webnovel

Masih Serangan Kedua

"Orang suruhan Guan itu kan ngincer gue, mumpung kita bertiga pake baju yang sama...". Jeka menepuk pundak Jimi dan Victor secara bergantian sebelum melanjutkan perkataanya.

"Kita bikin orang itu bingung. Kalian berdua pura-pura jadi gue dan alihin perhatian mereka sampai yang lain dateng". Lanjut Jeka. Kebetulan panitia ospek hari ini mengenakan seragam berupa hoodie. Jadi trik untuk mengecoh musuh sepertinya bisa berhasil.

"Oke Bos gue paham maksud lo. Kita bisa pake tudung hoodie-nya biar muka kita gak kelihatan". Sahut Victor.

"Dan lo Mario. Lo bisa pura-pura jadi musuh gue, arahin orang-orang itu biar makin bingung".

"Oke siap, tapi Jek gue mohon jangan libatin polisi. Kalo mereka ketangkep, otomatis gue juga kena". Pinta Mario. Jeka menatap Jimi dan Victor bergantian seakan meminta pendapat dua sahabatnya itu. Keduanya kompak mengangguk.

"Oke. Berarti hari ini mau gak mau kita harus bunuh mereka. Dan gue harap salah satu diantara kita gak ada yang tumbang". Ujar Jeka yang tidak yakin akan menang hari ini. Jujur sebenarnya ia tidak ingin melibatkan teman-temanya, tapi ia sangat membutuhkan bantuan mereka. Jimi dan Victor terdiam, mereka pun memikirkan nyawa masing-masing. Sekali timah panas itu mengenai bagian vital mereka, sudah dipastikan akan langsung mati ditempat.

"Gue gak maksa kok, Bro. Kalau kalian mau mundur, silahkan". Jeka yang menangkap gurat khawatir dari wajah dua sahabatnya itu melanjutkan perkataannya. Tidak apa-apa kalau Jimi dan Victor mundur sekarang, toh ini bukan soal solidaritas lagi. Masalah ini murni urusan pribadi Jeka, mereka sudah dewasa jadi banyak hal yang lebih diprioritaskan. Contohnya Victor, lelaki itu sudah punya anak dan istri. Sudah pasti bukan teman lagi yang ia utamakan, melainkan keluarga.

"Gue yakin kita bakal menang". Kata Victor yakin. Jimi dan Mario mengangguk setuju.

"Lo tenang aja Bos. Gue bakal pastiin kalian selamat. Ibaratnya nyawa kalian ada ditangan gue. Percaya sama gue". Ujar Mario meyakinkan sembari menepuk pundak Jeka beberapa kali.

"Thanks, Bro. Gue pasti bakal bales kebaikan kalian semua". Kata Jeka sungguh-sungguh. Jeka tidak pernah takut kehilangan harta sebanyak apapun itu, karena baginya harta yang tak pernah ternilai dan berharga adalah teman. Harta tidak akan membantu kita saat kesulitan, namun teman yang tulus akan selalu ada kapanpun saat kita membutuhkan.

"Santai, Bos".

"Gue telepon Unaya dulu ya, takut dia kepikiran". Pamit Jeka yang dibalas acungan jempol Jimi, Mario, dan Victor.

Jeka mencari tempat yang lebih privasi untuk menelepon Unaya. Ia hanya ingin memastikan jika Unaya dalam keadaan baik-baik saja. Jeka takut gadis itu diculik atau dicelakai orang suruhan Guan. Ia tidak boleh lengah, siapa tahu semua ini jebakan dari Guan agar bisa menculik Unaya saat ia tidak ada.

Tidak lama Jeka menunggu Unaya mengangkat panggilan darinya. Baru juga mau bicara pemuda itu sudah mendengar suara isakan dari seberang sana. Jeka memejamkan matanya, merasakan hatinya yang ngilu mendengar Unaya menangis. Bisakah Unaya tidak menangis karenanya lagi? Sudah berapa banyak air mata yang gadis itu teteskan hanya untuk menangisinya? Jeka takut Tuhan mengambil Unaya darinya karena ia hanya bisa membuat gadis itu menangis terus-menerus.

"Jeka, please balik! Kita bisa lapor polisi". Isak Unaya.

"Unaya tolong dengerin aku dulu. Aku enggak apa-apa, gak perlu lapor polisi. Aku pasti bisa lawan mereka. Aku telepon kamu bukan mau denger kamu nangis, aku mau minta kamu doain aku". Kata Jeka lembut. Mata pemuda itu sudah berkaca, entahlah mungkin ia sendiri pun tidak yakin akan menang. Jeka menatap pistol yang ia bawa, menggunakan benda itu saja ia belum pernah dan tidak mahir. Lagaknya mau membunuh kelompok bersenjata yang sudah terlatih.

"Jeka, bisa gak sih sekali aja gak bandel?! Kapan kamu pernah dengerin aku? Kamu emang seneng bikin aku kepikiran kayak gini". Omel Unaya namun suaranya lemah. Jeka meneguk ludahnya kemudian mendongak untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Unaya benar, Jeka selama ini bisanya cuma nyusahin dan bikin stress gadis itu. Hobinya membuat luka, minta maaf, kemudian membuat luka yang baru.

"Aku minta maaf. Aku janji ini yang terakhir, setelah itu aku bakal turutin semua kemauan kamu. Kalau aku gak lawan mereka, mereka akan terus usik kita Na. Aku cuma mau hidup tenang sama kamu, selamanya...". Ucap Jeka sekuat mungkin menahan suaranya yang mulai bergetar. Unaya terenyuh mendengarnya. Gadis itu mulai berfikir jika telah menyusahkan banyak orang akibat keputusannya. Mulai dari papanya dan sekarang Jeka, besok siapa lagi?

"I love you, Unaya". Ucap Jeka lirih karena Unaya tidak menyahuti perkataanya. Agaknya gadis itu sedang berfikir, begitulah batin Jeka. Memang bukan perkara mudah merelakan orang terkasih bertaruh nyawa, Jeka memaklumi itu.

"Aku masih nunggu jusnya! Gak mau tahu nanti harus kamu sendiri yang anterin!". Rengek gadis itu. Jeka terkekeh, pemuda itu paham kode yang Unaya lemparkan. Gadis itu mengijinkannya berjuang demi cinta mereka dan memintanya kembali dengan selamat.

"Kalo nanti titip ke Jimi atau Victor boleh enggak?". Canda Jeka yang langsung membuat Unaya ngomel-ngomel.

"ENGGAK BOLEH! KALAU SAMPAI BUKAN KAMU YANG ANTERIN, AKU BAKAL BEN...".

"Love you, sayang...". Potong Jeka cepat-cepat sebelum Unaya mengucapkan kata benci. Ia tidak mau menjanjikan apapun sehingga ketika ia gagal, Unaya tidak akan membencinya seperti kalimat yang hendak gadis itu katakan.

"Love you too". Jawab Unaya dengan suara serak. Jeka tersenyum kecil mendengarnya.

"Makasih, kamu nambahin nyawaku satu. Aku tutup ya?".

"Jeka, kamu harus kembali dengan selamat. Aku mau nagih janji kamu untuk nikahin aku setelah lepasin Mas Guan. Aku udah berhasil lepas, jadi gak ada alasan untuk ingkar".

Pipppp...

Jeka terdiam ditempatnya, bahkan sampai Unaya menutup sambungan telepon. Pemuda itu menunduk dan setetes air mata meluncur dari sana. Jeka menangis bukan karena takut mati, melainkan ia takut tidak bisa menepati janjinya pada Unaya. Laki-laki yang dipegang ucapannya, tapi sedari dulu Ia merasa hanya mengobral janji. Jeka mengepalkan tangannya kuat-kuat, baiklah sekarang waktunya! Ia harus menang agar bisa menepati janji pada Unaya.

***

Sementara itu setelah menutup telepon dari Jeka, Unaya mulai sesenggukan. Zara, Jihan, dan Bebi yang sedari tadi menemani gadis itu dikamar, mulai mendekat. Mereka tentu khawatir dengan keadaan senior-senior mereka yang tengah menghadapi penembak misterius.

Tangan Unaya lemas, ponselnya jatuh begitu saja dilantai. Sumpah rasanya ia sudah tidak punya energi walau hanya untuk bernafas. Dadanya sesak menerima cobaan yang datang bertubi-tubi. Permata diciptakan dengan darah, keringat, dan air mata. Ia sudah melewati fase itu omong-omong, mungkin cobaan kali ini adalah sentuhan yang terakhir? Jika ia berhasil melewatinya ia akan bersinar dan kuat kan? Unaya berharap demikian.

"Kak Unaya yang kuat ya Kak, lebih baik kita berdoa untuk keselamatan mereka. Sekuat apapun lawan mereka, pasti akan kalah dengan kekuatan doa". Ujar Zara sok bijak. Ia saja kaget karena kalimat sebijak itu bisa keluar dari mulutnya.

Unaya menanggapi ucapan Zara dengan senyuman kecil, gadis itu bangkit dari ranjang dan bergegas mengambil wudhu. Ya, Zara benar hanya Tuhan yang bisa menolong mereka. Tidak ada yang mustahil jika Tuhan yang berkehendak. Unaya percaya pada keyakinannya.

Tling...

Zara mengambil ponsel Unaya yang tergeletak dilantai. Gadis itu tidak sengaja membaca tulisan di pop-up.

From: Mas Guan

Gimana? Masih keukeuh sama pendirian kamu? Nyawa cowok kamu itu udah diujung tanduk lho :D

Aku bakal terus usik kalian sampai kamu kembali kepelukan aku Unaya...

Zara membulatkan matanya, kok ada sih orang yang terobsesi sampai kayak gini. Ngeri deh! Bahkan nekat menghabisi nyawa orang lain. Apa gak takut dosa dan dipenjara? Pembunuhan berencana kan bisa dijerat pasal yang berat.

"Mas Guan itu cowok yang ada di video viral Kak Unaya bukan sih guys? Yang bentak-bentak Kak Unaya didepan hotel?". Tanya Zara memastikan.

"Iya deh kayaknya, yang malah Kak Unaya dikira open BO". Sahut Jihan.

"Lihat deh, nih cowok kayaknya yang kirim penembak misterius buat celakain Kak Jeka. Bentar-bentar gue screenshoot dulu". Kata Zara.

"Dia ini psikopat bisa dijerat pasal berlapis". Lanjut Zara sembari mengirimkan hasil screenshoot pesan ancaman Guan dari ponsel Unaya ke nomornya.

"Pembunuhan berencana, tindak kekerasan, meneror dengan ancaman". Katanya lagi.

"Kok lo tahu?". Tanya Bebi.

"Bokap gue pengacara Hotman Sidney, gue bakal kirim bukti chat ini ke beliau. Pasti bakal langsung diproses kalau seandainya Kak Unaya mau bawa kasus ini ke jalur hukum". Sahut Zara yang baru kali ini terlihat begitu keren. Bahkan Bebi dan Jihan pun sampai mengaga saking kagumnya.

--Ex-Bangsat Boys--

Jeka memberi kode pada Victor untuk keluar dari tempat persembunyiannya, pertarungan sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Mereka masih terus menggoda kelompok bersenjata itu, mengecoh dan membuat bingung. Victor berlari secepat kilat, pindah ketempat persembunyian yang lain. Salah satu penembak itu sudah hampir menarik pelatuknya namun Jeka keburu lari dari arah lain hingga membuatnya kebingungan.

"Ada yang aneh gak sih? Target kita siluman? Cepet banget larinya". Mario tersenyum dibalik penutup wajah yang ia kenakan.

"Dia bukan siluman, kalian aja yang bego". Batinnya.

"Fokus aja Bang, wajar namanya juga hutan. Mungkin itu penunggu sini yang mau gangguin kita". Komentar Mario menakut-nakuti. Seseram-seramnya pekerjaan seseorang, pasti takut juga sama yang namanya hantu.

"Ah, jangan bercanda lo!". Tuh kan dibilangin gak percaya.

"Bang, itu orangnya disana...".

Dorrrrr!!!

"Ah... meleset!". Umpat salah satu penembak yang baru saja melepaskan tembakan.

"Akh... sial". Ringis Jeka sambil menyentuh dahinya, nyaris kepalanya tertembak. Untung ia gesit hingga peluru itu hanya menyerempet ke dahinya. Meski efeknya sobek dan mengeluarkan banyak darah.

Jimi menanyakan keadaan Jeka lewat gerakan bibir, pemuda itu menjawabnya dengan acungan jempol pertanda baik-baik saja. Sementara itu Victor memberi kode pada Jeka untuk menembak kaki salah satu penembak itu mumpung sedang lengah.

Jeka mengangguk, pemuda itu mengintip dari balik pohon. Ia melihat tiga orang dengan pakaian serupa. Sial, kalau ia salah menembak bagaimana? Kalau Mario yang ia tembak, celaka sudah. Melihat Jeka yang tidak bertindak cepat, Jimi dan Victor mendesaknya. Saking nyaringnya suara dua pemuda itu, perhatian para penembak beralih kearah tempat persembunyian mereka.

"Suara siapa itu?!".

"Shit!". Umpat Jeka. Pemuda itu mengarahkan pistolnya kedepan, kearah tiga orang yang tidak bisa ia bedakan itu. Matanya menelisik tajam, please Mario kasih kode atau sekedar menatap kearahnya. Jeka menarik pelatuknya perlahan, jujur ia masih bimbang hendak melepaskan tembakannya kearah mana.

Gotcha!

Matanya dan mata Mario bersiborok, Jeka tanpa ragu melepaskan tembakannya.

Dorrrrr!!!!

"Akh!!!". Pekik salah satu penembak yang kini jatuh terperosok ke tanah dengan kaki bersimbah darah. Pistolnya juga jatuh ke tanah, penembak yang lain langsung melepaskan tembakan kearah Jeka. Beruntung Jeka bisa menghindar.

Dari belakang Mario memukul pundak penembak itu dengan balok kayu hingga terjerembab ke tanah. Mario tersenyum puas, pemuda itu hendak menghampiri Jeka namun kakinya sudah lebih dulu ditembak oleh penembak yang terluka tadi.

"Sial!". Umpat Mario sambil menahan darah yang terus keluar dari kakinya. Penembak yang dipukul balok kayu mulai bangkit, ia meraih pistolnya dan ia todongkan kearah tempat persembuyian Jeka. Pemuda itu menahan nafas, ia memejamkan mata menahan sakit didahinya. Keringat sudah bercucuran wajah pemuda itu. Begitu pula dengan Jimi dan Victor, keduanya sama penatnya seperti Jeka. Tenaga mereka sudah terkuras habis. Mereka tidak bisa mengulur waktu lagi, antek-antek yang lain pasti memerlukan waktu sedikit lebih lama untuk menyusul mereka.

"Keluar kamu sekarang! Atau saya bunuh penghianat ini!". Ancam penembak itu sembari menatap bengis ke arah Mario. Jeka tersenyum sinis, siapa takut! Toh ia membawa senjata juga. Jimi dan Victor hendak melarang Jeka namun pemuda itu keburu keluar dari tempat persembunyiannya.

"Kira-kira siapa yang mati lebih dulu?". Desis Jeka sembari menodongkan pistol kearah penembak itu. Ia melangkah maju tanpa ragu, namun si penembak itu justru melangkah mundur. Agaknya takut karena Jeka membawa senjata juga. Ia tidak mengira bakal terpojok.

"Takut lo? Hhhhhh... katanya penembak handal, heummm...". Ejek Jeka. Pemuda itu siap menarik pelatuknya. Semua tergantung kegesitan dalam melepaskan tembakan. Posisinya satu sama, kalau Jeka lebih cepat, penembak itu yang akan mati, sebaliknya kalau penembak itu lebih cepat maka Jeka-lah yang akan mati.

"Turunkan senjata kamu, permudahlah urusan saya". Ujar penembak itu dengan suara bergetar. Jeka agak goyah begitu melihat mata penembak itu berkaca-kaca.

"Kenapa? Saya juga mau mempermudah jalan hidup saya. Saya harus bunuh kamu agar hidup saya tenang". Sahut Jeka yang semakin mendekat kearah penembak itu.

"Saya bekerja untuk mereka dan saya mempertaruhkan nyawa mereka demi menyambung hidup". Penembak itu mengambil foto anak dan istrinya dari dalam saku jaket. Penembak itu dipekerjakan dengan menjadikan keluarganya sebagai jaminan. Ia harus berhasil melenyapkan target dan akan mendapat bayaran besar setelahnya. Namun jika gagal, nyawa keluarga sebagai gantinya.

Perlahan tangan Jeka turun, ia tidak sanggup melihat senyum keluarga kecil itu dan terganti menjadi tangisan. Meski ia lebih tidak sanggup lagi ketika melihat tangisan Unaya. Namun anak kecil adalah kelemahannya, anak kecil yang suci dan tidak tahu apa-apa. Bahkan ia tidak tahu pekerjaan haram bapaknya. Ia tidak tahu jika selama ini makan dari darah orang yang bapaknya bunuh.

"Gak! Si Bos gak boleh luluh, sial". Umpat Victor sembari mengusap air matanya kasar.

"Kalau begitu...". Ujar Jeka menggantung, ia seperti hendak menyerah. Benar-benar menurunkan senjatanya. Penembak itu juga sudah siap melepaskan tembakan kearah jantung Jeka. Dan...

Dorrrr!!!

Jeka melepaskan tembakan tepat dikaki penembak itu.

"Lebih baik tidak ada yang mati diantara kita. Saya juga harus hidup demi orang yang saya cintai". Ujar Jeka kemudian merebut pistol dari tangan penembak itu. Jimi, Victor, dan Mario bernafas lega. Mereka kira Jeka akan pasrah begitu saja, tapi mereka lupa siapa itu Jeka. Mana mungkin leader Bangsat Boys rela mati semudah itu?

"Soal Guan biar jadi urusan saya, dan soal duit itu gampang. Yang penting kamu doakan saya biar bisa dapet anak lucu-lucu seperti anak kamu". Penembak itu menangis dan bersimpuh dibawah kaki Jeka. Ia bersyukur karena Jeka tidak membunuhnya meski sebenarnya mampu. Jeka juga tidak semudah itu melenyapkan nyawa orang lain. Orang berindak kriminal pasti ada alasan. Karena pada dasarnya semua manusia itu baik, mereka dilahirkan dalam keadaan masih suci. Termasuk Guan, ia adalah orang baik yang tersakiti. Pernah dengar kan kalimat orang jahat sebenarnya bermula dari orang baik yang tersakiti?

"Bos, lo baik-baik aja kan? Dahi lo, anjir!". Pekik Jimi. Jeka begitu mengenaskan, darah didahinya terus mengalir hingga memenuhi separuh wajahnya.

"Enggak, gue gak papa. Yang penting mereka bertiga bawa kerumah sakit dulu. Ini anak-anak yang lain belum dateng juga?". Oceh Jeka yang justru mengkhawatirkan penembak suruhan Guan.

"Bentar, gue hubungin lagi...".

"BOS! BOS JEKA!!! GUE BAWA PISTOL BAPAK GUE NIH!". Baru juga Victor hendak menghubungi teman-temannya, mereka sudah datang dengan tergesa-gesa. Jeka, Jimi, dan Victor menghela nafas malas. Telat anjir!

"Udah selesai perangnya! Telat lo. Tuh pistol buat nembak Babi aja". Oceh Jeka.

"Mana babi-nya?". Tanya Jaerot sambil celingak-celinguk.

"Noh yang lagi ngomong". Sahut Jeka cepat.

"Pfffttttt...". Yang lain menahan tawa sementara Jaerot manyun. Ganteng begini lho disamain kek babi :(

"Bawa nih mereka ke rumah sakit". Perintah Jeka sebelum berlalu pergi diikuti Victor dan Jimi. Antek-antek Jeka langsung sigap. Mereka memapah Mario dan dua penembak itu menuju pemukiman.

"Jadi gimana Bos, bakal ada serangan balik?". Tanya Jimi memastikan.

"Kasih jeda beberapa hari dulu lah, capek gue cosplay jadi aktor film Action mulu. Mau genre romance bentar". Sahut Jeka yang membuat Jimi dan Victor terkekeh. Sumpah Jeka ingin segera bertemu Unaya, ingin memeluk sang gadis dan menyadarkan tubuh lelahnya dibahu gadis itu.

"Nanggung Bos, gak sekalian genre Mature aja?". Canda Victor. Jelas mendapat jitakan maut dari Jeka. Kalau genre yang satu itu sih cuma Jeka dan Unaya saja yang tahu.

"Mulut lo minta dibuang ke tempat sampah!". Omel Jeka sadis.

"Waduh kasihan Mamah dong ntar kalo minta cium bau sampah". Gumam Victor sambil menyentuh mulutnya sendiri. Ketiganya terkekeh, alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup sama Allah. Dulu kalau kelahi cuma saling tonjok sambil bawa parang, sekarang lawannya sudah beda level. Gila, pengalaman yang tak terlupakan.

--Ex-Bangsat Boys--

Siguiente capítulo