webnovel

KEANEHAN PART 3

"Haah ... Haah ... Haah ..."

Napasku terasa begitu berat, aku pun membuka kedua mata dan menatap sekeliling dengan bingung. Entah apa yang terjadi, tadi tiba-tiba semuanya tampak gelap gulita di mataku dan aku pun seolah kehilangan kesadaran. Namun kini setelah aku membuka mata, aku mendapati diriku berada di tempat yang berbeda, bukan di dalam gua dasar air seperti tadi, tetapi ini ... aku yakin sudah berada di permukaan danau. Aku masih berendam di area dangkal di danau ini, tapi sejak kapan aku kembali berenang ke permukaan? Bukankah seharusnya aku sedang berada di gua dasar air?

Sungguh aku tidak memahami apa yang telah terjadi padaku. Keanehan-keanehan ini ... mungkinkah aku hanya sedang bermimpi?

Air di sekelilingku bergerak dengan hebat, dan aku yakin melihat sesuatu bergerak mendekatiku. Entah apa itu? Hanya saja satu hal yang aku rasakan saat ini, aku begitu panik dan ketakutan, aku ingin segera naik ke permukaan dan keluar dari dalam air danau ini secepat mungkin.

Byuuuuur!

"Aaaaaaarrgghh!"

Teriakanku keluar dengan sendirinya secara spontan begitu aku melihat sesuatu yang besar keluar dari dalam air danau. Aku juga memberontak sebisaku untuk menghindari entah makhluk apa pun yang tiba-tiba kaluar dari bawah, dari dalam air danau lebih tepatnya.

"Hei, Giania. Tenanglah. Ini aku."

Aku berhenti bergerak dan mencoba menatap sosok seseorang yang berada tepat di depanku. Sesuatu yang keluar dari dalam air itu, tidak salah lagi dia adalah Zero.

"Kau ini kenapa? Lama sekali mandinya? Aku sampai kesal menunggumu?"

Perkataan Zero itu telah sukses membuatku tertegun, aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapannya. Aku masih mengingatnya dengan jelas, bukankah tadi dia bersamaku di dalam gua? Bukankah sudah sejak tadi dia menghampiriku? Selain itu ... bukankah tadi dengan lancang dan beraninya dia telah menciumku? Tapi kini dia bersikap seakan-akan dia baru saja menghampiriku kemari.

"Cepatlah naik, apa kau tidak kedinginan?"

Kuanggukan kepala karena tak kupungkiri tubuhku mulai menggigil kedinginan mungkin karena terlalu lama aku berada di dalam air. "I-Iya," sahutku.

Zero berenang menghampiri tepi danau, begitu pun denganku. Dia naik ke permukaan dan membantuku untuk keluar dari air. Setelah berhasil keluar dari air danau, aku menatap Zero. Begitu pun dengan Zero, dia sedang menatap tajam padaku tanpa berkedip, seolah dia lupa cara berkedip.

Risih dengan tatapannya itu, aku pun bertanya, "Kenapa menatapku begitu, Zero?"

Zero sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, dia bangkit berdiri dan berjalan menjauhiku begitu saja. Tak lama kemudian dia kembali menghampiriku dengan membawa sesuatu di tangannya. Kemudian dia meletakkan benda itu pada tubuhku. Benda itu ... tidak lain adalah pakaianku.

"Aaaaaaaaarggh!" Spontan aku berteriak saat menyadari apa yang sedang terjadi. "Jangan lihat ke sini! Jangan lihat!!!" Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menyembunyikan sesuatu yang berharga milikku yang sialnya sudah dilihat Zero. Betapa bodohnya aku karena tidak menyadari kondisiku yang sedang telanjang tanpa terhalang sehelai benang ini. Bagaimana mungkin aku melupakan hal sepenting ini?

"Huuh, berisik sekali. Memangnya siapa yang mau lihat? Kau sendiri ceroboh keluar dari air tanpa memakai bajumu terlebih dahulu."

"Sudahlah! Cepat berbalik!!" titahku tegas dan tak menerima bantahan.

Begitu Zero berbalik badan sehingga kini dia memunggungiku, aku segera mengenakan pakaian. Sungguh memalukan, bagaimana mungkin aku melupakan pakaianku? Zero sudah melihat semuanya, ini benar-benar memalukan.

"Sudah selesai? Jika sudah ... ayo pergi!!"

Tanpa menunggu jawabanku, Zero melangkahkan kakinya menjauhiku. Semua yang terjadi padaku tadi, sungguh membuat kepalaku rasanya pening. Melihat sikap Zero yang terlihat biasa-biasa saja membuatku semakin merasa semuanya begitu membingungkan. Mungkinkah kejadian yang kualami di dalam danau tadi memang hanya mimpi?

***

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun aku menjadikan tanah sebagai alas tidur. Hanya asap dari api unggun yang membuat tubuhku hangat. Zero tampaknya sudah tertidur lelap dalam posisi duduk sambil bersandar santai pada sebuah pohon.

Menatap wajahnya membuatku kembali teringat pada kejadian tadi siang. Aku tidak mengerti dengan Zero, bagaimana mungkin dia masih bisa bersikap biasa saja setelah apa yang dia lakukan padaku. Seakan-akan dia telah melupakan ciuman itu. Hatiku terasa sakit jika memikirkan hal ini. Mungkinkah hanya aku seorang yang merasa senang sedangkan Zero tidak menganggap ciuman itu sebagai sesuatu yang berarti?

"Kau belum tidur?"

Aku tersentak ketika menyadari Zero belum tertidur dan tiba-tiba mengajakku berbicara. Mungkin juga dia menyadari sejak tadi aku terus menatapnya.

"I-Iya. Aku belum mengantuk," jawabku.

"Tidurlah. Ini sudah larut malam."

Rasa penasaranku dengan sikap Zero yang biasa-biasa itu dan keingintahuanku tentang kebenaran akan perasaan Zero padaku, membuatku memutuskan untuk menanyakan hal ini padanya sekarang juga karena aku sudah tak kuasa lagi menahan rasa penasaran yang semakin naik ke permukaan. "Zero, tadi siang ... ke-kenapa kau melakukan itu?"

"Melakukan apa maksudmu?" Dia balik bertanya sembari memasang raut wajah yang kebingungan. Ekspresi wajahnya itu sama sekali tak terlihat dibuat-buat.

Ucapannya itu cukup membuatku mengerti bahwa bagi Zero ciuman itu memang tidak berarti apa pun. Saat ini air mataku rasanya memberontak ingin keluar. Rasa sakit yang aku rasakan di dalam hati, inilah pertama kalinya aku merasakannya.

"Jika yang kau maksud kenapa aku menghampirimu ke danau? Kau jangan salah paham, aku tidak berniat mengintipmu. Kau lama sekali tadi, aku takut terjadi sesuatu padamu. Karena itu, aku menyusulmu ke sana. Aku lega karena kau baik-baik saja."

Aku menggelengkan kepala, "Bukan itu maksudku? Kenapa kau bersikap biasa saja setelah apa yang kau lakukan padaku?"

"Memangnya aku melakukan apa? Jika itu masalah aku melihatmu tanpa pakaian, kau tidak perlu khawatir aku tidak melihat semuanya."

Air mataku tidak sanggup aku bendung lagi, sehingga kini mulai mengalir membasahi wajahku.

"Giania, kenapa kau menangis? Jangan khawatir aku benar-benar tidak melihat semuanya," katanya terlihat panik bahkan dia tak lagi duduk santai melainkan terlihat berniat menghampiriku.

"Katakan padaku, tulisan di dinding gua yang kau perlihatkan padaku. Apa maksud dari tulisan itu? Kenapa kau memperlihatkannya padaku?"

Kening Zero mengernyit dalam, sebuah ekspresi dimana dia benar-benar tak memahami maksud ucapanku. "Aku tidak mengerti ucapanmu. Tulisan apa? Gua yang mana?"

Zero terlihat kebingungan, dari raut wajahnya terlihat bahwa dia tidak sedang bersandiwara atau pun berbohong. Namun hal ini membuatku semakin merasa heran.

"Bukankah tadi kau menghampiriku saat aku berendam di danau, lalu membawaku menyelam ke dalam air? Kau memperlihatkan sebuah tulisan padaku di dalam gua?"

Raut wajah Zero terlihat semakin kebingungan. Dia sepertinya benar-benar tidak mengerti maksud perkataanku.

"Kau ini bicara apa? Kau menyuruhku untuk berjaga selama kau mandi. Itulah yang aku lakukan. Aku tidak ingin melihatmu mandi karena itu aku menjagamu dari kejauhan. Aku merasa kau begitu lama, aku sempat ragu untuk menghampirimu ke danau karena aku takut kau salahpaham. Tapi menurutku kau mandi terlalu lama karena itu aku memutuskan untuk menghampirimu ke danau. Aku lega karena kau baik-baik saja."

Untuk pertama kalinya semenjak bertemu dan berpetualang dengan Zero, dia berbicara sepanjang itu. Dan satu lagi saat bicara dia terlihat begitu tenang, tak terlihat kepanikan sedikit pun. Padahal jelas-jelas tanpa permisi dia telah menciumku tadi siang. Bagaimana bisa dia tetap setenang ini, menganggap seolah tak terjadi apa pun di antara kami?

"Jadi maksudmu, kau tidak pernah mengajakku menyelam ke dalam danau dan kau tidak pernah memperlihatkan tulisan di dalam gua itu padaku?"

Zero mengangguk dengan tegas, "Ya. Karena aku memang tidak melakukannya."

Aku tidak percaya bagaimana bisa dia tidak mengakuinya padahal masih melekat jelas di ingatanku, memang Zero yang menarikku paksa masuk ke dalam air, menciumku tepat di bibir dan memperlihatkan tulisan aneh di dinding gua dasar air.

"K-Kau ... aku benar-benar kecewa padamu."

Aku memalingkan wajahku darinya. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Meskipun aku sama sekali tidak melihat kebohongan di matanya, tapi aku sama sekali tidak menyangka dia tega melakukan ini padaku. Dengan kejamnya dia tidak mengakui perbuatan yang dia lakukan padaku. Ya, ini cukup membuatku semakin yakin bahwa bagi Zero ciuman itu sama sekali tidak berarti. Padahal bagiku itu ciuman pertamaku yang sangat berharga.

Kesunyian malam ini seakan-akan memahami kesedihan yang sedang aku rasakan, kesedihan yang aku rasakan karena ciuman pertamaku yang berharga telah direnggut oleh pria asing yang bahkan tak mau mengakui perbuatannya.

Siguiente capítulo