Saat kembali memikirkan Aldo, Luna bertanya pada Galang dengan penuh khawatir, "Paman Aldo akan baik-baik saja, kan?"
Luna merasa bersalah pada Aldo karena dirinya yang telah membuat marah Galang, malah pria itu yang mendapatkan masalah dan khawatir jika Galang menghukum pria itu dengan kejam.
Sedangkan, Galang yang mendengarnya kesal kembali. "Jika kau menyebut dia lagi, dia benar-benar akan mendapat masalah!"
Luna diam dan setelah itu menyentuh dada Galang dan bertanya padanya, "Paman, apa kau tidak pergi bekerja? Aku juga harus sekolah."
Gadis itu tidak tahu berapa banyak waktu yang mereka habiskan di kamar ini, jadi dia bertanya pada Galang. Juga, ini sudah waktunya dia berangkat sekolah, Luna tidak ingin terlambat.
Pria itu meliriknya sambil berkata, "Aku akan meminta izin pada wali kelasmu. Kau bisa kembali bersekolah saat kau sudah benar-benar sembuh."
Luna terkejut. "Aku harus istirahat di rumah dan melewatkan pelajaran?"
Galang menatapnya dan berkata, "Apa kau masih merasa perlu belajar di saat keadaanmu seperti ini? Kau masih memikirkan sekolahmu saat dirimu saja susah berjalan sendiri?" Dan itu berhasil membuat Luna tidak bisa berkata-kata.
Pria itu mengelus pelan kepalanya, bangkit dan turun dari ranjang, menyelimutinya, kemudian menelepon wali kelasnya.
Luna tidak tahu apa yang sedang wali kelasnya katakan saat melihat pandangan aneh Galang padanya dan hanya bisa mencengkram selimutnya dengan erat.
"Begitu? Aku akan berbicara padanya nanti." Setelah menutup telepon, Galang menatapnya dengan mata menyipit.
"Apakah kau bertengkar dengan seseorang di sekolah? Kau mengambil ponsel orang lain?" tanya pria itu langsung.
Luna awalnya agak terkejut karena Galang mengetahuinya, mungkin wali kelasnya sudah memberitahunya, jadi dia memutuskan untuk berkata dengan jujur padanya, "Mereka yang pertama menggangguku dan mengunciku di toilet sekolah, jadi aku membalas perbuatan mereka. Juga siapa yang mengambil ponsel mereka? Ponsel itu sudah kubuang ke tempat sampah!"
Galang tertawa saat mendengar penjelasannya.
Gadisnya sangat imut saat marah begini! batinnya.
Pria itu membungkuk dan mengulurkan tangannya, tersenyum, kemudian mengusap kepala Luna dengan sayang. "Kerja bagus!"
"Hah?" Luna memandangnya dengan bingung.
Apa aku tidak salah dengar? Dia tidak marah? batin gadis itu.
"Ingat, siapapun yang berani mengganggumu, kau harus membalas perbuatan mereka dan tidak diam saja. Kau harus ingat itu. Jika ada yang mengganggumu lagi, aku akan menghajar mereka!" ujar Galang.
Saat mendengar kata-kata ini, entah mengapa Luna merasa Galang sangat menjaganya dan memanjakannya. Dalam hatinya, dia merasa senang karena diperhatikan oleh pria itu.
"Karena kau mengatakan mereka menguncimu di toilet sekolah, bagaimana kau bisa keluar dari sana?" tanya Galang penasaran.
Luna terbatuk keras saat mendengarnya.
Melihat reaksi gadis itu, Galang menatapnya dengan curiga.
"Mereka berdua tidak berhasil mengunci pintunya, jadi aku memanfaatkan kesempatan dan merebut kunci dari tangan mereka" ucap Luna dengan sedikit berbohong.
Galang mengangguk, namun masih menatapnya dengan curiga, kemudian dia bangkit dan keluar dari kamarnya.
Luna menghela nafasnya.
Huh, hampir saja, batinnya.
Gadis itu lalu mengambil ponselnya yang ada di meja samping ranjang dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Rangga.
Dia penasaran kenapa pemuda itu meneleponnya, lalu dia memutuskan untuk menelepon balik Rangga. Saat panggilannya sudah terhubung, pemuda itu langsung bertanya padanya dengan nada kesal, "Dari mana saja kau, Luna? Kenapa tidak mengangkat teleponku?"
"Ah. Ponselnya ku mode silent dan tidak tahu kau meneleponku" kata Luna dengan jujur. Dia tidak berbohong soal itu karena sedari pagi dia memang belum mengecek ponselnya, hingga tidak tahu jika Rangga sudah menelponnya berulang kali.
Rangga yang mendengar tidak ada kebohongan dari perkataan Luna, segera tenang, namun kembali kesal saat mengingat keadaannya saat ini.
"Aku dikurung di rumah oleh kakakku!"
Entah, Luna salah dengar atau tidak, Rangga terdengar sedih saat mengatakannya.
Gadis itu kemudian bertanya padanya, "Maksudmu kau tidak bisa berlatih pertunjukan, kan? Tidak apa-apa, aku sudah berbicara dengan Kak Ezra mengenai itu."
Apa gadis ini tidak peduli padanya dan tidak menanyakan alasannya dikurung di rumah? batin Rangga kesal.
"Dasar tidak peka! kau tidak bertanya keadaanku dan alasanku dikurung di rumah?!" ujar pemuda itu dengan kesal.
"Kau pasti sedang mengkhawatirkanku, kan?" tanyanya.
Luna menghela nafasnya dan berkata, "Jangan geer ya. Dasar narsis! "
Rangga terkejut karena inilah pertama kalinay dirinya dikatain rasis oleh seorang gadis.
Tapi dia sangat menyukainya! Pemuda itu menyukai semua yang Luna ucapkan padanya. Entah dirinya terlalu bucin atau terlalu sayang.
"Aku tidak sedang bercanda padamu, ada apa dengan pamanmu itu? Apa yang dia katakan pada kakakku hingga membuatku dikurung di rumah?" ujar Rangga dengan kesal.
Luna yang mendengarnya terkejut dan bertanya, "Pamanku yang membuatmu begitu? Kau tidak sedang berbohong padaku, kan?"
"Kenapa aku berbohong padamu? Kakakku menyuruhku untuk tidak mendekatimu lagi, kalau tidak pamanmu tidak akan membiarkanku. Hei, aku tidak mengerti. Dia kan hanya pamanmu. Bukankah kau bebas menyukai siapa saja? Atau dia sangat tidak menyukaiku?!" protes Rangga.
Tentu saja dia tidak menyukaimu karena dia begitu posesif padaku! batin Luna.
"Hm, kalau begitu kau tidak boleh mendekatiku lagi, dan kau akan baik-baik saja, kan? Pamanku juga tidak akan marah padamu" ujar gadis itu dengan tenang.
"Luna, jangan pernah berpikir seperti itu! Aku tidak akan menyerah! Tidak peduli apakah itu pamanmu atau orang tuamu, termasuk dirimu sendiri! Jangan pernah berpikir untuk membuatku menjauh darimu dan menyerah padamu! Jadi, jangan katakan hal itu lagi!" kata pemuda itu keras kepala.
Luna hanya menghela napasnya saat mendengar Rangga yang bersikeras tidak akan menjauhinya.
Baginya, bukan itu masalahnya, itu Galang, pamannya yang terlalu posesif padanya dan pasti tidak akan membiarkan pemuda itu mendekatinya!
Apa yang harus kukatakan padanya? batin Luna.
"Luna, kau dimana sekarang? Apa kau bersama Ezra?" tanya Rangga yang merasa kesal saat memikirkan keduanya sedang bersama saat ini.
Pemuda bodoh ini masih cemburu padanya dan mencemaskan Ezra? Dia seharusnya lebih mencemaskan pria lain yang tidak akan membiarkannya, Galang!
"Tidak. Aku terkurung di rumah sepertimu" jawab Luna jujur.
"Apa?" Rangga marah dan segera berkata, "Pamanmu terlalu berlebihan! Tunggu aku di sana dan aku akan menjemputmu dan mengeluarkan kamu dari sana!"
"Jangan! Jangan ke sini!" ujar Luna dengan panik. "Kakiku cedera dan aku harus beristirahat di rumah untuk sementara" lanjut Luna.
Rangga memegang ponselnya dengan erat, dan suaranya menjadi cemas juga khawatir.
"Kenapa bisa begitu? Apa cederanya parah?" tanyanya.
"Tidak. Tidak terlalu parah, kok" Dan Luna kembali mengingat tentang ciuman kasar Galang dan membuatnya nekat melompat dari mobil.
Kemudian, terdengar suara pintu kamarnya diketuk.
"Nona, bolehkah saya masuk?" tanya Hilman dari luar kamarnya.
"Tunggu sebentar" bisik Luna di ponselnya, kemudian meletakkan ponselnya di kasur lalu menjawab panggilan Hilman, "Masuklah."
Hilman membuka pintu dan masuk ke kamarnya sambil membawa piring yang berisi buah dan sebuah rubik di tangan lainnya.
Saat sudah mendekat, pria itu menyerahkan semuanya pada Luna, dan berkata, "Tuan Galang bilang, jika takut Nona akan bosan, jadi Tuan menyuruh saya membawakan ini pada Nona Luna."
Gadis itu duduk dan bersandar di ranjangnya, kemudian mengambilnya.
Dia terdiam saat melihat rubik itu di tangannya.