, kenapa membentakanku?" tanya Mesya dengan suara yang sangat rendah.

"Kau tahu... Mesya, jika hidupku hancur karna keluargamu! Karna keluarga Davies!"

"Tapi—"

"Tolong, tinggalkan kami, Mesya, dan jangan mendekati Marry! Aku tahu kau hanya berpura-pura tidak tahu, bahwa sebenarnya keluargamu adalah penyebar teror dari semua ini!" jelas Salsa dengan emosi yang mulai meledak-ledak

 

 

Mesya hanya bisa menatapnya dengan nanar, dia tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa terdiam.

Dia harus menanggung perbuatan dari keluarga angkatnya. Padahal dia tidak tahu apa-apa, tapi seolah dia turut menjadi tersangka dalam segala pristiwa menyeramkan ini.

"Mesya, keadaan di sini sedang tidak baik, ayo kita pulang," bisik Romi.

 

Mesya tak menjawabnya, tapi kakinya melangkah mengikuti ajakan Romi, lalu ... sesaat dia melirik kearah Marry dan Salsa.

Dia tak bisa membela diri ataupun memohon agar mereka mengizinkan dia tetap berada di sini.

Satu-satunya jalan terbaik bagi Mesya memang menjauhi mereka. Karna semakin dia terlalu dekat atau sampai bermasalah dengan mereka, maka nyawa mereka yang akan terancam.

Mungkin selamanya dia hanya bisa berteman dengan Romi, itu pun kalau Romi masih dibiarkan hidup oleh para keluarganya.

 Begitu berat beban yang harus dialami oleh gadis sebelia Mesya.

 

 

Ceklek!

"Loh, kok kalian sudah pulang saja?" tanya ibunda dari Marry, yang baru saja pulang dari mini market.

"Maaf, Tante, kami sedang buru-buru," jawab Romi yang mewakil Mesya.

Karna saat ini lidah Mesya mendadak keluh.

 

"Oww, yasudah, hati-hati ya! Dan terima kasih sudah berkenan menjenguk, Marry," ucapnya.

Wanita paruh baya itu memang begitu ramah.

"Eh ada, Salsa, rupanya!" Kini ibunda dari Marry beralih kearah Salsa.

"Marry, bilang, kamu sedang ke Surabaya, kok tahu-tahu sudah di sini saja sih?" tanyanya.

"Iya, Tante, saya hanya rindu Jakarta saja, makanya saya pulang," jawab Salsa.

"Ah, begitu ya?"

 

Seperti biasa ibunda dari Marry mengajak Salsa mengobrol banyak, hanya saja, kali ini Salsa mendadak pendiam tak seperti biasanya.

 

 

 

 

 

 

***

 

Di sebuah ruang bawah tanah, letaknya tak jauh dari gudang barang bekas, dan masih berada di kawasan rumah keluarga Davies.

 

Terlihat Denias baru saja membuka mata. Sudah 10 hari lamanya dia sekap di tempat ini, di sebuah ruangan yang gelap, bahkan Denias tak tahu kapan tepatnya berada di sini.

Denias tidak tahu perubahan waktu antara siang dan malam. Di sini terlihat sama saja, sama-sama gelap.

 

 

Denias kembali ketakutan dan duduk di pojok tembok sambil menggigit kuku-kuku jarinya.

"Tolong lepaskan aku, aku mohon ...." Ucapnya dengan pelan, seperti seseorang yang sedang berbicara kepada diri sendiri.

 

Ruangan itu begitu pengap, bahkan rasanya untuk bernafas saja terasa sulit.

Namun luka-luka di tubuhnya sudah mulai mengering sendiri, berkat Arthur yang memberinya obat.

 

Entah apa yang sedang direncanakan oleh Arthur, dan entah apa tujuannya?

 

Arthur membiarkannya hidup, dan memberi makan Denias satu hari sekali, itu pun hanya dengan sepotong roti dan satu gelas air putih.

 

 

 

Ceklek!

 

Terdengar langkah kaki dan seseorang yang membuka pintu.

Denias sudah menduga jika itu adalah Arthur.

Dan benar saja, memang Arthur yang datang.

"Hehe, kau pasti menungguku ya?" tanya Arthur dengan senyuman selengean-nya.

Arthur menghidupkan lampu dalam ruangan itu.

Lampu hanya dihidupkan ketika Arthur datang, entah keluarga Davies yang lainnya mengetahui apa yang sudah dilakukan oleh Arthur kini, atau tidak?

 

"Apa kau lapar?" tanya Arthur, dan dia juga membawa sepiring daging tanpa nasi.

 

Denias nyaris tak berkedip melihat makanan yang ada di piring Arthur, terlihat menggoda dan tak tahan untuk segera menyantapnya.

Apalagi, Denias, benar-benar sedang kelaparan.

 

"Kau mau ini ya?" tanya Arthur, dan dengan cepatnya Denias mengangguk.

"Baiklah, ayo makan daging-daging ini, aku harap kau segera menghabiskannya!"

Denias mengangguk cepat, tak sabar dia ingin melahapnya tanpa sisa.

 

Masih dengan senyuman selengean yang menjadi ciri khasnya, Arthur menaruh piring itu di atas lantai, lalu dengan lahapnya Denias menyantap daging-daging itu hingga tak tersisa.

 

"Wah, kau itu kelaparan, atau memang kau yang sangat menyukainya?" sindir Arthur.

Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Denias.

"Bagaimana reaksimu jika daging yang kau makan tadi adalah daging manusia?" tanya Arthur sambil menyeringai.

 

Seketika kedua mata Denias menajam, dengan dengusan nafas begitu berat.

 

"Upmm ...." Dia hampir saja muntah, tapi Denias menahannya kembali, lalu terukir senyuman dari wajahnya.

 

 

 

 

 

To be continued.

Siguiente capítulo