webnovel

Namanya Michelle

Pagi itu Gery akan bertanding basket. Ia bersiap - siap untuk berangkat. Dalam dunia perbasketan Gery memang cukup dikenal sebagai pemain handal, bahkan ia didaulat menjadi captain tim basket di Sekolahnya. Tahun ini menjadi sangat spesial, karena akan diadakan seleksi atlet nasional yang akan mewakili Indonesia di ajang olimpiade pelajar di Malaysia.

Gery sedang mengikat tali sepatunya, sementara Tjokro masih saja mengunyah roti nya.

"Mbah,, ayo mbah,, telat nih nanti", teriak Gery.

"Satu biji lagi Ger, enak nih", jawab Tjokro dengan tumpukan roti yang ada di dalam mulutnya.

Karena Tjokro lahir pada abad 17, dan selama menjadi arwah penasaran ia tidak pernah meninggalkan keratonnya, ia menjadi sangat aneh sekali, bahkan terlihat sedikit kampungan.

"Loh,,loh,, mau kemana mbah?", tanya Gery.

"Ayo katanya kamu mau tanding basket?"

"Ya iya,, tapi engga jalan kaki juga mbah,, Ayo naik mobil,, aku yang nyetir".

Mungkin agak sedikit sulit bagi Gery, Ketika ia harus mengurusi Tjokro si arwah penasaran ini. Tapi ia tetap bahagia, melihat kelakuan aneh sang mahapati yang membuat ia senyum - senyum sendiri.

"Ayo masuk mobil, jangan lupa tutup pintu". Perintah gery kepada Tjokro.

"OK". Tjokro malah berbalik badan dan menuju rumah.

"Eh,, mau kemana mbah?", tanya Gery.

"Tadi katanya disuruh nutup pintu?", jawab Tjokro.

"Bukan pintu rumah,, Omaigat!! pintu mobil nih,, masuk dulu deh,, diem sini,, duduk ya".

Gery menggandeng tangan Tjokro dan membantunya masuk ke dalam mobil, lalu ia menutup pintu mobil. Terlihat sangat romantis, tapi sayangnya mereka bukan sepasang kekasih. Mereka hanyalah mbah dan cucu angkat.

"Ger,, ini kepala ku kok mentok.."

"Ya jangan begitu juga kali.. duduk yang bener.. ampun deh gue sama orang tua ini.. bisa masih muda udah darah tinggi aku", gerutu Gery.

"Darah tinggi maksudnya darahnya setinggi ini", jawab Tjokro sambil mengukur dengan tangan nya sejajar dengan dada.

"Tolooonggg.. momy tolonggg,,, udah mbah,, diem aja deh mbah,, esmosiii gue.."

Tak habis - habisnya Gery menggerutu di dalam mobil akibat ulah Tjokro yang memang kadang menyebalkan. Setelah 30 menit perjalanan, mereka pun sampai di stadion lapangan basket. Gery langsung bergegas ke ruang ganti pakaian untuk mengganti baju nya dengan seragam, ia pun menemui teman - teman se-tim nya dan mengenalkan Tjokro kepada mereka.

Akhirnya tibalah waktunya tim Gery bertanding. Gery dan tim nya mulai bertanding melawan juara bertahan. Sementara itu Tjokro duduk di kursi penonton dan memperhatikan jalannya pertandingan. Entah mengapa ada salah seorang peserta dari tim lawan yang blasteran belanda, sehingga Tjokro pun teringat dengan musuh besarnya Jendral Stephen. Kemudian ia berniat untuk mengerjai lawan main dari tim Gery.

"Anak jaman sekarang kenapa tampangnya songong - songong. Kerjain ah", celoteh

Tjokro sambil mengerutkan alisnya dengan lirikan mata yang penuh dengan kelicikan.

Sementara itu Gery dan tim nya agak sedikit kerepotan mengingat lawan mereka kali ini bukanlah tim basket biasa. Mereka adalah tim basket yang cukup di segani di dunia perbasketan tingkat remaja.

"Ambil Ger", teriak Miki sambil melemparkan bola ke Gery.

"Sorry mik", dan ternyata bola diambil lebih dulu oleh lawannya.

Melihat itu Tjokro semakin gemas, apalagi yang merebut bola dari Gery adalah anak yang wajahnya kebule - bulean itu. Tjokro langsung memainkan jari nya seolah ia sedang mengatur bola basket yang di pegang oleh lawan Gery, secara mengejutkan lawan Gery malah lari dan memasukan bola ke dalam ring milik tim nya sendiri.

Semua orang terkejut. Penonton pun tertawa. Namun teman se tim si bule itu langsung memukulnya karena gemas. Gery sudah merasakan ada yang tidak beres, ia menduga itu adalah ulah Tjokro. Gery menengok ke arah Tjokro, kemudian Tjokro hanya mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah matanya, menandakan bahwa pertandingan ada di dalam kendalinya.

Tiba - tiba secara tidak sengaja Tjokro melihat Michelle yang sedang bersama tim cheers yang akan menghibur para penonton pertandingan basket itu. Rasanya mendadak semriwing angin - angin kesegaran cinta lewat di depan Tjokro Ketika melihat ke arah Michelle. Karena wajah cantik Michelle membuat Tjokro tidak bisa berpaling untuk memandang yang lain. Tjokro datang menghampiri Michelle yang sedang duduk dan meminum air dalam botol.

"Hai,, kau ada disini juga? Kita pernah ketemu lho di taman dekat mall", ucap Tjokro yang sedang berusaha mengajak Michelle mengobrol dengannya.

"Oh yaa,, aku ingat,, kau si Pria yang abis belanja banyak itu kan?", tanya Michelle sambil meledek.

"Aduh,, jadi malu.. oh ia, namaku Tjokro. Aku om nya Gery, yang lagi yang lagi tanding basket itu".

"Oh,, aku Michelle. Kebetulan aku pelatih cheer leaders yang akan tampil juga", sambut Michelle yang seolah memberikan kesempatan untuk Tjokro.

Jika dilihat - lihat Tjokro ini memang cukup tampan, mengingat ia adalah mahapati pada masa kejayaannya dulu.

Sementara itu Gery menjadi sangat percaya diri. Ia mengumpulkan poin demi poin. Ia berfikir bahwa ia sedang dibantu oleh Tjokro. Padahal Tjokro sedang asyik pendekatan dengan Michelle.

"PRITT.. PRITT..PRIT.."

Wasit membunyikan peluit kemenangan untuk tim Gery. Semua nya bersorak untuk Gery. Hampir sulit dipercaya tim Gery dapat memenangkan pertandingan, apalagi lawan mereka sangat tangguh. Melihat Gery yang sedang bergembira, Tjokro langsung berlari dan memeluk Gery. Nampak seperti ayah dan anak.

Sebenarnya Gery sangat menantikan pelukan itu dari ayah dan ibu nya, sayang orang tua Gery sangat sibuk sehingga tidak bisa menyaksikan pertandingan demi pertandingan yang Gery lewati semenjak ia bergabung dalam tim basket.

Setelah selesai, semua pulang ke rumah masing - masing. Di dalam mobil, Gery berbicara pada Tjokro. Ia berterima kasih karena Tjokro telah membantunya memenangkan pertandingan. Tetapi Tjokro mengelak telah membantu Gery, karena ia hanya membantunya sekali.

"Mbah,, ngomong - ngomong,, aku makasih banget lho.. buat hari ini,, rasanya aku kek mimpi bisa menang lawan tim itu.."

"Aku hanya bantu sekali lho,, pas tembakan bunuh diri", tegas Tjokro.

"Tembakan bunuh diri? oh yang tadi itu doang?", tanya Gery.

"Iya,, aku cuma bantuin itu", jawab Tjokro.

Gery pun sangat bahagia mendengarnya, karena itu berarti tim Gery memang patut diacungkan jempol. Tiba - tiba terlintas dipikiran Gery, jika Tjokro hari itu hanya membantunya sekali, apa yang dilakukan Tjokro setelahnya. Kemudian Tjokro menceritakan kisah perkenalannya dengan Michelle, namun sayang perkenalan itu terhambat karena ia tidak punya hand phone. Gery pun menjanjikan akan membelikan handphone untuk Tjokro. Sungguh anak yang baik.

Sesampainya di rumah Tjokro masuk ke kamarnya, tiba - tiba ia teringat kembali dengan Diana. Tjokro kemudian memejamkan matanya kembali. Lalu ia merasakan lagi sakit di dadanya. Tepat di dada dimana ia ditembak oleh Jendral Stephen. Ia berguling kesakitan. Petirpun kembali menyambar. Gery yang sedang membaca buku di kamar sudah tidak heran dengan petir yang kadang datang tiba - tiba. "Hah pasti ini ulah mbah Tjokro lagi deh".

Sementara itu Michelle yang sedang berbelanja di sebuah toko, teringat dengan tingkah Tjokro yang sangat lugu. Sebenarnya ia menyadari jika Tjokro telah memperhatikannya saat mereka bertemu di taman meski jarak mereka agak jauh. Ia juga mengingat gaya Tjokro yang aneh saat mengajaknya berkenalan. Tidak seperti kebanyakan pria yang langsung menggombal padanya. Tetapi Tjokro tetap terlihat berwibawa. Kemudian Michelle senyum - senyum sendiri dan berkata dalam hati, "Laki - laki itu sangat lugu dan aneh.. haha ,,".

Kemudian Alex menelponnya dan mengatakan akan menjemputnya. Alex dan Michelle sebenarnya sudah bersahabat sejak kecil. Dengan ketampanan dan status sosial yang tinggi, ia selalu pede dan merasa Michelle sudah jatuh cinta padanya. Padahal Michelle hanya menganggapnya sebagai teman.

Ke esokan harinya Gery meminta Shelly dan Saskia menemaninya membeli HP untuk Tjokro. Lalu teman - temannya Gery itu terus memuji ketampanan om pura - pura nya itu. Bahkan Miki yang gayanya sedikit preman pun mengakui ketampanan Tjokro.

"Btw ini hp nya emang buat siapa sih ger?", tanya Shelly.

"Buat om ku", jawab Gery.

"Oh yang kata Miki ganteng itu ya?", tanya Saskia.

"Hahhh,, Miki bilang om gue ganteng? jangan2 dia naksir om gue lagi", canda Gery.

Semua tertawa "hahaha". Sementara itu Miki yang lagi makan di rumahnya tiba - tiba tersedak.. "Uhukkk,, uhuuuukkk,,, siapa nih yang sebut - sebut namaku".

Sementara itu Gery beserta teman - temannya masih saja menertawakan Miki.

***

Malam hari nya di Rumah Gery, Tjokro sedang meditasi. Ia berkonsentrasi untuk mencari dimana keturunan Jendral Stephen berada. Sambil memejamkan mata ia nampak keras mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya, sampai pada suatu titik ia melihat seorang wanita berambut ikal di bayangannya. Namun sayangnya ia hanya bisa melihat perempuan itu nampak dari belakang, sehingga sulit bagi dia untuk menemukan keturunan Jendral Stephen.

"Kurang ajar, sudah seminggu aku bangkit kembali tapi aku belum bisa menemukannya".

Tjokro langsung mengambil Sweaternya dan pergi berjalan keluar rumah, ia berjalan mencari gedung yang ada di dalam bayangannya pada saat ia meditasi, tetapi ia tak mendapatkannya. Lalu terdengar suara arwah kakek2 berbaju putih seperti tabib yang sedang duduk di dekatnya.

"Dia ada di dekatmu gusti patih", kata hantu tabib.

"Apa yang kau katakan?"

"Kau sedang mencari keturunan Jendral Stephen bukan?", tanya hantu tabib.

"Bagaimana kau tau itu?"

"Dulu aku seorang tabib, aku juga bisa membaca pikiran mu", tegas si hantu.

Tetapi Tjokro masih belum yakin.

"Selain dia ada di dekatku, apa yang bisa kau kasih tau lagi?", tanya Tjokro.

Arwah tabib itu berdiri dan mendekat pada Tjokro, "Hidup itu penuh dengan teka - teki gusti patih, begitu juga perasaan hati manusia yang juga dapat berubah - ubah". Hantu Tabib tertawa kecil sambil mengusap jenggot panjang nya yang sudah nampak putih semua. "Nanti kau pun akan tau, apa maksud dari perkataanku". kata si hantu. Namun Tjokro merasa ia sedang dipermainkan oleh hantu itu. Tanpa membuang - buang waktu ia langsung pergi meninggalkan hantu itu.

Setelah menyusuri gedung - gedung tinggi, ia belum juga menemukan wanita yang ada dalam meditasinya. Lalu ia memutuskan untuk kembali pulang. Diperjalanan menuju pulang ke rumah Gery, Tjokro terus kepikiran mengenai ucapan arwah tabib itu,

"Sebenarnya apa maksud omongannya tadi. Dasar arwah gak jelas. ngasih info kok setengah - setengah".

Dalam perjalan pulang, tidak sengaja Tjokro melihat Michelle di jalan, nampaknya Michelle telah membeli bahan untuk membuat kue di sebuah toko. Michelle baru keluar dari toko dan memandangi kantong plastik belanjaannya, ia nampak seperti sedang memeriksa barang belanjaannya.

"Wah,, jodoh pasti bertemu", Tjokro mengecilkan suaranya.

Lalu Tjokro langsung berjalan ke arah Michelle, ia memanggilnya. Kemudian Michelle menoleh ke arah Tjokro. Terjadilah perbincangan diantara mereka berdua. Lagi - lagi Michelle menanyakan nomor hp nya Tjokro. Tjokro kebingungan, ia berpura - pura lupa dengan nomor hp nya, Michelle terlihat kecewa karena ia ingin mengundang Tjokro ke acara ulang tahun nya, akhirnya Tjokro meminta Michelle untuk menuliskan nomornya di kertas, dan ia berjanji akan menghubungi Michelle setelah sampai rumah.

Michelle mengorek - ngorek tas nya dan mencari selembar kertas, namun rupanya tidak ada kertas yang bisa ditulis.

"Yah tapi aku gak bawa kertas", kata Michelle.

"Tulis saja disini", Tjokro memberikan telapak tangannya.

Michelle hanya tersenyum kecil, lalu ia menuliskan nomor teleponnya di telapak tangan Tjokro. Setelah selesai mereka saling berpamitan. Michelle menyetop taksi, kemudian masuk kedalam taksi. Tjokro masih melamun dan memikirkan bagaimana caranya dapat ponsel.

Sementara itu Gery menunggu Tjokro di Rumah, ia sangat cemas dan khawatir Tjokro akan kesasar, apalagi sepanjang dirinya menjadi arwah penasaran, Tjokro tidak pernah keluar meninggalkan keratonnya. Mana mungkin ia tahu jalan pulang. Gery sudah menunggu sangat lama tetapi Tjokro belum juga pulang. Kemanakah perginya mahapati kerajaan Kasaktian itu. Huh, ia sungguh menyusahkan Gery.

Siguiente capítulo