webnovel

Secercah Harapan dari Zara

Para maid mendekati Guan hendak mengobati lukanya namun pemuda itu mengibaskan tangannya tanda menolak. Atensinya justru terfokus sepenuhnya pada Unaya yang masih menatap pintu rumah, padahal Jeka sudah keluar dari sana sejak tadi. Guan pun sebenarnya tidak ingin membuat Unaya hancur seperti ini, tapi kata orang cinta butuh perjuangan. Dan seperti inilah wujud perjuangan menurut Guan.

"Obati luka-ku!". Perintah Guan hingga Unaya menoleh dan menatapnya dengan tatapan kebencian. Rasanya Unaya ingin berteriak sekencang-kencangnya di depan wajah Guan, mengeluarkan umpatan yang selama ini hanya ia tahan. Namun apa daya, gadis itu sadar jika posisinya jauh dibawah Guan. Katakanlah jika pemuda itu berkuasa sepenuhnya atas hidupnya. Ya, memang sekarang nasibnya tergantung Guan. Bahkan Guan berhasil mengendalikan tubuhnya bak robot.

"Manusia diciptakan dengan dua tangan, satu hati, dan anggota tubuh yang lain. Kamu udah gak punya hati, tapi masih punya tangan kan?!". Sindir Unaya yang jelas menohok. Jika ditelisik lebih dalam, sorot tajam Guan menyiratkan luka. Pemuda itu sedih diperlakukan Unaya seperti ini. Unaya jelas menunjukkan penolakan, tapi Guan berpura-pura buta. Biarlah asal gadis itu ada disisinya, ia akan mengabaikan luka di ulu hatinya.

"Obatin sendiri". Lanjut Unaya dingin kemudian berlalu menuju kamar.

"Besok aku akan cabut gugatan papa kamu. Dan besok kita pergi ke rumah Mama buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan". Ucap Guan tak kalah dingin. Unaya memejamkan matanya, lagi-lagi ia akan bertemu Jeka. Melihat wajah sedih Jeka tadi saja sudah membuat dadanya ngilu luar biasa. Apakah besok ia sanggup merasakan sakit itu lagi? Yang jelas Unaya merasa sangat berdosa pada Jeka hingga tidak punya muka lagi untuk menemui pemuda itu.

"Terserah". Guan menghela nafas berat. Pemuda itu membiarkan Unaya pergi ke kamarnya. Ia tidak se-emosi tadi. Lebih tepatnya menahan agar tidak meledak, Guan paham Unaya sedang terluka. Maka ia membiarkan gadis itu beradaptasi dengan luka itu agar terbiasa.

"Urusi dia, jaga dia. Dia sangat berharga, bahkan dari permata sekalipun". Pesan Guan pada para maid.

Keesokan harinya, Guan benar-benar mengajak Unaya pergi ke rumah Sonia alias rumah Jeka. Kediaman Jeka semalam sudah gempar akibat hilangnya Unaya. Juga semakin gempar saat Jeka yang katanya hendak menjemput Unaya di rumah Guan, pulang dengan tangan kosong. Sejak hari itu, Jeka menjadi pendiam. Ia tidak galau atau mengurung diri dikamar, hanya sekedar membatasi interaksi. Yeri yang sudah paham tabiat Abangnya kalau sedang patah hati pun maklum. Jeka akan dalam mode silent, bahkan bisa jadi mode maung kalau disenggol.

"Kak Unaya dateng! Kak Unaya dateng!". Teriak Yeri dengan hebohnya. Sonia yang sudah menanti sedari kemarin pun langsung beranjak dari sofa. Wanita itu tidak bisa tidur karena memikirkan Unaya.

"Unaya, sayang. Kamu kemana aja?". Tanya Sonia begitu Unaya dan Guan masuk kedalam rumah. Yeri dan Jeni berdiri disamping Sonia tanpa mengatakan apapun. Mereka lega melihat Unaya baik-baik saja. Unaya menunduk tanpa mau menjawab pertanyaan Sonia, gadis itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Unaya, kamu ambil barang-barang kamu sekarang! Aku tunggu disini". Perintah Guan yang langsung dipatuhi Unaya. Tanpa mengatakan apapun, Unaya bergegas naik kelantai atas. Jeni dan Yeri saling pandang melihat tingkah aneh Unaya. Kok bisa Unaya sepatuh itu pada Guan? Seperti pembantu pada majikannya. Sementara itu Sonia yang paham jika ada yang tidak beres pada Unaya pun langsung menodong Guan dengan pertanyaan.

"Kamu apain anak saya?!". Guan tersenyum miring. Pemuda itu duduk di sofa dengan sombong, tidak perlu menjaga image di depan Sonia lagi. Toh anaknya sudah takluk padanya.

"Saya gak apa-apain anak Tante kok, dia sendiri yang balik ke saya. Ya memang tempatnya di hati saya sih". Sahut Guan enteng. Sonia menggeleng tegas, wanita itu tahu betul siapa yang ada di hati anaknya. Dan itu bukan Guan.

"Gak! Anak saya gak mungkin menurunkan harga dirinya untuk kembali sama kamu, kecuali kamu mengancamnya". Tembak Sonia tepat sasaran.

"Begini ya Tante. Nasib Om Suryo tuh ada ditangan saya lho. Saya cuma menawarkan pada Unaya kalau dia mau kembali sama saya, maka saya akan membebaskan Om Suryo. Dan dia memilih kembali pada saya, padahal saya gak pernah maksa". Jelas Guan.

"Itu namanya kamu mengancamnya! Lepaskan anak saya! Saya bisa menyewa pengacara untuk membebaskan Papa Unaya". Bentak Sonia. Guan terbahak, entah apa yang lucu. Jeni dan Yeri pun sampai ngeri mendengar suara tawa pemuda itu.

"Tante Sonia, anda itu bodoh atau tolol? Anda mau menggugat balik tanpa bukti? Semua bukti yang saya serahkan kekantor polisi saja sudah menunjukan jika Om Suryo bersalah. Jadi saya yang memegang kendali disini". Kata Guan kurang ajar sambil menekankan kata memegang kendali.

"Hakim yang paling adil adalah Tuhan. Kamu boleh merasa menang sekarang, tapi Tuhan tidak tidur". Desis Sonia dengan mata berkaca-kaca. Hancur sekali hatinya melihat putri kesayangannya jatuh ke tangan bajingan seperti Guan.

"Oke Tante, makasih nasehatnya. Akan saya ingat-ingat". Guan bersiul-siul mengabaikan presensi tiga perempuan yang dari tadi menatapnya dengan sinis.

"Jeni kan pernah bilang sama Mama. Kalau berpendidikan tinggi gak menjamin seseorang punya akhlak". Celetuk Jeni sadis. Guan menatap Jeni dan tersenyum kecil.

"Untung kamu adiknya Unaya. Kalau bukan, saya bisa jahit mulut kamu agar tidak sembarangan bicara". Ancam Guan serius.

Sementara itu Unaya termangu didepan kamar Jeka, ia ingin masuk ke dalam sana tapi ragu. Bukan bermaksud hendak menemui pemuda itu. Ia hanya ingin mengambil barang-barangnya. Sekali lagi ia pegang kenop pintu, namun untuk yang kedua kalinya ia tarik tangannya kembali. Hanya masuk kesebuah ruangan saja Unaya seperti harus berfikir ribuan kali.

"Masuk, ambil koper, bawa baju-baju". Gumam Unaya. Gadis itu menarik nafas panjang sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Jeka.

Unaya masuk begitu saja mengabaikan sosok Jeka yang tertidur diatas ranjang. Lebih tepatnya sok mengabaikan karena gadis itu bahkan tidak berani melirik kearah Jeka. Sekali saja ia melirik, bisa-bisa tidak tahan untuk memeluknya. Dibukanya lemari namun baju-bajunya sudah tidak ada.

"Lho?". Dahi Unaya mengerut. Space lemari yang tadinya digunakan untuk meletakan baju-bajunya kini telah kosong.

"Pintu selain diciptakan untuk masuk, juga untuk diketuk. Selain hati Lo yang udah mati, otak Lo juga ya?". Jeka mengeluarkan suara tiba-tiba. Unaya pun kaget dibuatnya, ia tidak menyangka Jeka akan terbangun disaat dirinya menyelinap masuk ke dalam kamar.

"Aku cuma mau ambil baju-baju aku yang ketinggalan". Unaya memberanikan diri untuk menatap Jeka. Sumpah demi apapun jantungnya langsung bereaksi begitu mata mereka saling tatap. Seperti saling merindukan tapi enggan mengungkapkan. Jeka langsung cepat-cepat memutus kontak mata mereka. Pemuda itu takut menjadi lemah kalau terlalu lama menatap Unaya. Yang ada ia bakal kembali menurunkan harga dirinya dan meminta gadis itu kembali.

"Oh udah gue duga...". Jeka turun dari ranjang dengan tubuh atas tanpa baju. Pemuda itu mengambil koper yang ia letakkan di samping lemari.

"Nih. Udah gue beresin. Lo bisa pergi sekarang". Lanjut Jeka cuek. Unaya tertegun melihat sikap Jeka. Kok Jeka jadi beda? Dia marah ya? Ya iyalah pakai nanya lagi. Gadis itu melamun cukup lama hingga membuat Jeka berdecak.

"Malah bengong lagi. Ini bawa, ntar kalo kelamaan disini dikiranya gue ngapa-ngapain elo". Jeka menarik tangan Unaya dan memaksa gadis itu untuk memegang kopernya. Jeka kemudian berbalik karena tidak sanggup menahan hatinya yang perih. Ia sebenarnya tidak mau bersikap sedingin ini pada Unaya. Ia hanya mencoba menjaga harga dirinya agar tidak kembali jatuh.

"Jeka, Lo marah sama gue?". Tanya Unaya hati-hati.

"Gak usah ditanya, Lo pasti tahu jawabannya". Sahut Jeka tanpa repot-repot menatap Unaya. Bukan marah, tapi kecewa. Mana bisa Jeka marah pada Unaya? Tapi kalau kecewa sih sering.

"Gue minta maaf".

"Maaf gak bisa balikin kepingan hati gue jadi utuh Na". Kata Jeka pilu. Unaya sudah menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping, kemudian tak berselang lama Unaya memungut kepingan itu dan membuatnya utuh kembali. Kemudian dihancurkan lagi, diutuhkan lagi. Lama-lama kepingan itu akan rapuh dan hilang wujudnya. Jeka lelah dipermainkan.

"Terus gue harus apa Jek? Lo pasti tahu kan alasan gue milih jalan ini". Jeka berbalik kemudian menatap Unaya serius.

"Gue minta Lo percaya sama gue, tapi Lo gak lakuin. Kita ini ngejalanin hubungan berdua Na, harusnya Lo tanya pendapat gue sebelum bertindak. Tapi ya udah lah, Lo punya hak buat memilih. Semoga Lo bahagia dengan jalan yang Lo pilih". Jeka hendak pergi namun tangannya ditahan oleh Unaya.

"Lo gak akan lupain gue kan? Lo gak akan bersanding dengan orang lain kan?". Tanya Unaya ketakutan. Bodo amat dianggap gak tahu diri, sudah membuang Jeka tapi gak rela Jeka sama yang lain. Jeka menepis tangan Unaya pelan.

"Bukan urusan Lo". Jeka masuk kedalam kamar mandi dan menutup pintu kasar. Unaya bahkan sampai memejamkan mata karenanya. Jeka terlihat kecewa padanya, terlihat sekali. Unaya ikhlas dibenci Jeka karena memang pantas. Unaya tidak menangis, saking sakitnya sampai mati rasa. Saking sering merasakan sakit sampai air mata pun seakan kering. Begitu juga dengan Jeka. Pemuda itu bersender di balik pintu sambil memejamkan mata.

Ia nikmati perasaan sakit yang sudah tidak asing. Sudah berani jatuh cinta, maka harus siap menanggung sakitnya. Gagal dalam cinta berkali-kali itu wajar, tapi kalau jatuh ditempat yang sama mungkin namanya bodoh. Dan Jeka mentertawakan dirinya sendiri. Jek, Jek kayak gak ada cewek lain aja. Jeka bukan gak mau cari pengganti Unaya, hanya saja ia malas mengenal orang baru, menilai kepribadian orang itu, bertemu dengan keluarganya. Hah! Ribet! Makannya stuck di Unaya mulu karena sudah kenal luar dalam dengan gadis itu.

"Sebelum ninggalin orang, Lo harusnya mikir dong Na. Gimana perasaan orang itu, orang yang lo tinggalin ini bahkan sampai males memulai sebuah hubungan gara-gara trauma disakitin". Guman Jeka.

***

Unaya turun dari tangga sambil membawa koper, Yeri berlari kecil mendekati Unaya dan menanyakan sesuatu.

"Kak Unaya yakin mau pergi dari rumah ini?". Unaya tersenyum kecil kemudian mengangguk.

"Kak Una pergi karena perkataan aku ya? Kalau iya, aku minta maaf sama Kakak. Aku gak bermaksud nyakitin Kakak, aku cuma lagi emosi aja pada saat itu". Kata Jeni sambil bersimpuh didepan kaki Unaya. Unaya sekuat tenaga menahan tangis, ia tidak boleh terlihat lemah. Ia harus bersikap seolah-olah tidak terpaksa keluar dari rumah ini.

"Perkataan kamu bener kok Jen. Kakak memang udah banyak nyusahin kalian selama ini. Makanya Kakak mau bayar semua ke kalian dengan cara ini". Sahut Unaya yang membuat Jeni semakin merasa bersalah pada kakaknya.

"Kak? Jangan gini?". Mohon Jeni. Unaya menunduk untuk menatap Jeni.

"Terus Kakak harus gimana Jen?". Tanya Unaya balik.

"Unaya, semua pasti ada jalan keluarnya. Kamu gak perlu berkorban". Kata Sonia. Unaya beralih menatap Sonia dengan mata berkaca-kaca.

"Terus siapa yang mau berkorban kalau bukan Unaya Ma? Unaya gak mungkin biarin Papa tidur dilantai yang dingin sementara Unaya hidup enak. Siapa lagi yang bisa bebasin Papa selain Unaya Ma? Mama? Mama mau bebasin Papa? Mama aja gak peduli sama Papa! Mama bahkan tega tinggalin anak dan suami Mama! Mama enteng ngomong begitu karena Mama gak sayang sama Papa!". Teriak Unaya sambil terisak. Jeni pun ikut terisak karenanya. Kini gadis itu paham betul seberapa besar pengorbanan Kakaknya. Bahkan sampai rela mempertaruhkan kebahagiaannya hanya demi membebaskan Papa.

"Unaya... Mama...". Bahkan Sonia sampai tidak bisa menjawab apa-apa karena tertohok dengan perkataan Unaya. Sonia bukan bermaksud menganggap semuanya mudah, ia hanya tidak ingin Unaya gegabah dalam mengambil keputusan sebelum mencari jalan lain.

"Udah Ma! Jangan paksa Unaya untuk mengungkit kesalahan Mama dimasa lalu. Unaya gak mau nyakitin Mama". Unaya mengusap air matanya kasar.

"Aku pamit". Ujar Unaya, gadis itu melewati Jeni yang masih bersimpuh begitu saja. Juga melewati Sonia yang menatap Unaya penuh luka. Unaya dipaksa jahat oleh keadaan, Jeka yang mengamati kejadian dari lantai atas hanya bisa terdiam tanpa berniat ikut campur.

***

"Kak Jeka! Tunggu Kak!". Teriak Zara yang susah payah mengejar langkah Jeka. Jeka menoleh dan menarik sebelah alisnya, kode dari pertanyaan ada apa?

"Aku mau berkontribusi buat hidup Kakak". Ujar Zara dengan nafas terengah.

"Lo bisa langsung ngomong aja gak? Waktu gue sangat berharga masalahnya". Sahut Jeka malas. Ia masih dalam fase sedang galau-galaunya. Lagi pingin sendirian, kalau diajak interaksi tuh bawaannya mau misuh aja.

"Itu Kak, Kak Unaya dateng ke kampus bawa ajudan".

"Hah gak penting". Jeka hendak pergi namun ditahan kembali oleh Zara.

"Aku belum selesai ngomong". Jeka menatap tangan Zara yang menyentuh lengannya. Pemuda itu menepisnya kasar.

"Lo bisa gak, gak usah sebut nama cewek itu lagi. Gue mau move on!". Omel Jeka.

"Tapi aku tahu caranya buat bebasin Kak Unaya dari cowok itu Kak".

"Maksud Lo?". Zara buru-buru mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

"Papa aku pengacara terkenal, Hotman Sidney. Aku minta tolong untuk meninjau kasusnya Kak Unaya. Jadi aku kirim semua bukti kejahatan cowok itu ke Papa. Dan lihat deh Kak, ternyata cowok itu bisa dituntut dan kena pasal berlapis". Kata Zara menggebu. Jeka merebut kertas yang dibawa gadis itu. Jeka membacanya dengan cermat. Pemuda itu menatap Zara dengan tidak yakin, agak aneh melihat gadis yang ia anggap annoying ternyata cukup membantu.

"Gue pertimbangkan dulu. Thanks sebelumnya". Ujar Jeka masih mempertahankan sikap cueknya. Namun Zara tidak mempermasalahkannya, Jeka bilang makasih aja ia sudah bahagia bukan main.

"Jadi aku udah berkontribusi di hidup Kakak apa belum?". Tanya Zara memastikan.

"Berhasil aja belum udah minta pengakuan aja. Tapi ini bokap lo stand by kan kalo semisal gue butuh bantuan?".

"Selalu siap kok Kak. Calling aku aja". Sahut Zara sambil menunjukkan gestur telepon. Jeka manggut-manggut, jeblosin Guan ke penjara seru juga. Ia tidak perlu mendiskusikan hal ini pada Unaya, toh gadis itu saja tidak pernah menanyakan pendapatnya kok. Setidaknya Zara memberikan secercah harapan padanya. Tidak ada salahnya berharap pada kemungkinan terkecil sekalipun.

"Oke gue tandain Lo, Zara kan?". Tanya Jeka. Zara langsung mengangguk dengan antusias, asyik diinget namanya sama Jeka.

Sementara itu Unaya nampak risih saat ajudan Guan mengikutinya kemanapun kakinya melangkah. Ini lho dia bukan bayi yang harus selalu diawasi, malu lah pasti. Rasa-rasanya Unaya mau menghilang dari bumi saja, semua rumor tentangnya sudah pasti tersebar dimana-mana. Tak heran kalau orang-orang menjadikannya pusat perhatian. Jika semua anak kampus menjauhi Unaya, namun tidak untuk Ririn. Sesalah-salahnya Unaya, tetaplah Jeka yang salah. Siapa suruh udah dikasih celah buat nyentuh Unaya tapi ditolak, hayooooo?

"Memancing ikan di air jernih, rame bener nih". Ujar Ririn sambil menatap lima ajudan yang menjaga Unaya kemudian berbisik ditelinga sahabatnya.

"Mereka siapa? Lo udah seterkenal itu ya sampai dijagain bodyguard?". Tanya Ririn.

"Bukan! Itu tuh ajudannya Guan, disuruh jagain gue biar gak kabur katanya". Sahut Unaya. Gadis itu bahkan sudah pasrah diperlakukan bagaimana pun oleh Guan. Bahkan sampai dijaga ketat seperti ini.

"Gilak! Posesif banget. Ini aja Lo belom jadi istrinya, dia sebegini posesif nya. Gimana kalo udah jadi istrinya? Dikerangkeng kali ah". Komentar Ririn. Orang kalau terobsesi itu ngeri, bahkan sampai menghalalkan segala cara demi kepuasannya.

"Ya mau gimana lagi Rin, demi bokap gue". Kata Unaya sendu. Ririn jadi ikut sedih, gadis itu merangkul Unaya.

"Gue udah denger kok ceritanya. Meski semua orang tahu lo yang salah, tapi bagi gue Lo bener. Jeka yang salah! Dia tuh lambat banget bergeraknya. Harusnya setelah Lo balik, langsung bawa ke pelaminan. Eh dia malah sok-sokan ngomong; nikah itu gak gampang bla... Bla... Blaa... Ya iyalah yang gampang tuh maen ketapel. Hah! Kesel gue!". Celoteh Ririn panjang lebar berhasil membuat Unaya ngakak. Makasih Ririn baru hari ini lho Unaya bisa ketawa ngakak :')

"Hahaha. Udah ah Rin, Lo kalau ngomong ngaco deh. Gue malah merasa bersalah udah nyakitin Jeka lagi". Keluh Unaya.

"Gak apa-apa Na, itung-itung Jeka belajar gercep. Kesempatan gak dateng dua kali, dan dia selalu melewatkannya".

"Iya sih, Lo bener juga".

"Daripada Lo galau merana, mending kelar kuliah kita nonton! Yuk!". Ajak Ririn.

"Aduh tapi kan, ada...". Unaya melirik kearah ajudan Guan sebagai kode pada Ririn. Ririn yang paham pun langsung membulatkan jarinya menjadi bentuk 'oke'.

"Bapak-bapak sekalian, nanti saya mau ajak Unaya nonton. Kalian gak usah ikut ya? Mending ngopi-ngopi aja sambil baca koran". Kata Ririn.

"Maaf tidak bisa, kami diutus Tuan Guan untuk...".

"Oke-oke biar saya yang ngomong sama Tuan Guan, siniin hapenya!". Perintah Ririn.

"Tapi Mbak...". Tanpa banyak omong Ririn langsung merebut ponsel milik ajudan itu dan mencari kontak Guan.

"Halo Guan, cucunya pemilik pabrik roti Khong Guan! Just for information aja nih, gue nanti mau ajak Unaya nonton. Please suruh ajudan Lo pulang aja. Ini tuh waktunya para gadis". Cerocos Ririn padahal Guan belum sempat mengatakan 'Halo, ada apa?'.

"Gak bisa! Nanti Unaya bakal kabur".

"Gak bakal kabur! Dia mau kabur kemana coba? Rumah gue? Aduh beras mahal mana mampu gue ngasih makan Unaya. Kabur sama Jeka? Jeka-nya aja udah gak peduli".

"Jangan macam-macam kamu!". Ancam Guan.

"Heh! Berani Lo ngancem gue?! Gak mau tahu pokoknya suruh ajudan Lo pulang! Kalau enggak, gue potong titit-nya satu-satu!".

Pipppp!

Ririn mengembalikan ponsel yang ia bawa pada pemiliknya kemudian menarik tangan Unaya.

"Yuk, Na". Ajaknya. Ajaibnya ajudan Guan sama sekali tidak bereaksi saat Unaya pergi. Mereka takut titit-nya dipotong Ririn :(

***

Siguiente capítulo