Di bawah langit senja, dua orang berjubah biru lengkap dengan tudung yang menutupi wajah mereka tampak berjalan menyusuri jalan setapak sebuah perkampungan, siapa lagi kalau bukan Naara dan Niin. Niin yang berjalan di belakang Naara tertunduk layu karena Naara masih saja memancarkan aura kesal kepadanya. Padahal ia sudah menemukan Naarabo dengan aman dan berkali-kali sudah meminta maaf tapi pria itu masih saja kesal. 'Senggol sedikit, bacok.' Itulah kalimat ringkas yang menggambarkan mood Naara saat ini.
Haah ....
Itu hembusan napas keseratus satu yang ia lepaskan.
Ia kini mengangkat kepala dan mengamati sosok di depannya. Sampai sekarang ia masih belum tahu apapun tentang pria tersebut. Sambil berjalan ia bertanya-tanya dalam hati. Ada banyak sekali yang ingin ia ketahui terutama soal mata pria itu. Apa dia benar-benar buta? Rasanya sulit untuk memercayai hal tersebut apa lagi saat mengingat bagaimana cara pria itu bertarung.
Haah ....
Itu hembusan napas yang keseratus dua.
"Em?" Ia teralih pada kerumunan di arah jam tiga. "Ada apa?" Karena penasaran, ia pun berlari dan bergabung dalam kerumunan sementara Naara yang menyadari hal tersebut berhenti sesaat sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Wah, sulit dipercaya.
Iya. Sulit dipercaya.
Benar.
Ucapan orang-orang di kerumunan sambil memerhatikan sesuatu di depan sana membuat Niin semakin ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Dengan susah payah ia menyelip dan menyelinap lebih jauh ke kerumunan untuk melihat apa yang begitu menarik perhatian mereka, tapi karena terlalu banyaknya kerumunan ia harus puas saat sampai di tengah. Samar ia melihat sebuah papan yang ditempeli beberapa foto, itu ... poster buronan. Kepala-kepala di depan membuatnya sulit melihat.
Harga si pedang buta sudah hampir menyamai Reen dari GM.
Kalimat yang dilontarkan seseorang tersebut seketika membuatnya tersentak. Reen GM, kalau tidak salah dia adalah buronan nomor dua yang paling dicari.
Hm. Kudengar dia sangat brutal.
Semoga saja kita tidak pernah bertemu dengannya.
Obrolan orang-orang di depan semakin membuat penasaran hingga ia melakukan berbagai cara untuk melihat sosok yang dibicarakan, tapi lupakan saja. Keterbatasan tinggi badan membuatnya harus menyerah.
Di sisi lain, Naara berjalan masuk ke sebuah rumah makan. Saat berdiri di ambang pintu ia menjadi pusat perhatian pelanggan lain, mungkin karena ia menyembunyikan wajahnya di bawah tudung dan itu terlihat mencurigakan.
Perlahan ia mulai melangkahkan kakinya menuju sebuah bangku dan duduk di sana sementara pelanggan lain mulai saling berbisik-bisik tentangnya. Tidak lama ia duduk, seorang wanita muda menghampiri dan menanyakan pesanan yang ingin dibuat. Nada bicara wanita itu terdengar seperti orang yang agak takut.
"Semangkuk sup."
"Ba-baik."
Wanita tersebut bergegas pergi untuk mengambilkan pesanan.
Di tempat sebelumnya, Niin baru saja keluar dari kerumunan dengan tampang lelah. "Huffth, buang waktu saja," gerutunya, menyingkap tudung di kepalanya dan melap keringat di dahinya. Sambil melakukan hal tersebut, ia kembali mendengarkan obrolan orang-orang yang tidak berhenti membicarakan si pedang buta.
"Siapa sih, dia?" Ia melihat langit jingga di atasnya. "Oh, iya, guru!!" karena si pedang buta ia jadi lupa tentang Naara. Dengan cepat ia berlari menjauhi kerumunan untuk mencari Naara.
"Ke arah sini," gumamnya seperti memiliki petunjuk tersendiri untuk menemukan Naara dan benar saja, tak butuh waktu lama ia sudah menemukan pria itu.
"Guru!"
Dengan wajah sumringah ia menghampiri Naara. Tentu saja, kedatangannya juga tidak luput dari perhatian pelanggan lain.
"Hah, ada apa?" gumamnya menatap bingung pada orang-orang di sekitar.
"Maaf memunggu lama."
Kedatangan seorang wanita muda membawa semangkuk sup mengalihkan perhatiannya.
"Wah, sup!! Aku pesan semangkuk juga," ucapnya bersemangat.
"Baik."
Selagi menunggu pesanan, ia menyangga dagu sambil mengetuk-ngetuk meja. "Apa dia masih marah?" batinnya,, memerhatikan Naara yang sedang makan.
"Hey apa yang kaubawa?" tanya seorang pelanggan ke pelanggan lain yang baru saja datang.
"Oh, ini poster baru si Pedang Buta."
Mendengar kata pedang buta, ia langsung menoleh. Terlihat ia sangat tertarik dengan pembicaraan tiga lelaki yang berada di bangku sebelah kanan Naara. Sebut saja mereka pelanggan A, B dan C
"Jadi anoa sudah memasang harga baru lagi yah," ucap si A.
"Um begitulah. Di sini tertulis 700.050.000 Bowl," jawab si B membenarkan.
"Aku dengar harganya naik karena baru-baru ini dia telah membunuh beberapa anoa," kata si C seraya mengaduk minuman di depannya.
Ia yang tidak bisa lagi menahan dirinya, berdiri dan berjalan menghampiri tiga orang tersebut. "Em, permisi! kalian sedang membicarakan apa?" tanyanya setelah berdiri di sisi meja mereka.
Selama dua detik, ketiga lelaki itu terdiam sambil menatap Niin, mereka sedikit kaget mengingat Niin tadi duduk bersama orang yang menurut mereka mencurigakan.
"Ada apa?" Niin membuat wajah bingung.
"O-oh, kami sedang membahas tentang harga baru untuk Pedang Buta," ucap A membuka suara.
"Pedang buta? Siapa?" tanya Niin yang membuat seisi ruangan bengong sebelum tiga detik kemudian gelak tawa orang-orang melompat seakan ada sesuatu yang sangat lucu.
"Hey Nak! Sebenarnya kau itu hidup di zaman apa? Masa kau tidak tahu tentang si Pedang Buta, dia itu orang nomor tiga yang paling dicari saat ini," sahut bapak-bapak tua yang duduk di meja paling pojok. Dia tertawa terbahak-bahak seakan-akan lehernya sudah patah.
Itu sangat melebih-lebihkan.
"Nomor tiga." Niin kembali fokus sesaat semua tawa mereda.
"Yah begitulah. Selama satu tahun belakangan, dia ramai diperbincangkan banyak orang. Bisa dibilang, dia adalah buronan yang sedang naik daun," terang pelanggan A.
"Buronan naik daun?"
"Dari kabar yang kudengar, dia diburu karena telah menghabisi salah satu Jenderal dunia. Sejak saat itulah namanya banyak dibicarakan."
"Mu-mustahil." Niin membuat ekspresi tidak percaya. Orang yang bisa membunuh salah satu jenderal dunia? Orang itu pasti sangat kuat. Itulah yang saat ini terbersik di pikiran Niin.
"Oh yah, aku juga dengar, kalau dia dan puluhan anoa pernah bertarung di sebuah desa di timur. Warga di sana menyaksikan bagaimana dia membantai. Puluhan anoa itu terpenggal hanya dalam hitungan detik," ungkap pelanggan C bergidik ngeri.
Di bangku sebelah mereka, Naara sedang tertunduk dengan tangan kanan yang mengepal kuat pada garpu yang dipegangnya.
Wajah yang berada di bawah tudung jubah memerlihatkan ekspresi kesal dengan mata putih yang menyorot tajam.
"Bo-boleh aku melihatnya?" pinta Niin ragu-ragu.
"Tentu." Pelanggan A menyodorkan posternya.
Seketika kedua mata Niin melebar, ekspresinya seperti orang yang baru saja kena serangan jantung "D-d-diakan?" Kepalanya terputar kaku ke arah orang yang sedang duduk di meja sebelah. Melihat sosok itu ia hanya bisa menelan pahit ludahnya sendiri. Jadi selama ini ia mengikuti–
"Hey! Ada apa? Apa kau pernah melihatnya?"
"Hah?" Niin memutar kembali kepalanya.
"A-aku–"
"Makanan datang! Terima kasih sudah menunggu," ucap si wanita pelayan memotong ucapan Niin.
Dengan ragu Niin berjalan menuju mejanya dan duduk berhadapan kembali dengan Naara. Ia tidak bisa menghapus ketakutannya saat ini terlebih ketika mengingat perkataan orang-orang tadi yang mengatakan kalau Pedang Buta membunuh salah satu jendral dunia. Ia merasa telah salah berurusan dengan Naara tapi jika ia pikirkan lagi mungkin tidak juga. Justru bagus, mengingat orang yang memburunya saat ini juga bukan orang sembarangan. Selama Naarabo di tangannya, dia tidak perlu khawatir dengan Naara.
Satu tarikan napas ia ambil untuk menetralkan emosinya lalu mulai bersiap untuk menyantap supnya namun sebelum sendok masuk ke mulutnya, gerakan tangannya terhenti saat seorang pria berperawakan sangar berdiri di ambang pintu. Tidak tahu kenapa tapi tarikan dan hembusan napas pria itu terdengar begitu jelas. Dari sana pria itu tampak menyeringai. Entah apa yang terjadi atmosfer dalam ruangan tiba-tiba terasa mencekam. Ekspresi semua orang pun terlihat sangat tegang.
Dengan langkah pasti pria yang belum diketahui namanya itu berjalan menghampiri seorang bibi yang sepertinya adalah pemilik rumah makan tersebut. Terlihat jelas jika bibi itu sangat takut kepada pria di depannya.
"Kau pasti sudah tau maksud kedatangankukan, cepat bayar hutangmu!" ucap pria tersebut bergaya lintah darat.
Dengan nada gemetaran, si bibi meminta maaf dan mengatakan bahwa ia belum bisa melunasi semuanya hari ini. Sambil memberikan beberapa lembar bowl ia menjelaskan bahwa hanya itu yang ia dapatkan dari penjualan hari ini namun pria itu langsung marah saat mendengar penjelasan tersebut.
Ia melemparkan semua bowl yang diberikan si bibi lantas membalikkan sebuah meja membuat seisi ruangan ketakutan, semua pelanggan nampak keluar melarikan diri, seakan tak mau berurusan dengan pria sangar itu. Kini yang tersisa hanya Naara yang masih nampak khusyuk menikmati supnya dan Niin yang nampak memerhatikan dengan tampang tegang bercampur bingung.
"Ibu!" Wanita muda yang melayani pelanggan tadi menghampiri dan memegangi lengan si bibi yang terlihat lemas.
Sorot mata pria sangar tersebut kini beralih ke si wanita muda yang nampak menunduk takut. Pria itu menatap tubuh si wanita muda lantas menyeringai. "Bagaimana kalau kau berikan putrimu ini sebagai ganti hutangmu," ucapnya yang membuat ibu dan anak tersebut terbelalak kaget.
terima kasih buat yg sudah membaca :")
jika berkenan, silahkan vote/review/komen untuk keberlangsungan hidup cerita ini ^^