Haah... ini benar-benar sakit, Ryuga sialan!
Tapi yasudahlah, setidaknya aku sudah membalasnya.
Ryuga yang sedikit menghela nafas mengambil tas punggungnya yang sudah siap di atas meja memberiku fakta bahwa dia juga sudah menduga ini memang akan terjadi.
"Zell, aku duluan, nanti malam aku bakal kerumahmu."
Tanpa memalingkan pandangannya kearah ku seolah tak ingin membicarakan ini untuk selamanya dan menuntut untuk aku juga ikut untuk melupakannya.
Satu persatu orang yang tadi ada di kelas ini pergi, bahkan Si Billy juga menghilangkan dari meja tempat dia duduk.
Saat ini hanya ada satu orang yang sama sekali belum bergerak dari tempatnya.
"Zell, kau nggapapa?"
Orang itu adalah Rainata, sedikit demi sedikit membungkuk dengan suara yang penuh dengan kelembutan, meskipun begitu aku merasa ada yang aneh dari gadis ini.
"Tenang saja, secara mental aku sudah lebih baik."
Rainata duduk dengan meletakan lututnya ke lantai di depanku, membawa perhatian padangan ku terfokus pada jam tangan hitam yang melilit lengannya.
"Hah? Apaan sih?"
Dengan sikap yang tergesa-gesa Rainata berdiri lalu memandang jauh kearah jendela.
Aku pikir itu adalah tanda bahwa pembicaraan kami sudah berakhir, nyatanya Rainata tetap berdiri tegak memandang itu cukup lama di depanku membuatku sedikit tak nyaman.
"Rainata, mau pulang sekarang?"
Ada yang aneh dengan gadis ini, apa di sini aku juga harus perhatian kepadanya? Tentu saja tak kan? Yasudah lupakan saja.
Kerena ajakan ku yang memang jarang terjadi, Rainata dengan cepat memalingkan pandangannya yang sempat fokus itu kearah ku lalu membuat anggukan kecil.
Langkah kaki kami bersamaan keluar dari gerbang sekolah, di iringi oleh angin deras yang membawa awan hitam dari arah sekolah kami.
Awan itu layaknya sedang di tarik oleh sesuatu, sangat cepat bahkan lebih cepat dari langkah kaki kami yang beberapa kali kami tambah kecepatannya.
Saat sampai di depan rumah Rainata, aku menunggunya untuk masuk, tapi langkah kakinya tak kunjung bergerak setelah beberapa saat terdiam.
"Anu Zell..."
Suara Rainata bersatu dengan dengusan angin lebat, dan ketika angin lebat itu berakhir, kata-katanya tak kunjung sempurna.
"Apaan?"
Mata rainata yang dari menghadap ke bawah kini mulai mengarah kepadaku.
Aku juga seditik memperhatikan gemulai dari rambutnya yang mengingatkanku pada Ishiki.
"Nggak jadi."
Rainata berlari kearah rumahnya sambil tergesa-gesa membuka pintu dengan kunci yang baru saja dia keluarkan dari saku jaket tipis yang menutupi seragam sekolahnya.
CLIK.
Meskipun suara ribut dari banyak hal di sini, aku masih bisa mendengar suara dari pintu Rainata yang tertutup, menandakan bahwa sudah saatnya aku pergi.
Aku sekali lagi aku mempercepat jalanku menuju kediamanku yang sudah tak jauh dari sini.
Saat aku sampai, Yuuki sedang asik membaca buku yang mungkin dia dapat dari dalam kamarku.
Wait! Apa barusan dia bisa keluar masuk kamarku dengan leluasa? Begini-begini aku juga punya privasi. Oke, akan ku kerjai anak ini.
Aku berjalan menghampirinya, menutup luka memarku yang ada di pipi sambil berjalan sempoyongan kearahnya.
"Yuu..ki...."
Perlahan aku duduk di sampingnya sambil sedikit membuka tempat Ryuga tadi menamparku.
"Eh, eh, eh! Kaka kenapa?"
Tangan Yuuki yang tadi memegang buku seketika menarik tangan kananku yang sedang pura-pura menambah kesan sakit.
"Tadi, di jalan aku dipalak sama preman, waktu aku udah ngasih uang ke mereka aku malah di tampar."
Yah, aku berbohong, memangnya kenapa?
"Nggak ah, kaka pasti boong kan? Kata kaka di sini kan nggak ada preman."
Tangan Yuuki kini menyapu-nyapu pipiku dengan jari telunjuknya seolah sedang memeriksa apa itu asli atau hanya bohongan.
"Kayaknya mereka preman baru di sini."
Alasanku lagi untuk meyakinkannya.
"Beneran?"
"Beneran..."
Tangan Yuuki tadi beralih dengan cepat mengambil Hp-nya yang ada di samping cangkir susu miliknya.
"Hallo ka Nata? Kaka katanya...."
Oi tunggu, kenapa kau malah ngadu, kenapa juga harus Rainata?
"Yuuki, aku cuman becanda..."
Aku mengambil Hp Yuuki yang sudah menempel di samping telinganya untuk menghentikan apapun yang sedang dia lakukan.
Hanya saja, ketika aku sudah mengamankan Hp itu dan bersiap untuk mematiannya, Yuuki tertawa keras.
"Puff.... Hahahaha... Ayo siapa yang kena tipu?"
Saat aku memastikannya sekali lagi, ternyata Hp itu sama sekali tak sedang menelpon siapapun.
"Heeeehh...sial!"
Sejak kapan gadis kecil ini mempelajari trik semacam ini.
Bukan sih, bukan itu masalahnya, masalahnya adalah kenapa aku malah tertipu oleh trik murahan ini? Apa sandiawa Yuuki terlalu real di mataku?
Malam datang, begitu juga dengan Ryuga yang datang setelah aku dan Yuuki selesai makan malam.
Aku kira malam ini akan turun hujan kerena angin kencang tadi sore, tapi faktanya Ryuga bisa sampai ke rumahku tanpa tertetes hujan sedikitpun.
Saat ini kami berdua bermain game online di dalam kamarku, Ryuga duduk di kursi belajar dan sedikit memutar kursi itu dari mejanya menghadap kearah ku yang sedang duduk bersender di dinding tepat di samping tempat tidur yang berposisi horizontal dari ruangan kamarku.
Berjam-jam berlalu, tak ada yang penting apapun perkataan kami satu sama lain.
Aku mungkin sedikit pendiam, tapi entah mengapa aku merasa seperti lepas kendali saat berada dalam ruangan atau di sisi orang yang sudah aku kenal, jadi terkadang aku tak bisa mengontrol apa yang ingin sampaikan.
Kalian mengerti para gamers kan? Jika mengerti aku harap kita memiliki kesamaan dalam hal ini, bukti bukan hanya aku satu-satunya yang merasa nyaman oleh hal yang dipandang rendah dari orang-orang.
Sekitar jam 12 malam, mata dari aku dan Ryuga sedikit meminta istirahat sama halnya dengan Hp kami yang sepertinya sudah terlalu panas.
Aku merebahkan diri di tempat tidur ku yang lumayan lebar, normalnya ini memang tempat tidur untuk dua orang, karena dari itu Ryuga sudah beberapa kali tidur denganku.
Aku nggak tau gimana orang lain nganggap ini, aku harap ini adalah hal normal bagi seorang cowok muda yang normal. Yah, kalian mengerti maksudku kan?
"Zell, gimana sama Ishiki?"
Kami saling membelakangi masing-masing.
Jujur saja selain bermain game, aku masih sedikit canggung dengannya.
"Kayaknya aku nggak bakal berani ngomong ke dia buat beberapa tahun ke depan."
"Maaf."
"Udahlah jangan dipikirin."
"Tapi kau harus baikan dengannya secepat mungkin."
"Oke, oke aku mengerti, aku mau tidur."
Sebenarnya aku juga menginginkan itu, aku juga ingin menghilang perasaan ini lalu meminta maaf langsung dengan Ishiki.
Aku ingin melupakan janji yang pernah aku buat dengan seseorang yang aku sendiri tak pernah bisa melupakannya, lebih tepatnya aku ingin melupakan sosok dirinya dengan orang lain.
Tapi kurasa semua itu terlalu baik untuk ku, mungkin ini yang terbaik.
Cerita cinta masa muda memang tak seindah yang orang bicarakan, karena dari itu aku tak ingin kembali merasakannya.
Tapi kenapa aku asal jawab dengan pernyataan Ishiki saat itu? Yah, di sini aku lah yang salah, jadi jangan terlalu mendekat dengan orang seperti ku ini.