"Kamu ini … suka sekali pura-pura tidak mengerti," balas sang Ibu.
"Bu—"
"Bawa ke kamar saja ya, Rea … Ibu sudah ada janji dan harus segera pergi," ujar sang sang Ibu, tidak ingin mendengar protes dari anaknya. "Al, ajak Rea ke kamar saja. Ibu belum rapikan ruang tamu."
Ibu Aldy berlalu, meninggalkan Rea dan Aldy berdua di dapur.
"Re, kamu tidak apa-apa?"
"Ibu kamu … mengira aku pacar kamu. A—aku sudah berusaha menyanggah, ta—"
"Ssst! Sudah, tidak apa-apa. Sini, aku bantu membawanya,"
***
Diam.
Rea hanya diam, tidak melakukan apapun, meski laptopnya sudah berada dalam microsoft.
Begitupun Rega, yang asyik dengan ponselnya. Terkadang ia tersenyum sendiri, menggelengkan kepalanya, hingga tertawa dan berakhir dengan permintaan maaf, karena sudah asyik sendiri dan mengabaikan Rea.
"Bagaimana kalau kita bahas program kerjanya, di kafe? Supaya lebih fresh," tutur Rega, memberikan alasan agar bisa pergi dengan Rea.
"Memangnya di rumahku terlalu membuatmu suntuk dan bosan?" tanya Rea, merasa tersinggung.
"Bukan begitu, Rea … anggap saja, ini kencan pertama kita."
Rea hanya menggelengkan kepalanya.
"Aku ganti pakaian dulu. Lima menit," ujar Rea, kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian.
***
Rega mengajak Rea ke sebuah kafe yang terletak tidak begitu jauh dari rumah Rea. Benar, Rega tidak lagi main-main. Ia mengambil alih laptop dan memberikan banyak ide dan juga gagasan untuk kemajuan divisi musik dengan berbagai rencana program kerja yang akan mereka laksanakan selama satu periode.
"Mungkin saat nanti diadakan pentas, kita buka ini untuk umum, bukan hanya dari organisasi seni saja. Agar seluruh mahasiswa dan bahkan dosen atau civitas yang ingin berekspresi, dipersilakan," terang Rega.
"Boleh juga ide kamu. Aku setuju, apalagi kalau setiap bulan dan kita adakan ini di setiap hari Jum'at, pasti banyak perkuliahan yang santai dan juga pasti banyak yang berlalu lalang di loby, usai jam makan siang," bala Rea.
"Kamu tahu Rea, musik ini adalah obat dikala kita suntuk, banyak beban pikiran, lelah—"
"Bukan hanya disaat susah dan tidak senang saja. Bahagia dan jatuh cinta juga, mayoritas orang pasti mengekspresikannya dengan lagu," tutur Rea memotong ucapan Rega.
"Pintar," ucap Rega dengan mengusap pelan pipi kiri Rea. "Pipi kamu … membuatku gemas," lanjutnya, kemudian mencubitnya.
"Rega! Sakit, tahu!" gerutu Rea menepiskan tangan Rega dan segera mengusap pipinya yang sakit karena dicubit oleh Rega.
"Jangan sedih lagi, ya," ucap Rega.
"Hm? Maksud kamu?"
"Perihal hubunganmu dengan Hans."
"O—ouh … itu, biasa saja," tutur Rea memalingkan pandangannya, seperti menyembunyikan sesuatu yang ditahannya.
"Aku memang berteman baik dengan Hans. Tetapi … Hans tetap tidak terbuka padaku mengenai kamu dan hubungan kalian. Kita semua tahu, kalau ia lupa dan tidak ingat padamu. Sangat tidak logis, tapi … kenyataannya memang seperti itu. Aku harap kamu dapat melepaskannya dengan rela," papar Rega.
Rea diam, masih membuang pandangannya. Tidak ingin menoleh pada Rega.
Rega menghela napas dan beranjak dari tempat duduknya.
Ia berpindah tempat duduk, ke sebelah Rea dan menarik kursinya lebih dekat dari Rea. Rega menarik kepala Rea dan merebahkannya di dada, memberi dekapan hangat nan lembut untuk Rea.
"Kamu bilang sendiri, kalau kamu sudah tidak sedih lagi. Aku minta, kamu jangan nangis, ya … malu dilihat banyak orang di kafe," ujar Rega.
"Aku tidak menangis," ucap Rea dengan isak.
"Tidak nangis, tapi terisak seperti itu."
"Rega …," rengek Rea, membalas pelukan Rega.
"Usssh … sudah jangan menangis, Rea … malu dilihat orang," pinta Rega.
Rea berusaha menahan tangisnya dengan mendekap tubuh Rega semakin erat.
"Sedang membuat program kerja … atau program ken—can?"
Rea membesarkan matanya. Ia segera melepas dekapan Rega dan sedikit mendorong tubuh Rega, pelan.
"F—ferdinan?!" tanya Rea, heran.
Ferdinan terkekeh melihat raut Rea yang terlihat begitu panik.
"Pantas saja aku datangi ke rumah, Mama kamu bilang kalau kamu sedang pergi. Kebetulan sekali aku dan Al datang ke kafe ini. Di sini ternyata kalian membuat program kencan," tutur Ferdinan, dengan kekehannya.
"A—aku dan Rega benar membuat program kerja. Ini hasilnya, ka—mu dan Al dapat melihatnya sendiri," ujar Rea menunjukkan laptopnya yang sudah berisi rancangan berupa tabel dan penjelasannya.
"Iya … iya … aku dan Al percaya. Kalau kamu dan Rega sedang membuat program kerja … untuk kencan, hahaha …," ejek Ferdinan, kali ini sedikit terbahak.
"Fer! Kamu selalu saja mengganggu—"
"Mengganggu kamu kencan?"
Ferdinan terus saja mengejek Rea dan membuat Rega dan juga Aldy hanya terdiam melihat dua sahabat yang selalu bertengkar jika dipersatukan.
"Kalau ingin ikut gabung, katakan saja. Tidak perlu bertele-tele mengejek seperti itu," gumam Rea menggerutu.
"Nah! Itu kamu tahu. Ayo Al, kita gabung bersama mereka!" seru Ferdinan segera mengambil tempat duduk, berhadapan dengan Rea dan Rega yang kini duduk bersebelahan.
"Maaf, ya Rea … Rega … jadi mengganggu," tutur Aldy.
"Tidak masalah. Kalian tidak mengganggu. Lagi pula, kita berempat sama-sama satu divisi. Kita bisa bahas program kerja ini bersama," balas Rega dengan sangat ramah. Di luar dugaan.
"Tidak bisa," jawab Ferdinan, mengerucutkan bibirnya sembari melipat tangannya di atas perut.
"Kenapa?" tanya Rega heran.
Sementara itu, Rea hanya menggelengkan kepala, sudah tahu kalau ada keusilan lagi yang akan dilontarkan oleh Ferdinan.
"Karena kalian membahas program kerja untuk kencan, sementara aku dan Al, tidak paham sudah sejauh apa pendekatan kalian berdua," jawab Ferdinan dengan raut yang serius.
"Boleh pukul kamu, tidak Fer …!" gerutu Rea mengangkat tangannya seraya hendak memukul.
Aldy hanya terkekeh, sudah kenyang melihat dua sahabat yang seperti tokoh kartun Tom and Jerry, itu.
Untung saja, Rega juga sudah kebal dan paham bagaimana sifat Ferdinan yang sulit diajak untuk berbicara serius. Di kelasnya, Ferdinan memang mahasiswa yang pintar dan sangat teladan. Tetapi saat di luar kelas, ia lekas berubah kepribadian, menjadi begitu menjengkelkan.
"Rega, jangan lupa … tugas malam ini dead line," ujar Ferdinan, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Aku sudah mengerjakannya, kamu tenang saja," balas Rega dengan senyuman angkuh.
Sejak hadirnya Ferdinan dan Aldy, Rea dan Rega tidak lagi melanjutkan pembahasan program kerja. Mereka justru tertawa dengan banyolan dari Ferdinan dan juga cerita masa sekolah Ferdinan dan Rea.
Sudah sangat bisa ditebak. Rea yang menjadi korban, menjadi bahan pembicaraan mereka. Ferdinan memang paling bisa mencari bahan pembicaraan, untuk membuat orang yang sedang dirundung masalah sekalipun, pasti akan ikut tertawa terbahak-bahak.
Itulah mengapa Rea tidak pernah marah ataupun tersinggung dengan umpatan ataupun guyonan yang dilontarkan oleh Ferdinan. Sesungguhnya itu semua hanya candaan, untuk sekedar menghibur agar tidak terlalu memikirkan beban hidup yang tidak pernah ada habisnya.