webnovel

Darah Di Ketiga Jemarinya

Zack dan Lucas muncul di pintu tetapi mereka sibuk memerhatikan Oliver yang baru saja meninggalkan Perpustakaan.

"Kau lihat reaksinya? mengapa dia jadi segugup itu?" Lucas menatap semua orang yang lebih dahulu berada di perpustakaan.

"Aku harus pergi. Ferghus, Adel, mau ku antar pulang?" tawar Kenatt.

"Oke. Ingat semua, kalau ada hal darurat jangan lupa menghubungi kami" Ferghus dan Adel memilih diantar pulang oleh Kenatt.

Theo, Hisashi, Amarru, Zack dan Lucas ikut meninggalkan Perpustakaan ke ruang tamu mengantarkan kepergian Kenatt, Ferghus dan Adel. Pada akhirnya semua teman Theo yang tersisa ikut ke halaman rumah, turut mengantar ketiganya pergi.

Theo belum juga masuk ke dalam rumah meski mobil Kenatt sekarang terlihat makin kecil di matanya. Karena pikiran Theo sekarang adalah bagaimana cara mengirim seluruh sahabatnya pulang ke rumah masing-masing.

"Kalian juga pulanglah. Ada Hisashi dan Amarru yang siap menjagaku hari ini dan besok" Theo berujar tanpa menoleh pada para sahabatnya.

"Kami diusir?" protes Zack menatap tak bersahabat pada Theodor yang masih juga tidak melihat kearah teman-temannya.

"Memang tubuh kalian terbuat dari mesin? kalian juga butuh istirahat yang cukup. Pertarungan selanjutnya bukan hanya pertarunganku sendiri. tetapi pertarungan kita semua. Kumohon segera pulanglah. Masih ada keluarga yang menunggu kalian pulang ke rumah" Theo berbalik lalu pergi begitu saja, masuk ke dalam rumah.

"Mengapa aku merasa ada yang disembunyikannya dari kami?" Bertha melirik pada Hisashi.

"Apa? kurasa segala hal yang aku ketahui juga sudah kalian tahu," Hisashi menghela napas sejenak.

"Dengarkan saja kata-kata Theo. Orang yang kelelahan, akan sangat sensitif terhadap lingkungannya. Buktinya sekarang kau sedang berpikiran negatif pada sahabatmu sendiri. Ayo, pulanglah semua" tambah Hisashi mengibas-ngibaskan tangan mengusir seluruh sahabat Theo agar cepat pulang.

"Mengapa kau masih di sini?" Hisashi mengerutkan kening saat menyadari hanya Nauctha yang masih gigih tetap bertahan.

"Di saat melelahkan seperti ini Theo butuh kekasihnya. Biarkan aku di sini"

"Dua pasangan yang kelelahan juga berpotensi bertengkar hebat bahkan bisa mempercepat proses putusnya hubungan mereka. Kalau kau ingin segera berpisah dengannya lanjutkan saja" Hisashi menggelengkan kepala. Semakin lama anak muda semakin sulit memahami situasi.

Hisashi memasuki ruang tamu dan mendapati Theodor menatap seseorang dibalik tirai jendela.

"Jangan cemas padanya" Hisashi menepuk bahu pemuda di sampingnya sambil tersenyum hangat. Theo menatap sejenak Pria itu lalu kembali mencari sosok kekasihnya di balik tirai jendela. dia lega karena Nauctha akhirnya mau pulang.

"Terkadang sifatnya membuatku takut. Jika tidak ada yang merubahnya sedikit demi sedikit, nyawanya bisa dalam bahaya" cahaya mata Theodor mulai meredup ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.

Tes...

tes....

Awalnya Theodor tidak begitu memerhatikan Hisashi tetapi tetesan peluh berwarna semerah darah pada akhirnya menarik perhatiannya.

"Hisashi... apa kepalamu terluka?" Theodor mengernyit waspada melihat tetesan darah yang keluar dari sela rambut Hisashi meluncur ke arah dahinya.

Hisashi menyeka keningnya yang basah lalu menatap darah di ketiga jemarinya. dia diam terpaku selama beberapa detik.

"Ayo kita pergi ke rumah sakit" Theo tidak mau membuang-buang waktu.

"Tidak"

"Hisashi..." lirih Theo mendengar penolakan si Biksu.

"Bagaimana darah ini bisa keluar, tidak akan dapat dijelaskan secara medis. Jangan buang-buang waktu dan tenagamu" tak ada nada panik dalam suara Hisashi.

"Guru!" seru Amarru berlari mendekati Hisashi setelah membuka pintu toilet.

Theodor semakin merasakan keanehan pada kedua orang dihadapannya. Otak Theo sempat tak mampu menerima apa yang ditangkap kedua matanya kali ini. Pertama, Ada darah mendadak menetes dari kepala menuju ke pelipis Hisashi. Hal itu saja sudah cukup membuat Theo ingin segera melarikan Hisashi ke rumah sakit.

Dan... sekarang... Amarru tiba-tiba muncul keluar dari toilet, sambil berlari menuju Theo dan Hisashi dengan lensa mata merah darah.

"Sudah waktunya dia terbangkitkan?" Hisashi sangat terkejut begitu melihat perubahan warna mata Amarru.

"Bukankah ini terlalu cepat? Kurasa tubuhnya belum cukup kuat" Amarru memerhatikan Theodor dari ujung rambut hingga keujung kaki.

"Apa yang kau rasakan sekarang? Ada rasa tidak enak badan? atau rasa tidak nyaman, dibagian tubuh tertentu?" Hisashi mengawasi tiap perubahan raut wajah Theodor.

"Kalian sedang membicarakan tubuh yang menjadi inang? Maksud kalian... tubuhku juga menjadi inang?! seperti dugaan kalian terhadap Oliver?" Theodor mengambil beberapa langkah mundur. Rasa panik menjalari seluruh sel dalam tubuhnya.

"Kau belum menerima sepenuhnya dirimu pada masa lalu mu Theo. Agar kau bisa hidup normal seperti orang lain, tentu kau membutuhkan masa lalumu. Kau sekarang tampak seperti cangkang kosong" Hisashi mencoba menjelaskan semampunya.

"Dirimu yang lain lah, yang akan terbangkitkan. Kami butuh kerja samamu untuk membuatmu menjadi Putra Marcus seutuhnya" desis Hisashi merasakan keraguan sekaligus ketakutan dalam sorot mata Theo.

"Maksudmu adalah roh yang mencuri tubuhku ketika aku tertidur itu?"

"Roh? sudah kubilang dia adalah dirimu pada masa lalu. Untuk apa dia mencuri tubuhmu? jika dia adalah dirimu sendiri?" Hisashi tidak membenarkan pemikiran pemuda itu.

"Kalau dia adalah aku, tidak mungkin tanpa berpikir panjang merusak pintu kamarku sendiri berulang kali"

"Jika itu aku, tidak masuk akal kalau aku sampai tega mematahkan tulang anak buah orang tua angkatku sendiri" Theodor merasa ngeri mengingat isi CCTV yang merekam dirinya sendiri sedang beraksi merusak segalanya.

"Karena pada masa lalu, kau hanya mengetahui caranya bertahan hidup. Apa yang kau harapkan dari seorang anak kecil yang melihat Wanita yang kau pikir adalah Mommu, dibunuh di depan matamu?" Hisashi mencoba memberikan pemahaman tentang masa lalu Theodor yang bahkan hampir terlupakan seluruhnya.

"Kau hampir di panggang hidup-hidup di dalam gudang rumahmu. Jadi, reaksi seperti apa yang kau harapkan dari seorang anak kecil seperti itu? Bahkan sebelum itu Putra Marcus sempat di tenggelamkan hidup-hidup ke dalam sungai" tambah Hisashi membuat Theo memucat.

"Aku pasti akan tumbuh menjadi anak yang diselimuti kemarahan sekaligus penuh dendam" gerutu Theo lalu menjatuhkan diri di lantai.

"Theo. Masa lalumu hanyalah seorang anak kecil. Hanya kau yang bisa menjinakkan keganasannya. Berdamailah dengan masa lalumu agar kalian dapat menyatu satu sama lain."

"Kau harus bisa membawanya menjadi dirimu yang sekarang. Jika kau gagal, terpaksa kami harus melenyapkanmu bersama Sergei. Karena keberadaan kalian, bisa menjadi faktor penyebab dunia hancur" Ucapan Hisashi terdengar sebagai ancaman di telinga Theodor.

"Kalian tahu kapan dia akan terbangkitkan?" Theodor mengepalkan kedua tangannya cemas.

"Segera" jawaban Hisashi ini sungguh tidak memuaskan Theodor.

"Jika kita mendapatkan bantuan dari Oliver, apa ada kemungkinan aku tidak perlu menghadapi masa laluku?"

"Pengecut. Bagaimana kau bisa melindungi semua orang dari Sergei tanpa masa lalumu? Kau pikir untuk apa Diandra menyeretmu sampai ke Red Water Park?" desis Hisashi marah.

"Untuk memberi tahukan kebenaran?" Theo mengerutkan kening.

"Kebenaran tentang kematian keluargaku dan anak buah mereka?" tatapan penuh tanda tanya Theo menusuk wajah Hisashi kali ini.

"Ada hal lain. Kau harus tahu mengapa Dad Oliver masih mengincarmu sampai sekarang" Hisashi berbicara sambil terus menyeka darah yang terus mengucur ke pelipisnya.

"Kau tahu bagaimana cara menghentikan darah Hisashi?" Theo menatap Amarru menuntut jawaban.

"Tidak. Ini sekadar proses kebangkitan Felix Sanders. Kekuatan supranatural Felix sangat kuat. Kau lihat sendirikan, sekarang tenaga kami sudah banyak terkuras" Amarru terkulai lemas di atas sofa setelah menuntun Hisashi ke sofa di sebelahnya.

"Apa kau gila? mengapa kau tidak membujuknya agar aku bisa membawanya kerumah sakit?! bagaimana kalau Hisashi sampai kehilangan banyak darah?!" omel Theodor tidak ingin membawa keluar mayat seseorang dari dalam rumahnya.

"Yang keluar seperti darah ini, bukan darahku. tetapi tenaga dalamku yang hampir terkuras habis. daripada kau membawaku kerumah sakit, bawa aku ke kamarmu. Biarkan aku bermeditasi bersama Amarru" suara Hisashi mulai terdengar tak berenergi.

Braaaak!!

Buk!!

Suara angin berhembus hingga mampu membuka pintu salah satu ruangan di lantai dua yang tertutup. Anehnya, mereka bertiga sempat mendengar ada benda yang jatuh.

Siguiente capítulo