webnovel

~Trauma~

Sudah seminggu Dinda tidak masuk sekolah, bahkan hal itu membuat Nadya ikut-ikutan sering izin untuk tidak masuk sekolah. Pasalnya, Nadya menjadi satu-satunya keluarga bagi Dinda sekarang. Tidak ada yang bisa membantu cewek itu dari trauma, selain Nadya. Sebenarnya, dia ingin mengabari keluarga Dinda. Tapi sayang, Nadya tak punya kontak keluarga Dinda. Terlebih, cewek itu ponselnya dikunci dengan pola, ia bertanya beberapa kali tentang keluarga Dinda pun, Dinda tak menjawab.

Lagi, Nadya menghela napas panjang. Dia hanya bisa duduk di ranjangnya sambil melirik ke arah Dinda yang saat ini sedang berbaring memunggunginya. Ini sudah kali ke lima ia mengantar Dinda ke psikater, dan sampai hari ini pun dia tak mengetahui apa masalah Dinda. Yang ia tahu hanyalah, Dina pulang ke kos oleh Nathan mengenakan seragam olahraga milik Sasa, dan dengan kondisi tak sadarkan diri. Setelah itu Dinda tampak sangat histeris seperti orang kesurupan, membuat Nadya langsung membawanya ke psikiater. Meski Nadya pun tak menampik jika awalnya dia ingin membawa Dinda ke seorang dukun atau bahkan kyai karena takut jika Dinda barang kali kesurupan. Namun, setelah mendengar cerita dari Sasa, dan Nathan, Nadya akhirnya tahu, apa yang menjadi penyebab Dinda sampai sehisteris itu. Pasti, semua ini ada hubungannya dengan orang yang disebut sebagai 'Nji' yang Nadya tak tahu siapa sosok itu.

"Gimana kabar Dinda, Nad?" tanya Nathan.

Saat ini Nadya sudah berada di ruang tamu kos, duduk berdua dengan Nathan yang baru saja datang. Dia membawa beberapa makanan, kemudian diletakkan di atas meja.

"Mendingan sih, Nath... udah bisa tidur, dan udah lebih tenang dari sebelumnya," jawab Nadya. Dia bisa melihat ada rasa khawatir pada raut wajah Nathan. Rasa yang Nadya kira Nathan tak pernah mungkin bisa memilikinya.

"Kata dokternya gimana, trauma apa yang bikin dia sampai kayak gitu? Gue bener-bener penasaran?" tanya Nathan lagi.

Sejenak Nadya pun diam. Antara mengatakan hal yang sedari lama ia pendam, atau ia akan tetap bungkam. Kemudian, dia melirik ke arah cowok yang ada di sampingnya itu, yang kini mata abu-abunya sedang memandangnya lekat-lekat.

"Gue juga nggak tahu, Nath. Trauma apa yang ada di balik depresinya Dinda. Sebab, pihak psikiater pun menutup rapat-rapat. Hanya saja, semenjak Dinda pindah di sini, hampir setiap malam Dinda menangis. Kemudian dia mengigau, teriak ketakutan sambil memanggil nama 'Nji' entah siapa itu. Yang jelas dia bener-bener histeris banget, sampai kamar samping pada ngira kalau gue yang kesurupan."

"Nji?" tanya Nathan. Nadya pun mengangguk.

"Iya, gue juga nggak paham, dan nggak tahu siapa di balik nama itu," Nadya diam sesaat, kemudian ia memandang Nathan lekat-lekat. "Nad, lo bisa cabut tanda elo pada Dinda. Sebab dia nggak pantes lo tandain."

Nathan diam, dia tak lagi menanggapi ucapan Nadya. Sebab bayang-bayang jeritan histeris Dinda benar-benar melekat di dalam otaknya. Bahkan, menganggu tidur malamnya beberapa hari belakangan ini.

*****

"Din, gue boleh ngomong ama elo?" tanya Nadya hati-hati saat melihat Dinda yang sudah mau untuk sekadar duduk di ranjangnya.

Mata Dinda memandang Nadya dengan tatapan sendunya, kemudian dia menampilkan seulas senyum tipis.

"Maafin gue ya, Nad. Gue selalu ngerepotin elo. Dan soal konsultasi ke psikolog, nanti uangnya gue ganti, ya. Thanks, banget elo udah sudi ngurus gue."

Nadya langsung mendekat ke arah Dinda, kemudian dia memeluk Dinda erat-erat. Seperti merasakan rasa sakit Dinda, Nadya pun merasakan perih yang sama.

"Nggak apa-apa, Din. Gue bener-bener nggak masalah, dan elo nggak perlu balikin apa pun dari gue. Gue ikhlas. Hanya saja, gue bener-bener penasaran ama beberapa hal. Gue boleh bertanya ama elo?"

"Apa, Nad?"

"Apa trauma lo itu berhubungan dengan mimpi elo tiap malam itu, Din?" tanya Nadya hati-hati. Dia benar-benar takut, jika dengan membahas ini akan membuat Dinda down lagi.

Mata Dinda tampak melebar, dia seolah kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Nadya. Kemudian, dia tampak gugup, lalu dia pun menunduk.

"Iya, Nad. Ada hubungannya," jawab Dinda. "Tapi maaf, gue nggak bisa cerita lebih jauh lagi, Nad. Sebab, setiap kali gue ngebahas ini hati gue bener-bener hancur. Gue bener-bener nggak bisa Nad...," Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangan, sementara punggungnya sudah bergetar. "Kenapa Nathan tega sih, Nad, ngerjain gue dengan kayak gitu. Apa dia bener-bener ingin gue keluar dari sekolah?" ucapnya lagi, yang berhasil membuat Nadya terkejut.

"Din, elo salah paham...," kata Nadya mencoba menjelaskan. "Yang ngerjain elo bukan Nathan. Dia malah nolongin elo, Din."

"Tapi dia udah nandain gue, Nad. Dan apa yang dikatakan Selly, siswa yang ditandain Nathan bakal keluar dari sekolah dalam waktu tujuh hari."

"Elo salah paham, Din. Yang ngerjain elo bukan Nathan. Gue bisa jamin itu. Bahkan Nathanlah yang nolongin elo," kata Nadya lagi. "Yang ngerjain elo itu Gisel, dan antek-anteknya. Bukan Nathan.

"Tapi mereka adalah tiga pilar SMA Airlangga kan, Nad? Bukankah mereka temenan?"

"Enggak, elo salah paham. Percaya ama gue."

Dinda hanya bisa diam. Dia tak bisa mengatakan apa pun lagi saat Nadya berkata seperti itu. Cara Nadya meyakinkan Dinda, seolah-olah Nadya serius dengan hal itu.

"Bahkan, hampir tiap hari dia dateng ke sini, Din. Diem-diem nanyain kabar elo, dan bawain makanan buat elo. Dia adalah orang yang paling khawatir tentang elo."

Dinda menatap wajah Nadya, dia seolah tak percaya. Seorang Nathan khawatir dengannya? Tidak, itu pasti hanyalah rasa bersalah. Atau bahkan, karena Nathanlah yang melihatnya histeris waktu di ruang ganti itu.

Lagi, Dinda merasa menggigil setiap kali ia mengingat kejadian di ruang ganti sekolahnya. Apalagi, saat mengerikan yang Panji lakukan kepadanya.

Dinda memeluk tubuhnya sendiri yang tiba-tiba terasa dingin, bahkan kini keringat dingin membanjiri tubuhnya.

"Din, elo nggak apa-apa, kan? Mending lo istirahat deh, Din. Jangan mikir macem-macem," kata Nadya yang mulai panik.

Dia membaringkan Dinda, kemudian menyelimuti cewek cantik itu. Tapi, ketika Nadya hendak pergi, tangannya digenggam erat oleh Dinda.

"Nad, temenin gue tidur, ya. Gue takut tidur sendiri," pinta Dinda.

Nadya mengangguk, ia pun mengambil posisi tidur. Merengkuh tubuh Dinda yang sudah tidur dan memunggunginya.

Lagi, Nadya merasa sesak, melihat ada cewek yang begitu trauma seperti ini. Ini adalah kali pertama Nadya menyaksikan secara langsung, dan Nadya benar-benar tak tahu harus berbuat apa.

Paginya, Dinda sudah siap untuk kembali ke sekolah. Meski beberapa kali dia terus bertanya kepada Nadya apakah semua akan baik-baik saja? Bahkan, Nadya terus-terusan memberi semangat. Kalau perlu, ia akan ikut masuk di kelas Dinda sampai pelajaran selesai. Dengan secuil harapan itu, yang Nadya yakin jika Dinda lebih tahu dari siapa pun, jika itu semua tak mungkin. Dinda tetap mengangguk, percaya kepada ucapan Nadya yang memang terdengar begitu tulus.

Siguiente capítulo