"Lo gak kerja hari ini?" Geya menunduk sejak. Ia menatap gadis yang berbatik tepat di belakang tubuhnya. Sandra sedikit longgar minggu ini, hal yang jarang terjadi. Biasanya ia adalah orang yang paling sibuk dan suka mangkir kalau diajak berlibur di akhir pekan. Namun, inilah kali pertama dirinya berada di rumah dengan keadaan sepertii ini. Sandra mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di atas lantai yang dingin sembari memusatkan padangan matanya untuk menatap langit-langit ruangan. Sesekali ia menghela napas kasar sebab pikiran kotor dan negatif mulai menghampiri ketenangannya.
"Lo dipecat lagi?" tanya Geya kembali menyela. Selepas meletakkan semua camilan yang ia beli untuk si saudara jauh,dirinya memutuskan untuk memutar tubuhnya dan menatap ke arah Sandra. Sejenak keduanya sama-sama diam. Geya menunggu jawaban dari gadis itu. Sedangkan Sandra masih saja bodoh dan kikuk dengan ketidakjelasannya siang ini.
"Gue sedang mengambil waktu cuti sekarang. Gue sedang malas bekerja," ucapnya tiba-tiba. Bak bukan seorang Sandra Iloana. Gadis ini tak pernah berucap bosan jikalau pasal pekerjaannya. Sandra benar-benar gadis ambisius yang punya niat di atas rata-rata kebanyakan orang di sekitarnya. Sungguh mengejutkan dan mengherankan saat Sandra berkata demikian.
"Lo sedang sakit?" Tiba-tiba saja, Geya menempelkan telapak tangannya di atas kening milik gadis yang melirik ke arahnya dengan aneh. "Lo aneh hari ini," imbuhnya selepas puas memastikan bahwa gadis cantik bermata perak ini tak sedang terkena demam atau flu berat yang mungkin saja mengganggu sistem dinamika otaknya.
"Ngomong-ngomong, gue bertemu dengan Bima kemarin malam," ucapnya tiba-tiba. Sukses! Jika tujuan Geya mengatakan itu hanya untuk menarik perhatian Sandra, maka ia sukses melakukannya. Sandra menatapnya dengan aneh dan kaku. Ia mematung sejenak. Menunggu penjelasan lanjutan dari Geya saat ini.
"Dia mabuk di pinggir jalan," imbuhnya lagi.
Sandra mulai mengerutkan dahinya. Jika Geya bertemu dengan Bima kemarin malam, maka itu terjadi selepas dirinya dan Bima berbincang-bincang pasal masa lalu yang kelam. Itu terjadi selepas Sandra membuat pengakuan bahwa ia membenci Bima. Meksipun itu hanyalah sebatas kebohongan yang dijadikan sebuah tameng untuk melindungi hatinya sendiri.
"Mungkin ada masalah dengan rumah tangganya. Itu sebabnya Bima mabuk di pinggiran jalan. Untung saja temannya datang dan menolong. Jika tidak, pasti hal buruk terjadi padanya saat ini."
Sandra mulai bangkit dari posisinya. Ia diam sembari menatap ke arah Geya. Tidak ada kalimat yang keluar dari celah bibir Geya saat ini. Kiranya, gadis itu sudah menyelesaikan kalimatnya. Kini giliran Sandra yang berbicara.
"Kenapa lo gak nolong dia?"
Geya menatapnya aneh. "Untuk apa? Gue dan Bima gak saling akrab satu sama lain," pungkasnya menutup kalimat dengan decakan yang ringan. Sandra yang mantan kekasihnya saja tak peduli, untuk apa ia melakukan itu pada Bima? Membuang waktunya saja.
"Lo yang—" Ucapan Geya terhenti begitu saja saat suara bel pintu rumah berbunyi. Seseorang datang! Itulah yang ada di dalam kepala Geya maupun Sandra. Keduanya sama-sama saling memandang satu sama lain sekarang ini.
Bel kedua. Sigap Sandra meraih kontak lensa miliknya. Menyuruh Geya lah yang membukakan pintu sembari Sandra memasang kontak lensa untuk menyembunyikan warna mata indahnya. Bukannya apa, warna mata inilah yang membuat Sandra hidup dengan penuh kehati-hatian. Sang ibu berkata, kalau mata itu tak hanya membawa keindahan dan keunikan dalam hidup putrinya. Mungkin saja, suatu saat nanti, mata itulah yang menyebabkan kematian untuk Sandra sendiri. Jadi sebisa mungkin, ia harus melindungi rahasianya dari orang-orang luar dan orang asing. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh melihat warna mata perak yang memukau itu.
Geya bangkit dari tempat duduknya. Ia menjawab tamu itu dengan sebuah kata yang menyuruhnya untuk menunggu sejenak. Tepat di depan pintu, Geya mengentikan langkahnya. Ia menarik napas dalam-dalam. Berharap siapapun yang ada di depan pintu nanti adalah orang baik yang tak asing untuknya.
"Siapa?" tanya Geya sembari membuka pintu. Ia menatap ke arah pria yang berdiri tegap di depannya saat ini. Naas, harapannya kosong! Semua praduga baik pergi begitu saja. Kedatangan pria asing ini sedikit membuatnya terkejut.
Siapa yang tak mengenal Mr. Leo Wang? Pemilik bar dan Lounge terbesar di Jakarta. Popularitas yang tiada duanya. Bahkan teman-teman Geya saja mengidolakan pria satu ini. Bukan hanya pasal kekayaan, tetapi juga ketampanan yang paripurna. Jakarta benar-benar gila dengan menyembunyikan pria setampan ini dari mata dunia.
"Mr. Leo?" tanyanya melirih. Sedikit gagap, ia tak tahu harus berkata apapun lagi. Baru kali ini ia, Geya bertatapan langsung dengan Mr. Leo. Biasanya ia hanya melihat ketampanan pria ini dari balik layar televisi atau ponsel miliknya. Sungguh, pria ini lebih tampan dari dugaannya. Wajahnya benar-benar bersih dan sempurna.
"Kau bukan Sandra Iloana." Kalimat itu datang dengan suara berat yang khas. Membuat Geya membuka matanya sejenak sembari ber-oh ringan. Ia tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh pria ini. Sandra dan Mr. Leo saling mengenal satu sama lain? Entahlah.
"Siapa yang da—" Baru saja Sandra ingin menyela, kalimatnya sudah terhenti begitu saja saat tahu siapa yang ada di depan ambang pintu rumahnya. Meksipun pertemuan pertamanya dengan Mr. Leo berada di bawah cahaya ruangan yang gelap, tetapi ia masih bisa mengingat wajah itu dengan jelas. Kalau siang hari, Mr. Leo jauh lebih memukau!
"Itu Sandra Iloana," ucapnya menerobos masuk. Mendorong tubuh gadis yang ada di depannya untuk memberikan celah Mr. Leo bisa masuk dan duduk di atas sofa.
Kedua gadis itu saling memandangi satu sama lain kala Mr. Leo duduk dan menyilangkan kakinya dengan santai. Menyandarkan tubuhnya ke belakang bak menganggap bahwa di tempat ini dia disambut dengan penuh kesopanan.
"Ini rumahku, Mr. Leo," tutur Sandra dengan lirih. Ia memberi kode isyarat pada Geya untuk masuk ke dalam.
"Benar. Tak ada yang bilang kalau ini rumahku," jawabnya tersenyum aneh.
Sandra menghela napasnya kasar. "Ada apa datang kemari?" Gadis itu menyerah dan pasrah! Mr. Leo ternyata begini. Ia adalah tipe orang kaya yang suka seenak jidatnya sendiri.
"Duduklah," ucapnya memberi ijin. Semakin kuat Sandra mengerutkan dahinya. Pria ini ... ah, baru saja Sandra ingin mengumpatinya.
Sandra mengangguk ringan. Ia mengambil tempat kosong tepat di depan pria itu. Menatapnya dengan tajam penuh ketidaksukaan.
"Ada apa datang kemari, Mr. Leo? Aku punya hutang padamu?"
Mr. Leo mengabaikan kalimat itu. Ia menyapu setiap bagian ruangan yang ada di depannya saat ini. "Tak ada teh untuk diriku? Aku haus," ucapnya. Membuat Sandra semakin gila dengan semua ini.
"Mr. Leo!"
"Mau tidur denganku?" tanyanya tiba-tiba. Sekarang, Sandra benar-benar memaku di tempatnya. Ia terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Mr. Leo. Bahkan dipertemuan keduanya ini, pria satu ini sudah menawarkan hal gila untuk Sandra.
Ah, benar! Inilah gaya hidup orang malam. Bertemu dengan lawan jenis, berbincang sebentar, lalu jika cocok berakhir pada adegan panas di atas ranjang.
Sialan satu ini!
... To be Continued ...