Jeka menunggu Unaya sampai selesai taken kontrak kerja di perusahaan Jun, kira-kira sekitar empat jam kemudian mereka pulang bersama. Akhirnya Unaya menyetujui bergabung dengan Jun Hit Entertainment dan menjadi the one and only artis yang bernaung di sana. Awalnya memang Unaya menolak keras karena tidak yakin agensi yang dipimpin Jun akan membuatnya kembali bersinar. Namun penawaran Jun membuatnya tergiur, poin-nya adalah ia bebas melakukan apapun dan agensi tidak akan menjerat Unaya dengan pasal-pasal yang merepotkan. Jadi gadis itu akan beraktivitas sesuai dengan kemauan dan minatnya saja, asal tetap konsisten.
Kebetulan di agensi sebelumnya Unaya tidak mendapatkan kebebasan itu, ia bak sapi perah yang diambil susu-nya. Setelah tidak menghasilkan, ia ditendang. Sementara di agensi Jun menerapkan sistem kekeluargaan, ya semoga memang seperti itu. Karena menurut Unaya tidak ada yang namanya keluarga di dalam bisnis.
Kembali pada dua sejoli yang tengah menyusuri jalanan kota sore ini. Saling tertawa dan bercanda satu sama lain, kadang-kadang Unaya memukul pundak Jeka pelan karena salting di gombalin pemuda itu. Dibalik canda tawanya sebetulnya Jeka sudah mati-matian menahan lambungnya yang perih ini gara-gara kejadian lemon tempo lalu dan kesibukannya akhir-akhir ini menyiapkan ospek, tidak mau mengeluh pada Unaya karena takut merepotkan. Jeka sudah biasa kok menahan sakit sendirian. Nahan sakit ditinggal tunangan aja bisa, masa nahan sakit lambung gak bisa. Kalau bagi Jeka sakit lambung lebih sakit daripada sakit hati wkwk.
"Na, kita nepi bentar ya". Kata Jeka dengan suara lirih. Unaya bingung karena Jeka tiba-tiba menepikan motornya dipinggir jalan, apalagi setelahnya pemuda itu langsung turun kemudian jongkok ditrotoar.
"Jeka, lo kenapa? Muka lo pucat Jek". Unaya jelas khawatir karena bibir Jeka memutih, pemuda itu juga keringat dingin tapi sok kuat. Jeka menahan tangan Unaya yang hendak menyentuh dahinya, pemuda itu memaksakan senyumnya agar sang gadis percaya jika ia baik-baik saja.
"Gak kok gue gak apa-apa cuma mau istirahat bentar, eh apa lo balik naik taksi aja? Gue cariin taksi ya?". Dengan susah payah Jeka bangkit dari posisinya dan hendak mencarikan taksi untuk Unaya, namun tentu saja Unaya langsung mencegahnya.
"Kalau sakit tuh bilang, dasar sok jagoan!". Omel Unaya sembari meninju perut Jeka.
"Aw! Perih anjir!". Omel Jeka balik sambil menekan perutnya dengan tangan.
"Eh? Sorry, sorry. Mana yang sakit?". Unaya sontak panik melihat Jeka kesakitan begitu. Jeka tentu saja girang bukan main karena Unaya terlihat sangat mengkhawatirkannya. Duh Jeka rela deh sakit setiap hari biar dikhawatirin Unaya.
"Sini duduk dulu, tolong hubungin Jimi atau Victor ya. Gue kayaknya gak kuat deh kalau mau bawa motor". Keluh Jeka sambil menarik tangan Unaya untuk duduk ditrotoar.
"Biar gue aja yang bawa motor". Jeka langsung menatap Unaya horor. Yang bener aja Unaya bawa motor gedhe, apa gak nyungsep?
"Bercanda lo Una Frozen? Mendingan gue masuk rumah sakit karena asam lambung ketimbang berakhir dikuburan karena diboncengin lo. Udah buruan hubungin Jimi atau Victor, gue udah gak kuat". Jeka mulai manja, pemuda itu menyadarkan kepalanya dibahu kecil Unaya. Paham jika bukan waktunya untuk berdebat, Unaya pun langsung menghubungi Jimi sesuai dengan titah Jeka.
"Aku yang minta maaf walau kau yang salah~~~". Jeka menatap kearah pedagang gethuk yang melewatinya dengan gerobak. Pemuda itu terus memperhatikan karena lagu yang diputar pedagang begitu menarik perhatiannya.
"Aku kan menahan walau kau ingin pisah~~".
"Karena kamu penting, lebih penting. Dari semua yang ku punya~~". Jeka tersenyum tipis. Duh lagunya kok mewakili isi hatinya banget.
"Kenapa?". Tanya Unaya karena Jeka senyum-senyum sendiri.
"Lagunya bagus". Sahut pemuda itu yang membuat atensi Unaya ikut teralihkan.
"Jika kamu salah aku akan lupakan, meski belum tentu kau lakukan yang sama~~~".
"Karena bagiku kamu lebih penting, dari egoku~~~". Unaya tersenyum tipis kemudian kembali menatap kearah Jeka.
"Lebih dari egoku?". Tanya gadis itu karena mengetahui lagu yang dinyanyikan artis cantik tersebut.
"Hem. Isi hatiku tersampaikan". Jeka dan Unaya terkekeh. Beberapa detik kemudian tawa Unaya pudar, gadis itu mengatakan sesuatu yang sukses menciptakan kecanggungan.
"Tapi lo gak nahan pas gue minta pisah. Kenapa?". Unaya benar-benar penasaran dengan sikap Jeka dimasa itu. Apakah Jeka tidak peka kalau Unaya sebetulnya ingin diperjuangkan? Jeka terdiam, sontak bingung. Tentu saja Jeka punya alasan tidak menahan Unaya waktu itu, meski alasan itu jelas ia sesali.
"Iya itu emang salah gue, gak mau berjuang lebih. Terlalu pengecut, gue aja malu sama diri gue sendiri". Sahut Jeka sembari tersenyum miris. Unaya langsung memeluk Jeka dari samping. Jeka tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, kesalahan hanya perlu diperbaiki.
"Udah gak apa-apa. Kita berjuang bareng ya". Hibur Unaya. Unaya pun kini sadar jika didalam sebuah hubungan bukan hanya satu pihak saja yang berjuang, tapi keduanya. Dulu Jeka yang selalu berujang untuknya, kali ini Unaya mau coba berjuang boleh kan?
--Ex-Bangsat Boys--
"Mau kemana?". Tanya Juwi begitu melihat Jimi hendak berlalu setelah menerima telepon sedetik yang lalu. Pemuda yang memasukan ponselnya kedalam saku celemek itu menatap Juwi dengan raut cemas.
"Bos lagi dalam keadaan darurat satu". Sahut pemuda itu.
"Hah?". Juwi sontak bingung, belum mampu mencerna maksud perkataan Jimi.
"Asam lambungnya si Bos kambuh, tahu sendiri kan kalo udah parah bisa langsung tepar dan berakhir di rumah sakit. Gue cabut dulu". Setelah pamit pada Juwi yang masih mencerna perkataanya barusan, Jimi langsung bergegas ke ruang pegawai untuk ganti baju.
Setelah mengingat-ingat peristiwa yang lalu disaat Jeka sering tepar karena kelelahan, awalnya Juwi ingin sekali ikut dengan Jimi untuk melihat keadaan Jeka secara langsung. Namun begitu mengingat wajah Unaya yang selalu sinis padanya, membuatnya urung. Tidak mau membuat suasana runyam dan takut Jeka tambah sakit, Juwi akhirnya memutuskan untuk memesan beberapa makanan via Go Food dan dikirimkan ke rumah Jeka.
"Huft... lagian cuma sodara kembar kenapa segitu posesifnya sih?". Gerutu Juwi sambil manyun. Demi Allah deh Juwi gak ada niat mau suka atau rebut Jeka kok. Pingin jelasin ke Unaya tapi tiap ketemu aja udah dijudesin.
"Lo sepemikiran sama gue ternyata Kak, lagian ya cuma sodara kembar tapi posesifnya udah ngalahin seorang istri". Juwi membulatkan matanya, kaget tahu-tahu sudah ada salah satu pegawai julid nan tengil bernama Karina yang berdiri disampingnya.
"Sejak kapan lo disini? Dapur udah beres?". Tanya Juwi yang sengaja mengalihkan permbicaraan, kentara sekali gadis itu panik karena diam-diam ketahuan julid. Duh bukan Juwi banget pokoknya. Karina tersenyum miring kemudian menahan tangan Juwi yang sedang sibuk mengelap meja.
"Gue tuh tahu semuanya Kak, semuanya". Ujar Karina terlihat mengejek. Juwi memasang wajah datar kemudian bersedekap dada, menatap gadis culas didepannya ini lurus-lurus.
"Maksud lo soal gue sama Jeka?". Tanya Juwi langsung, sebenarnya gadis itu sudah tahu sifat Karina. Sudah pasti gadis itu bakal menyiram minyak kedalam kobaran api atau sengaja menyulut api. Hmmm bahkan menambahkan bumbu dalam sebuah hidangan.
"Gak usah munafik deh Kak. Cowok-cewek yang sedekat nadi gak mungkin salah satunya gak punya rasa". Kata Karina mengompori. Tidak tahu apa tujuannya, yang jelas gadis kecil itu memang suka ikut campur urusan orang lain.
"Gila aja. Gue gak sedeket itu sama Jeka!". Sahut Juwi cepat kemudian melanjutkan pekerjaannya. Maaf, Juwi bukan tipe orang yang suka membuang-buang waktu dengan bergosip ria.
"Cih! Gak seru banget sih tuh orang, gue tuh mau ngelihat keributan! Gak sabar lihat salah satu dari kalian nangis-nangis karena Bos Jeka". Gerutu Karina dalam hati sembari menghentakkan kakinya sebal.
--Ex Bangsat Boys--
Setelah Jeka diantar pulang oleh Jimi, Sonia langsung memanggil dokter untuk datang kerumah. Sonia terlihat sangat cemas namun Unaya tidak mengerti kenapa wanita itu demikian. Jeka sakitnya separah itu kah?
"Ma, emang Jeka sakitnya parah banget ya? Dia kan cuma sakit lambung". Cicit Unaya takut-takut. Sontak saja Sonia menatap Unaya tidak suka.
"Cuma? Jeka kalau asam lambungnya kambuh bisa sampai opname Unaya. Mama khawatir banget karena penyakit itu lumayan bahaya, kamu jangan asal gampangin kayak gitu". Unaya menggigit bibirnya karena Sonia benar-benar marah.
"Ihhhh... Mama gak gitu, maaf". Rengek Unaya yang membuat Sonia luluh. Wanita itu menarik nafas panjang kemudian merangkul Unaya.
"Kasihan Jeka sakit asam lambung kayak gitu gara-gara kamu tinggal tunangan loh". Ujar Sonia jujur.
"Hah?". Sonia menjitak dahi Unaya dengan gemas.
"Tega banget sih ninggalin Jeka sampai dia jadi mogok makan. Tiap hari asupannya cola sama rokok, sehat banget gak tuh?". Cerita Sonia. Jeka tentu pernah berada difase sedang hancur-hancurnya, apalagi saat Unaya bertunangan dengan orang lain. Jadilah sakit asam lambung yang jadi kenang-kenanganya.
"Ya maunya sih gak gitu Ma. Tapi tahu sendiri kan Papa tuh orangnya kayak gimana? Mana bisa Una nolak Ma, Papa juga kayak gak suka gitu sama Jeka". Curhat Unaya dengan wajah sedihnya. Sonia yang paham bagaimana perasaan putrinya pun mengusap-usap pundaknya pelan.
"Mau gimana lagi, kamu terlalu nurut sih. Jadi Papa kamu semena-mena kayak gitu".
"Loh Mama kok malah seakan-akan nyuruh Unaya buat gak nurut sama Papa". Protes Unaya.
"Ya iyalah, Mama kan tim Unaya-Jeka! No debat!". Sahut Sonia tanpa ragu. Unaya dan Sonia terbahak karenanya, dua perempuan itu tertawa sampai air matanya keluar.
"Jadi menurut Mama, Unaya harus nolak perintah Papa? Jadi anak pembangkang?". Tanya Unaya ragu. Sonia tersenyum tipis sembari mengusap rambut Unaya lembut.
"Bukan kayak gitu. Cuma kamu punya pilihan untuk nolak Unaya. Hidup kamu, milik kamu. Bukan milik Papa-mu atau Mama". Unaya tertegun menatap Mama-nya yang tersenyum lembut. Gadis itu paham maksud perkataan Sonia, hidupnya adalah milik dirinya sendiri, bukan orang lain. Ia yang berhak memilih dan menentukan, Unaya milik Unaya. Bukan Papa!
"Jadi kalau Unaya berjuang buat Jeka, boleh kah?". Ujar gadis itu yang langsung diangguki Sonia.
Dokter keluar dari kamar Jeka dan menjelaskan keadaan pemuda itu. Syukurlah Jeka tidak apa-apa, hanya perlu istirahat beberapa hari dan minum obat. Selepas dokter pergi, Unaya dan Sonia masuk kedalam kamar untuk melihat kondisi Jeka.
"Jeka, mana resep obatnya? Biar Mama tebus di apotek". Ujar Sonia begitu masuk kedalam kamar Jeka. Sementara itu Unaya berdiri kaku sembari menatap Jeka yang terlihat pucat. Gadis itu sedang meyakinkan diri untuk memperjuangkan Jeka. Jeka layak kan diperjuangkan? Sebenarnya Unaya takut melawan Papa-nya, tapi Unaya maunya sama Jeka. Kenapa sih orangtua harus rumit? Huft!
"Gak usah ditebus, obatnya udah ada". Sahut Jeka lirih, matanya terpejam lantaran menahan sakit.
"Jangan bercanda Jeka, kamu lagi sakit. Buruan sini biar kamu bisa minum obat". Kata Sonia dengan jengkel.
"Ck! Beneran udah ada obatnya Ma. Tuh!". Jeka menggedikan dagunya kearah Unaya yang masih betah bengong.
"Seharian sama dia di kamar pasti langsung sembuh. Jadi kasih waktu buat berduaan sama Unaya ya Ma". Pinta Jeka dengan manja. Sonia geleng-geleng kepala melihat kelakuan Jeka. Dasar bucin!
"Oke Mama kasih Unaya buat ngerawat kamu, tapi tetep ya harus minum obat". Sonia mengulurkan tangannya kedepan kode minta resep obat. Sudah pasti Jeka menyembunyikan resep pemberian dokter karena tidak suka minum obat. Jeka mendengus sebelum mengambil resep obat yang sudah ia buang dikolong ranjang, diberikanlah resep itu pada Sonia.
"Anak pinter...". Sonia mengacak-acak rambut Jeka sebelum berjalan kearah Unaya.
"Unaya, titip Jeka ya. Mama kasih tugas kamu buat ngerawat dia". Unaya mengangguk patuh dan menatap kepergian Sonia sampai hilang dari pintu. Setelahnya Unaya kembali menatap Jeka yang tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong, kode agar gadis itu duduk disana.
Tanpa membantah Unaya langsung menuruti permintaan Jeka, gadis itu duduk pinggir ranjang kemudian menatap Jeka lekat-lekat. Tangannya terulur untuk mengusap rambut pemuda itu, afeksi yang diberikan Unaya sukses membuat Jeka memejamkan matanya karena menikmati.
"Lo sakit gara-gara gue ya?". Cicit Unaya, Jeka membuka matanya perlahan. Ditatapnya Unaya yang memasang wajah sendu, Jeka langsung menggeleng tegas.
"Enggak kok, gak usah kepedean". Jeka menyentil dahi Unaya sambil terkekeh. Siapa sangka hal itu malah membuat Unaya menangis, bukan karena sakit disentil. Unaya menangis karena Jeka sebegitu berjuangnya, rela sakit supaya Unaya tidak marah. Gadis mana yang tidak melting dibegitukan?
"Eh? Sakit ya? Duh maaf-maaf. Jangan nangis dong". Kata Jeka panik. Pemuda itu hendak mengusap dahi Unaya namun ditepis oleh si empunya.
"Kenapa lo baik banget sama gue? Hiks...".
"Eh?".
"Kenapa lo rela sakit demi gue kayak gini? Hiks... gue tuh ngerasa jadi orang paling berdosa karena udah nyakitin orang baik kayak lo tahu gak? Lo udah ngelakuin banyak hal buat gue, tapi apa balesan dari gue. Gue malah....".
"Gue gak butuh balasan apa-apa Unaya! Lo hidup dengan layak dan bahagia, udah cukup buat gue!". Bentak Jeka karena benci sekali melihat Unaya menangis, apalagi jika itu disebabkan olehnya. Unaya bungkam, menatap Jeka dengan wajah basahnya.
"Dan faktanya gue gak bahagia". Ungkap Unaya jujur. Keduanya saling melempar tatapan penuh luka satu sama lain seakan menyalahkan keputusan mereka dimasa lalu.
"Kenapa? Guan punya semuanya, gak kayak gue...".
"Kalau gue bilang gak bahagia, ya gak bahagia! Paham gak sih?!". Bentak Unaya balik. Unaya sampai menangis pilu hingga Jeka harus susah payah bangun untuk merengkuh gadis itu.
"Stttt... iya-iya gue paham. Maaf ya, udah dong jangan nangis". Jeka mengusap-usap punggung Unaya, tidak mau gadis itu semakin histeris karena ketidakpekaan-nya.
"Gue tuh maunya sama lo, bahagianya cuma sama lo Jeka. Pinginnya cuma sama lo". Rengek Unaya sembari menarik-narik kaos Jeka.
"Iya ini kan Unaya sama Jeka, Jeka jadi milik Unaya saat ini". Sahut Jeka. Unaya mendongak untuk menatap mata Jeka, tidak mau lepas.
"Pagi, siang, sore, malam, dan selamanya Unaya cuma mau sama Jeka! Paham?". Usapan dipunggung Unaya terhenti. Anjir lah ini cewek kode minta ditikung. Begitulah batin Jeka.
"Lo mau gue gimana?". Tanya Jeka. Unaya merangkul leher Jeka kemudian mempersempit jarak.
"Tunggu gue lepasin Mas Guan dengan cara yang baik, terus lo lamar gue. Berani?". Tantang Unaya. Jeka
hampir saja tersedak begitu mendengar perkataan Unaya. Modal nikah tentu saja sudah ada, untuk berumah tangga kalau soal kebutuhan finansial sih beres. Hanya saja apa Unaya yakin dengan keputusannya?
"Oke, gue tunggu". Sahut Jeka mantap. Pada akhirnya pemuda itu mengabaikan resiko kedepannya. Ia hanya ingin mempercayai gadisnya, biar Unaya kini yang berjuang.
Good luck Unaya!
--Ex-Bangsat Boys--