Paling menyebalkan adalah saling berjauhan lalu tidak bisa mengabari satu sama lain, sehari saja tidak bisa atau satu pesan pun sepertinya sulit. Betapa posesifnya Ami dan Anggara membuat Erik sulit bertanya kabar dengan Gendis langsung, ingin bertanya lewat mereka tapi segan. Mereka hanya akan menggoda Erik saja padahal bertanya kabar, memangnya salah? Erik bertanya kabar karena Gendis masih pekerjanya. Harusnya Gendis ada di sini menemani, mengurus Erik walaupun keadaan Erik setiap hari terus membaik. Seperti hari ini, sama halnya dengan cuaca sabtu siang yang begitu cerah dan panas.
"Hareudang ... Hareudang, panas, panas."
Spontan Erik menoleh, ternyata suara itu milik Nola— karyawan Erik. Terlihat perempuan itu belum berhenti menggunakan buku sebagai kipas angin, mengeluarkan udara untuk tubuhnya yang terasa panas. Cuaca Jakarta terkadang tidak bisa bersahabat dengan baik.
"Berisik Nola."
"Eh, iya, Maaf Pak." sahut Nola tidak enak padahal ia sudah mengecilkan suaranya.
Erik terkekeh padahal ia bercanda saja, Nola memang berbeda dengan karyawan lain. Perempuan itu tidak bisa diam, setiap bekerja selalu bernyanyi meski suaranya pas-pasan. "Lanjut Nola, suaramu bagus. Lebih bagus lagi diam."
"Dih, si Bapak! Menyebalkan sekali, suara saya mirip artis Pak."
"Artis tanah Abang?"
"Iya Pak, oh iya, Bapak mau minum?"
"Boleh, yang seger apa ya, Nola?"
"Yang seger melihat wajah pujaan hati Pak," Nola terkikik. Ini soal selera jadi Nola tidak tahu minuman apa yang seger menurut Erik.
"Kamu ini. Jus jeruk aja deh, sama kentang goreng ya,"
"Siap Pak! Tunggu sebentar." Nola berbalik meninggalkan Erik.
Kedatangan Erik hari ini adalah mulai kembali bekerja, memastikan sepuluh kafenya berjalan dengan baik. Memastikan laporan keuangan, laporan bahan-bahan pokok sesuai dengan pengeluaran yang ada dan juga mengecek kembali gaji karyawan. Hampir satu tahun tak bekerja rasanya ia seperti menjadi bos baru, canggung dan tidak tahu darimana ia harus bekerja kalau saja Pepen tak mengingatkan dirinya kalau dokumen laporan keuangan harus segera Erik periksa. Erik mengambil ponselnya hendak mengirimkan pesan pada Gendis.
Ndis kalau nggak ada Ami bilang, saya mau telepon. Kangen banget saya.
Hilang rasa gengsinya, hilang rasa malunya yang terpenting ia bisa mengirim pesan pada Gendis tentang keadaan hatinya saat ini. Sayangnya WhatsApp gendis ceklis satu yang artinya Gendis tidak mengaktifkan ponsel. Menyebalkan!
"Nola biasanya cewek suka apa selain bunga, cincin?"
"Dinikahin Pak, cewek suka dinikahin." jawab Nola sembari menaruh makanan dan minuman milik Erik.
"Selain itu. Serius dong, jangan bercanda."
"Iya ini serius Pak, tanya langsung Pak biar enak. Cewek itu kadang labil soal makanan kesukaan, barang kesukaan." jawab Nola
Erik mengira semua perempuan akan sama, ternyata berbeda. Benar kata Nola harusnya tanya langsung, sayangnya saat ini tidak bisa bertanya. Disela-sela menikmati jus jeruk dan kentang goreng miliknya— Erik kembali mengaktifkan ponsel— mengirim sesuatu pada Mawar.
Maw, kamu tahu barang, makanan kesukaan Gendis? -Erik-
Erik lega. Sepertinya Mawar sedang aktif, perempuan itu segera membalas pesan Erik.
Hai Mas Erik. Gendis suka mie ayam, kalau barang kurang tahu Mas. Oh iya, salam untuk Gendis.
Ok. Thanks Maw.
Erik kembali mengirim pesan kali ini bukan untuk Mawar melainkan adiknya— Fredella.
Aku nggak balik Fre. Kunci aja apartemennya.
Erik harus segera menghabiskan makananp karena sore nanti ia akan terbang, menemui rindunya yang sudah satu minggu tak bisa ia dengar suaranya. Satu tangan bergerak untuk memesan tiket, penerbangan sore ini.
***
"Ndis, Mbak sama Mas Angga mau ada acara sama teman-teman. Nggak apa-apa kan, kita tinggal?"
"Iya Mbak, nggak apa-apa kok. Santai aja." jawab Gendis. Keluarga ini selalu saja takut Gendis sendirian, dua hari yang lalu Ami pergi ke Sidoarjo dan Anggara ke Jakarta sedangkan Gendis sendirian di sini. Sayangnya tak lama, ada seseorang yang menemani Gendis yaitu adik dari Ami namanya Lilis. Gendis tidak marah merasa dibatasi, ia tahu bagaimana khawatirnya Ami dengan kondisi Gendis yang belum stabil.
"Kamu hati-hati ya, kalau ada apa-apa telepon kita. Mbak sudah siapkan bahan makanan, kalau lapar masak sendiri atau mau beli juga boleh." jelasnya
"Iya Mbak, kalian hati-hati ..."
"Iya. Jangan lupa makan Ndis."
Gendis mengangguk lalu tersenyum hangat. Semenjak kehilangan orang tuanya, depresi berat kini ia memiliki nafsu makan yang berbeda. Jam tidur menjadi berantakan, terkadang menangis secara tiba-tiba jika mengingat tentang kehilangan yang menyakitkan. Satu bulan yang lalu, setelah selesai salat maghrib— Gendis menangis tersedu-sedu karena rasanya sesak sekali melihat wajah kelurganya meski hanya selembar foto. Ami khawatir dan menenangkan Gendis— menemani Gendis sampai malam, Gendis merasa kuat tatkala Ami kembali memberikan petuah untuknya.
"Mbak Ami paham tentang kondisi Gendis saat ini, siapapun tidak mau ditinggal. Tarik napas, Ndis. Lalu hembuskan pelan-pelan."
"Hidup harus terus berjalan, kamu harus kembali dan menerima kenyataan yang ada. Coba tanya hati Gendis, kapan Gendis melakukan aktivitas yang menyenangkan? Kapan Gendis melakukan hobi? Kapan Gendis tertawa? Kalau Gendis sudah tahu jawabannya, Gendis harus melakukan aktivitas menyenangkan, melakukan hobi Gendis lagi. Bertahanlah untuk dirimu sendiri, Ndis."
Gendis mengikuti perintah Ami waktu itu, hanya saja Gendis masih enggan melakukan hal menyenangkan karena bagi Gendis dunianya tak lagi menyenangkan. Seminggu jauh dari ponsel, Ami yang menyuruh agar Gendis tak lagi cemas, takut berlebihan setelah bermain ponsel. Aktivitasnya hanya menjaga Aurora, membaca buku, meditasi diri.
"Sebentar!" sahut Gendis dari dalam. Sepertinya ada tamu, Gendis bergegas membukanya.
Gendis terkejut, mengerjapkan matanya berkali-kali tak percaya dengan tamu yang datang menjelang malam. "Mas?"
"Mau masuk." ucapnya
Gendis membuka pintu, perasaannya campur aduk karena kedatangan Erik. Sendirian tanpa ada yang menemani.
"Harus banget ke sini?"
"Iya. Kamu nggak ada kabar."
Gendis mengikuti langkah Erik. "Bisa tanya lewat Mbak Ami."
"Kamu nggak tahu aja, setiap tanya mereka selalu digodain."
Gendis mengembuskan napasnya. Harusnya tak perlu di sini, Gendis khawatir Erik akan kembali celaka apalagi ke sini seorang diri. "Mas, kaki Mas be—"
"Saya ini pria, Ndis. Jangan menganggap bahwa saya lemah." Erik menyela pembicaraan Gendis.
"Bukan begitu Mas, pikirkan risikonya."
"Sudah. Risikonya antara mati dan masuk rumah sakit."
"Bisa nggak sih Mas jangan bahas kematian? Serem." kesal Gendis. Mereka memilih duduk di sofa, ada jarak diantara mereka. Erik duduk di depan Gendis.
"Iya deh, nggak bahas lagi. Kamu kenapa nggak aktif?"
"Malas buka ponsel. Kalau habis buka ponsel suka cemas, takut."
"Kenapa?" tanya Erik penasaran
"Nggak apa-apa Mas. Oh iya, aku sudah berpikir panjang sepertinya aku bakalan keluar dari kampus."
"Kenapa?" Erik mencoba menyimak perkataan Gendis.
"Gendis nggak kuat Mas, kejadian waktu itu membuat Gendis sadar kalau teman bisa jadi orang paling jahat."
Erik bangkit ingin duduk di samping Gendis. "Mau cerita?"
"Sebentar." Gendis menjauhi Erik untuk mengambil ponsel miliknya di kamar, tidak lama lalu kembali duduk di samping Erik. "Mas baca, pesan dari teman-temanku membuat Gendis malu, takut berlebihan. "
Erik segera membaca pesan dari teman-teman Gendis.
Lebay banget kamu, Ndis. Masa gitu aja bunuh diri.
Ngaji Ndis, biar nggak ada pikiran bunuh diri.
Ndis? Gimana rasanya gagal bunuh diri?
Kabar bunuh dirimu menjadi berita paling hot di kampus. Kamu di mana sekarang?
Erik tidak ada selera membaca pesan selanjutnya, rahangnya mengeras— ia sangat marah dengan teman-teman Gendis. Mereka menganggap bunuh diri menjadi hal yang biasa saja. "Bodoh sekali mereka. Bukannya memberi semangat untukmu, malah menjadikan peristiwa ini menjadi bahan gosip!"
"Ya, bahkan teman yang aku anggap baik saja mengatakan hal yang menyakitkan."
"Mawar?"
"Bukan. Namanya Rena beda jurusan sama Gendis." jawab Gendis
"Kamu harus tetap lanjut kuliah."
"Nggak mungkin Mas, Gendis malu sama semuanya." Gendis menutup wajah dengan kedua tangannya.
Erik melepaskan tangan Gendis lalu membawa bahu Gendis ke hadapannya. "Sebentar lagi kamu lulus, pikirkan baik-baik. Pikirkan lagi Ndis, berapa juta uang yang sudah masuk. Jangan menyerah."
"Tapi Mas, aku nggak kuat kalau dibully mereka, nggak kuat jawab pertanyaan mereka. Aku nggak sekuat sekarang Mas, di luar sana menyakitkan. Sedangkan aku sendiri."
"Coba dulu. Awalnya sulit, jalani hidupmu pelan-pelan masih ada Mawar."
"Mas nggak akan paham. Percuma, Gendis tetap mau keluar dari kampus."
"Nggak Ndis!" tegas Erik
"Mas nggak bisa melarang."
"Kita menikah, agar kamu tidak merasa sendiri lagi. Kita hadapi bersama Ndis." ucap Erik tiba-tiba.