webnovel

Alan Bernafsu Pada Luci

Di dalam kamar mandi Luci menemukan bath yang sudah diisi oleh busa yang menggunung dan melimpah. Busa yang terletak di dalam kamar mandi di mana dia berdiri sekarang ini juga dilengkapi dengan wewangian mawar.

Bagi siapa pun yang memakai ruangan ini untuk bercinta maka mereka itu beruntung sebab ruangan ini sudah dipenuhi oleh wewangian yang semerbak berikut ranjang yang empuk dan sangat besar.

Belum lagi jika mereka ingin bermesraan dan berlama-lama di kamar mandi mereka juga akan menemukan kenyamanan di tempat itu sebab di kamar mandi ini semuanya sudah dipersiapkan dan disetting dengan sangat nyaman.

Luci juga mencium bau parfum yang menyengat di mana-mana. Aroma ini cukup kuat jika dibandingkan dengan aroma mawar di depan dan di beberapa sudut di kamar mandi ini.

Lantas Luci pun mengedarkan pandangannya demi memenuhi rasa penasarannya yang tinggi. Gadis itu memeriksa satu persatu benda berupa sabun dan shampoo yang berderet di salah satu ujung.

Dengan itu barulah Luci tau bahwa bau menyengat itu berasal dari salah satu sabun berdesain mewah yang berwana merah. Akhirnya Luci memutuskan untuk membawa sabun itu.

Setelah meletakkan sabun wangi itu di atas lantai tak jauh dari tempatnya berdiri Luci pun melepas gaun milknya. Setelah itu satu persatu Luci melepas payudara imitasi berikut bokong imitasi yang terpasang pada tubuhnya.

Sekarang di tubuh Luci hanya melekat kaos tank top berwarna hitam serta hot pants levis yang memperlihatkan pahanya yang kencang dan mulus itu. Untuk rambut curly yang menghiasi wajahnya di pesta tadi sudah satu paket dengan topeng wajah yang sudah dia lepas.

Selesai melepas semuanya Luci pun keluar sembari membawa sabun super wangi yang tersedia di kamar mandi itu.

"Kau tidak keberatan kan?" tanya Luci pada Alan dengan mengangkat sabun mandi di tangannya. "Aku suka baunya," lanjut gadis itu tanpa basa-basi.

Alan mengangguk untuk mempersilkan. Dari jauh lelaki itu menggelengkan kepala tak pecaya.

Seorang joki yang mendapat gaji besar di setiap job dan misi masih saja tergiur untuk membawa salah satu sabun dari gedung miliknya ini. Luci memang gadis yang unik.

"Kupikir kau bercanda soal semua ini. Tapi ternyata tidak. Kau bahkan bisa mendapatkan semuanya tanpa bantuanku sedikit pun," hela Alan tak pecaya.

Yang dimaksud lelaki itu adalah gaun dan segala macam perhiasan yang dikenakan oleh Luci demi penyamaran malam ini.

"Lamborgini itu milikmu, Boss," koreksi Luci mencoba mengingatkan. Memang Alan yang menyewakan lamborgini untuk Luci demi semakin meyainkan orang-orang bahwa Luci adalah salah satu kalangan elit..

"Hanya lamborgini," jawab Alan mengangkat bahu.

"Dan semua ini? Pesta dan semua dekorasi kamar ini?" Lagi-lagi Luci berusaha untuk mengingatkan pada Alan bahwa peran pengusaha itu juga berperan besar dalam kesuksesan rencana malam ini.

"Yah, hanya ini. Untuk kamar aku hanya ingin berjaga-jaga. Sia itu orangnya ulet. Dia akan menanyai apa saja yang kupersiapkan meskipun gedung ini milikku sendiri.

"Dia adalah wanita yang memiliki banyak cara. Dengan begini dia pasti akan percaya bahwa kau adalah kekasihku."

"Kita harus membuat ranjangnya berantakan kalau begitu," usul Luci sambil terkekeh.

"Jangan kau pikirkan soal itu! Akan kuurus semuanya nanti." Alan berbalik untuk mengambil koper yang dia sembunyikan di di dalam laci di samping tempat tidur berukuran king size yang bertaburan bunga mawar itu.

Luci pun segera mendekat dengan antusias. Sabun mandi di tangannya ia genggam erat-erat berikut semua perlengkapan penyamarannya malam ini.

Alan tersenyum dari jauh ketika melihat Luci mendekat seperti anak kecil.

Lalu lelaki tambun itu pun memutuskan untuk duduk di sofa yang mana masih teronggok topeng wajah milik Luci di atasnya.

Gadis itu segera bergabung dengan pengusaha itu yang saat ini sedang membawa bayarannya.

Lantas koper itu Alan letakkan dia atas meja kayu berpelitur halus itu. Tangan gembulnya membuka koper dengan pelan-pelan.

Setelah dua penutupnya terbuka seperti sebuah cangkang mutiara, di dalam koper itu nampaklah tumpukan uang yang berjumlah tak terkira. Luci yang melihat gaji sekaligus uang terbanyak di dalam hidupnya pun hanya bisa menganga. Uanganya banyak sekali.

"Semuanya untukmu," ujar Alan dengan sebuah senyuman tulus.

Luci terbatuk sendiri sebab akhirnya ia bisa melihat tumpukan uang sebanyak ini. Kebahagiaannya melambung tinggi sekali.

Gadis itu bingung bagaimana caranya menghitung uang-uang itu.

Sebagai sebuah kebiasaan, selama ini Luci selalu menghitung gaji yang diterimanya hanya demi pembuktian bahwa gadis itu mendapat bayaran yang pas.

Bukannya Luci tidak percaya bahwa kliennya akan menipu dan memberinya bayaran di bawah perjanjian, justru karena klien gadis itu sering memberi uang lebih Luci harus mengetahui berapa uang kelebihannya itu.

Sebagai informasi Luci hanya menerima tips maksimal 2,5% dari total bayarannya.

"Boss, bagaimana cara menghitung semua ini?" gagap Luci dengan kebingungan sekaligus kebengongan.

"Aku melebihkan jumlahnya," jujur Alan.

"Apa? Berapa? Boss tau kan aku tidak mau menerima tips di atas 2,5%"

"Tidak apa-apa. Aku tadinya bahkan ingin memberimu lebih jika kau mau.

"Kau satu-satunya pihak yang bisa membantuku melepaskan diri dari wanita itu," tulus Alan lalu bangkit dan berlalu untuk mengambil botol wine yang berada di meja yang lain. Lelaki itu menuangkan segelas wine untuk dirinya sendiri.

"Meski begitu dia tetap pernah menjadi pacarmu dan itu tetap masuk hitungan wajarku," ujar Luci dengan menghitung gepok demi gepok uang yang berada di dalam koper di depannya.

Ia tahu jumlahnya sangat banyak. Namun entah mengapa dia tidak ingin menyurutkan niat untuk menghitungnya. Dia penasaran, hanya itu.

"Yeah, kesalahanku bahwa aku pernah menerimanya dulu. Dia hanya mengincar harta dan memorotiku."

"Dia mengincar tubuhmu juga. Kau tau kan dulu tubuhmu itu sangat seksi," kekeh Luci dengan mata masih berfokus pada uang yang dihitungnya kini.

Alan mengangguk sembari meneguk wine miliknya dengan pelan dan menikmati.

"Hahhh, tapi aku senang jika klienku puas….Tapi sekali lagi, Boss, ini terlalu banyak untukku. Ini, aku kembalikan setengahnya," hela Luci mulai melepaskan beberapa gepok uang di dalam koper itu.

Sementara uang dengan jumlah yang sesuai dengan bayarannya gadis itu lesakkan ke dalam ransel yang sudah dipersiapkan oleh Alan sebelumnya.

Di dalam ransel itu juga Luci menjejalkan seluruh perlengkapan penyamarannya seperti perhiasan, gaun miliknya, dan juga barang-barang imitasi lainnya.

"Tidak, tidak, Lu. Terimalah! Sungguh terimalah!" Alan maju setelah meletakkan gelas miliknya di atas meja. Lalu tubuhnya yang tinggi dan tambun itu mendekat pada Luci.

Pupil mata Alan melebar saat melihat kecantikan alami milik Luci. Alan kini tengah menikmati betapa lebar dan hidup mata Luci, betapa runcing hidung Luci, betapa sintal dan penuh bibir Luci.

Lalu yang terpenting adalah betapa lekukan Luci bisa tercetak begitu indah dan seksi dalam waktu yang bersamaan.

Luci sepertinya paham apa yang sedang dilakukan atau yang sedang dipikirkan oleh Alan sekarang. Beberapa klien Luci sebelumnya nyatanya pernah memberinya misi tambahan setelah misi utama selesai.

Misi tambahan tersebut yakni pemuasan di atas ranjang.

Luci diharuskan bercinta dengan klien yang meminta misi tambahan itu sebagai imbalan atas bayaran ekstra yang diperoleh gadis itu.

Namun dengan tegas Luci menolaknya, oleh sebab itu dia begitu sensitive mengenai bayaran ekstra ini apalagi jika jumlahnya terlampau banyak.

Pekerjaan Luci di sini hanyalah untuk menjadi kekasih bayaran bukannya gadis pemuas kebutuhan ranjang.

"Maaf, tapi aku tidak seperti yang kau pikirkan," jelas Luci dengan senyum kecut setelah dia mampu menebak apa yang Alan inginkan darinya.

Padahal tadinya Luci berpikir bahwa Alan adalah satu-satunya klien yang berbeda dari klien-klien sebelumnya, Luci berpikir bahwa Alan tidak akan pernah mengincar tubuhnya. Namun ternyata dia salah.

Luci pun berniat untuk beranjak untuk pergi dari ruangan itu sampai akhirnya dia dihentikan oleh cekalan tangan Alan yang melingkar di lengannya yang ramping itu.

***

Siguiente capítulo