webnovel

Bukan Lawan Sepadan

"Apa? Membiarkan Tuan Wiro datang menemuinya?"

Nona Sekar mengulangi perintah dari pria bengkok itu, dia tidak bisa mempercayai telinganya. Dia kira telinganya yang salah dengar.

Pria dengan hidung bengkok itu semakin cemas lalu berteriak, "Kau panggil Wiro sekarang, cepatlah!"

"Ya, ya". Nona Sekar menjawab sambil tergagap karena ketakutan. Dia melirik Dias sebentar lalu berlari ke lantai atas. Sepatu hak tingginya terdengar saling bersautan menggema di aula paviliun yang kini sunyi.

Di bawah tatapan tajam lebih dari tiga puluh penjaga keamanan, Dias masih bersikap sangat tenang sambil tetap duduk menghisap rokoknya sendiri. Dia menghembuskan asap dengan pola yang berbeda-beda sambil menunggu Wiro Suryo datang.

Tidak lama kemudian, sekelompok besar orang berlari menuruni tangga. Ada sekitar lima puluh orang yang ikut bergabung dengan kerumunan penjaga yang lebih awal mengelilingi Dias.

Segera setelah itu, suara lift yang terbuka terdengar. Kemudian sebuah suara penuh amarah berteriak, "Sialan, siapa yang berani menggangguku. Aku harus melemparkannya ke laut untuk jadi makanan hiu. Orang-orang harus tahu diri jika ingin berurusan dengan Serigala Hitam dari Kabupaten Bantul."

Seorang pria paruh baya berbadan gemuk dengan memakai setelan hitam dan kalung emas besar tergantung di lehernya datang. Kerumunan puluhan orang berjas hitam itu penuh dengan aura membunuh, sedangkan orang yang baru keluar dari lift itu jelas terlihat sebagai ketuanya.

Namun di mata Dias, suasana ini hanya seperti angin kentut baginya. Aura dan tatapan membunuh orang-orang di sini sama sekali tidak mempengaruhi Dias.

"Apakah kamu Wiro Suryo?"

Dias yang masih duduk di atas kursi, mengangkat kepalanya dan memandang pria gemuk itu dengan sangat tenang.

"Wah, kau berani masuk ke Paviliun Aldebaran dan memukuli geng Serigala Hitamku. Kau sekarang menjadi begitu sombong. Apa kau tidak tahu bagaimana menulis kata-kata kematian?"

Wiro Suryo mencibir, wajahnya penuh amarah, "Kalau begitu , aku akan mengajarimu cara menulis kata 'kematian'. Cepat, ikat dia dan lempar dia ke laut malam ini untuk memberi makan hiu." Atas perintah Wiro Suryo, anggota Geng Serigala Hitam beramai-ramai menyerang Dias.

Tapi di adegan berikutnya, anggota geng Serigala Hitam benar-benar tercengang. Dias masih santai duduk di atas kursi sambil menghisap rokok di mulutnya. Dia bahkan tidak menggerakkan bokongnya sama sekal.

Tapi satu persatu orang yang menyerang ke arahnya, Dias langsung menghajarn mereka semua hanya dengan satu kaki. Gerakan satu kaki Dias sangat cepat dan tidak terlihat seperti angin. Dia menendang semua orang yang mendekat ke arahnya, lalu sepersekian detik kemudian beberapa orang sudah jatuh ke tanah.

Lebih dari selusin orang sudah berbaring tidak berdaya di atas tanah dalam sekejap, sedangkan anggota Geng Serigala Hitam lain yang belum menyerang langsung berhenti. Mereka semua sangat tercengang dan tidak berani mendekat lagi. Mereka langsung merasakan hawa dingin di sekujur tubuh mereka.

"Wiro Suryo, apakah kau menjamu tamu seperti ini?" Dias mencibir sambil mengibaskan abu rokoknya. Sorot matanya penuh jijik meremehkan Wiro Suryo yang semakin marah.

"Kau benar-benar cari mati!"

Wiro Suryo melihat bahwa Dias tidak bisa dianggap remeh, dia benar-benar seorang master. DIa berteriak dengan geram dan ekspresi mengerikan terlihat di wajahnya. Wiro meraih sesuatu di pinggangnya kemudian mengeluarkan sebuah benda besi. Pistol.

Wiro Suryo menduga, mau sekuat apapun anak kecil di depannya ini, dia pasti tidak bisa menghentikan sebuah peluru panas yang berkecepatan tinggi ini.

Saat Wiro Suryo hendak menarik pelatuknya, seorang pria dengan rambut abu-abu karena sudah banyak beruban dan memiliki wajah khas pria Jawa memegang tangan Wiro Suryo kemudian berkata dengan suara yang dalam, "Wiro Suryo, berhenti."

"Tuan Jarot." Wiro Suryo kembali menatap pria beruban itu sambil berkerut. Wiro menurunkan alisnya lalu perlahan melepaskan pistolnya.

Menghadapi pria yang bernama Jarot ini, Wiro Suryo tidak berani untuk tidak menghormatinya karena kedudukan Jarot di Geng Serigala Hitam adalah yang kedua setelah bos. Bahkan untuk beberapa alasan khusus, Jarot lebih unggul dibandingkan bos.

Jarot berjalan beberapa langkah ke depan sambil menatap tajam ke arah Dias setajam mata elang. Jarot meletakkan tangannya ke dalam saku celananya lalu berkata, "Aku adalah teman bicara Wiro Suryo, Jarot Gumelar. Kau siapa, adik kecil?"

Dias melihat pria itu dari atas hingga ke bawah, kemudian dia tersenyum lalu berkata, "Aku ingin bertanya dengan Wiro Suryo, bukan kau."

"Adik laki-lakiku itu terlalu besar bagimu. Apa kau tidak tahu sebenarnya ada gunung di dalam pegunungan dan ada orang yang lebih kuat di dunia ini?"

Ekspresi wajah Jarot berubah, sendi dan tulang di tubuhnya meledak seolah-olah dia mengeluarkan aura yang dia sembunyikan di balik tubuhnya. Jarot mendekati Dias dengan energi kuat yang tak terlihat yang juga menyelimuti seluruh ruangan ini.

Melihat Dias yang masih duduk di atas kursi, Jarot sangat marah lalu bergegas melangkah menuju Dias. Jarot memutuskan untuk mengajari pemuda yang tidak tahu diri ini.

Tanpa bicara lagi Jarot langsung melesatkan pukulan mautnya memecah udara, terdengar suara berderak di penjuru ruangan. Kecepatan pukulan tangan itu membuat anggota Geng Serigala Hitam di sekitarnya ketakutan.

Melihat gerakan Jarot, Dias tersenyum di sudut mulutnya. Dengan tenang, Dias memindahkan puntung rokoknya ke sudut kanan mulutnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengepal ke arah lawan tanpa terburu-buru.

Bang! Boom!

Terdengar suara keras seperti guntur atau seolah ada dua mobil bertabrakan.

Detik berikutnya, Jarot hanya bisa menunjukkan ekspresi ngeri dan langsung merasakan kekuatan besar datang dari tinju Dias. Jarot hilang kendali atas seluruh tubuhnya, dia langsung terbang ke arah geng Serigala Hitam di belakangnya, kemudian menabrak meja kayu yang langsung patah dan berhenti setelah menabrak meja marmer.

Untuk sesaat, seluruh oran yang ada di aula Paviliun Aldebaran terdiam seribu bahasa. Melihat kemampuan Dias, sebuah pertanyaan muncul di benak semua orang, apakah orang ini manusia?

"Tuan Jarot!"

Wiro Suryo adalah orang pertama yang bereaksi, lalu buru-buru berlari untuk membantu Jarot yang langsung lemas.

Wiro Suryo tahu kehebatan Jarot yang telah banyak membantu melancarkan aksi banyak pihak, jadi Wiro mengundang Jarot untuk bertugas di Geng Serigala Hitam, tetapi seseorang sehebat Jarot saja bahkan tidak bisa berkutik lagi di depan Dias.

"Uhuk…"

Jarot batuk darah lalu dia mencoba berdiri terhuyung-huyung. Jarot memandang Dias dengan serius kemudian berkata dengan suara yang dalam, "Siapa kamu?"

Dias menekan puntung rokoknya di atas meja lalu mengangkat kepalanya, "Melihat postur tubuhmu, kau pasti keturunan langsung dari keluarga Gumelar di Semarang. Aku ingat ada seorang kenalan yang bernama Gatot di keluarga Gumelar. Apa hubungannya denganmu?���

Jarot menghela nafas lega begitu tahu ada sebuah hubungan di antara mereka, "Benar-benar sebuah kebetulan. Gatot Gumelar adalah kakekku. Adik kecil, sesuai dengan usiamu, jadi mari kita memperlakukan satu sama lain sebagai paman dan keponakan."

"Sial," Dias terlihat tidak senang, "Aku memanggil Gatot Gumelar kakak laki-laki. Jika kau adalah cucunya, maka kau juga harus memanggilku Kakek Dias."

"Kamu ..."

Jarot menatap Dias dengan kesal dan ingin mengatakan bahwa Dias telah mempermainkannya. Tapi kemudian Jarot berpikir, Dias bahkan lebih kuat dari kakeknya, sangat mungkin bagi mereka untuk berbicara selayaknya teman. Terlebih lagi, orang-orang di Jawa sangat menghormati para guru mereka. Mungkin nenek moyang Dias punya kedudukan tinggi, jadi meskipun dia masih muda tapi keturunannya berstatus tinggi.

Tapi tetap saja, Jarot tidak benar-benar memanggil Dias kakek. Jarot kemudian berbalik lalu berbisik kepada Wiro Suryo, "Ini sangat tidak terduga, kita tidak menyelidiki secara menyeluruh sebelumnya tentang anak ini. Pastikan untuk tidak berbuat sesuatu yang menyinggungnya, berusahalah untuk membuatnya tenang."

Wiro Suryo langsung pucat, lalu mengangguk dan menyetujui perkataan Jarot. "Ya, Tuan Jarot."

"Aku akan naik ke atas untuk menyembuhkan lukaku. Setelah aku merawatnya, aku akan datang menemuimu." Jarot berbicara kepada Dias lalu berjalan menuju tangga.

Melihat punggung Jarot, Dias mencibir, "Haha, kau tidak bisa memanggilku kakek, kan. Jika kau benar-benar keturunan asli Gatot Gumelar, kau setidaknya sudah bisa mematahkan satu lengan. Sekarang kau pergilah, lain kali saja kita bertemu. Selamat tinggal, salam untuk Gatot Gumelar."

Jarot berhenti, tapi bagaimana pun juga dia tidak bisa memalukan dirinya lagi. Dia lanjut melangkah ke atas.

Wiro Suryo tidak menyangka akan berada dalam situasi buruk seperti itu. Dia menunjukkan senyum terpaksa lalu berkata, "Tuan Dias, maaf. Semuanya hanyalah salah paham."

"Salah paham? Bukankah kamu baru saja mengatakn ingin melemparku ke laut? Dimakan hiu?" Kata Dias dingin.

Wiro Suryo seakan tercekik keras tidak bisa bicara. Dia dengan cepat membubarkan bawahannya yang masih mengelilingi Dias. Wiro kemudian berdiri di samping Dias dan menundukkan kepalanya sambil berkata, "Tuan Dias, saya memang tidak tahu. Tapi sebagai permintaan maaf, tolong sebutkan keperluan Anda saat ini. Saya pasti akan memenuhinya."

Siguiente capítulo