webnovel

Chapter 9 : Matematika

Minggu-minggu terakhir menjelang UAS terasa seperti momen krusial menjelang kiamat. Tugas bertumpuk, bersaing sama banyaknya dengan ulangan dan ujian praktek seperti olahraga dan seni teater. Tak ada masalah dengan semua ujian praktek bagi Ralin. Yang jadi masalah adalah UAS itu sendiri, semua rumus dan materi IPA yang harus dijejalkan ke kepalanya dalam waktu singkat, membuatnya lelah luar biasa. Ia masih menahan diri untuk tak belajar dengan Yuga, yang terlihat santai di saat semua siswa lainnya berjibaku dengan materi pelajaran. Namun ia tak punya pilihan lain. Ulangan Matematika dan Fisika terakhir menentukan nasibnya. Jadi, sepulang sekolah di suatu sore dua minggu sebelum UAS, ia mengetuk pintu kamar Yuga sambil menahan semua perasaannya.

“Kenapa?” tanya Yuga saat membuka pintu. Ia masih memakai pakaian sekolah, sama seperti Ralin.

“Apa kamu sibuk nanti malam?” tanya Ralin ragu.

“Enggak. Kenapa? Mau belajar? Ada ulangan Bu Tata besok?” Ralin mengangguk pelan untuk menjawabnya. “Oke. Sehabis makan malam.”

“Thanks.” Ralin berbalik dan menghembuskan napas panjang, lalu masuk ke kamarnya sendiri.

Yuga mendesah pelan. Sejak latihan drama itu mereka makin jarang berinteraksi dimanapun, lebih diakibatkan oleh Ralin yang seperti sengaja menjauh. Gadis itu juga melarangnya menjemput jika ia pulang malam dari rumah teman-temannya. Yuga tahu apa sebabnya, seperti yang selalu diulang-ulang Fani setiap dilanda cemburu pada sosok Ralin. Ia hanya tak habis pikir dan berusaha tak mempedulikannya. Ia sudah punya Fani, lagipula Ralin adalah adiknya. Lalu apa lagi?

Namun kadang ada rasa aneh yang menyelinap saat ia melihat sekilas sosok Ralin dimanapun. Atau, ia seringkali bertanya-tanya kemana saja gadis itu pergi sepulang sekolah belakangan ini. Atau, melihat kedekatan Ralin dengan Ranu yang makin intens di sekolah membuatnya bertanya apakah mereka saling mencintai. Atau, suasana lantai dua yang seringkali sepi membuatnya tak betah dan malah uring-uringan. Ia telah begitu terbiasa dengan kehadiran Ralin. Jika gadis itu tak ada, sepertinya ada sesuatu yang hilang.

Perasaan apa namanya jika seperti itu definisinya?

Ralin tak ikut makan malam bersama, menimbulkan gerutuan Harris yang akhirnya menyuruh Bik Suli mengantarkan makanan ke lantai dua. Yuga kini memahami alasannya, dan ia telah menjelaskan pada Donna yang resah, yang mengira keberadaannya yang menyebabkan Ralin seperti itu. Mamanya itu akhirnya mengerti dan Yuga tahu ia telah berusaha bicara dengan Harris agar berhenti memperlakukan Ralin dengan tak menyenangkan. Tapi Ralin masih betah menyendiri, seperti membangun benteng untuk dirinya sendiri yang tak bisa ditembus siapapun.

“Jangan bengong, Ralin.”

Ralin tersentak mendengar teguran Yuga. Mata cokelatnya terlihat hampa, lalu ia mengerjap, menunduk kembali pada buku di hadapannya. Yuga memandangnya sementara Ralin mengerjakan sederet contoh soal yang diberikan Yuga, mengecek rumus yang tepat. Ia berkali-kali memutar bola matanya saat menemukan kesusahan atau menggigit bibirnya dengan gemas, atau menggembungkan pipinya, atau menopangkan wajah di satu tangan sambil memukul-mukul kepalanya dengan pensil yang dipegangnya. Menggemaskan.

Yuga tersentak, ingin menonjok kepalanya sendiri. Apa yang barusan melintas di pikirannya?

“Sudah? Sini, aku periksa.” Yuga menarik lembar jawaban Ralin, memeriksanya dengan cepat. “Salah, salah, salah.” Tiga dari lima soal dijawab dengan salah. “Ulangi lagi. Sekali lagi. Kalau belum bisa, nanti aku jelaskan.”

Ralin mengepalkan tangan dengan geregetan, lalu menarik kembali kertas di tangan Yuga. Sambil memandangi soal yang gagal dijawabnya, ia mengetukkan pensil dengan frekuensi lebih cepat di kepalanya. Yuga meregangkan badan, lalu duduk sambil menelungkup di atas meja, memandang Ralin dari samping. Setelah beberapa saat, Ralin melirik ke arahnya, menyadari Yuga tengah memandangnya, dan rona merah muncul di pipinya yang pucat.

“Konsentrasi, Ralin.”

“Kamu hadap kesana makanya. Bikin grogi tahu! Kayak lagi diawasin Bu Tata. Ambyar total semuanya.” Ralin meliriknya tajam. Pipinya masih merona. Yuga menyentuhnya dengan telunjuknya.

“Merah.”

“Stop it.”

Yuga tertawa melihat tingkahnya.

“Aku kerjain di kamarku aja deh.” Ralin menumpuk buku-buku dan kertas di hadapannya, bersiap pergi.

“Disini saja. Nanti kamu malah ketiduran atau asyik dengan laptopmu!” Yuga menegurnya. “Oke. Aku nggak gangguin lagi. Ayo, lanjut.”

Ralin memandangnya skeptis, lalu mendesah dan melanjutkan menjawab soal yang tersisa dengan cepat. Yuga memilih sibuk dengan ponselnya, membalas chat dari Fani, walaupun sesekali masih melirik gadis itu. Setelah lima belas menit Ralin menyodorkan kertasnya dan Yuga memeriksanya dengan cepat.

“Sini deh. Kamu masih salah untuk yang ini.” Ia menarik Ralin mendekat, lalu menerangkan letak kesalahannya, menuliskan rumus yang benar, lalu penyelesaian yang benar. Ralin mengangguk – angguk, matanya membulat.

“Coba kerjakan yang satu ini, pasti bisa.” Yuga lalu mengawasi Ralin mengerjakannya dengan bersemangat, mengangkat alisnya saat melihat jawabannya benar.

“Bagus. Sekarang aku kasih contoh soal lain.”

Satu soal, dua soal, tiga soal lagi. Suara denting-denting dari ponsel tak mereka gubris. Ralin terlihat mulai terbiasa dengan gaya mengajar Yuga dan kesalahannya makin berkurang. Yuga memberikannya satu soal terakhir yang tadi pagi masuk ke dalam soal ulangan Bu Tata. Kurang dari semenit, Ralin berhasil mengerjakannya.

“Ini soal ulangan Bu Tata yang tadi pagi. Jawabanmu betul.” Yuga memujinya.

“Serius??”

“Iya, Ralin. Semoga berhasil di ulangan besok.”

“Thank you…thank you..”

Ralin yang kegirangan menghambur memeluknya kuat-kuat. Yuga membelalak, terhenyak melihat reaksinya. Beberapa detik kemudian Ralin melepaskannya, sepertinya baru menyadari kesalahan yang ia lakukan dan berubah canggung kembali.

“Maaf, Kak. Aku kelewat gembira.” Ia merapikan kertas-kertasnya, bersiap pergi. “Kamu guru yang hebat. Terutama, sabar banget menghadapiku.” Ia tersenyum pada Yuga. “Aku pergi ya.”

“Sebentar dulu. Aku masih mau ngobrol. Ada yang mau kutanyakan padamu.”

“Soal apa?”

“Ranu.”

Ralin mengerutkan alis.

“Oke. Kenapa dengan Ranu?”

“Apa dia…”

Ucapan Yuga terhenti dan mereka berdua menoleh ke arah ponsel Yuga yang bergetar dan melantunkan nada panggilan masuk. Yuga mengambilnya, bimbang sejenak, melirik Ralin lalu mengangkatnya. Ralin mengedikkan bahu dan berpaling.

“Iya, Fan. Sorry, tadi sibuk. Ada apa?”

Dari tempatnya duduk, Ralin bisa mendengar jelas suara Fani yang cempreng dan kilas kekesalan di wajah Yuga. Apakah setiap orang yang tengah berpacaran seperti itu? Ralin berpikir dengan enggan. Ia belum pernah merasakannya, tapi apakah semua perempuan harus mengekang segala hal tentang kehidupan kekasihnya? Seperti Fani yang kini mengamuk hanya karena Yuga telat membalas chat.

Memikirkannya saja sudah lelah duluan, apalagi menjalaninya.

Ralin melirik Yuga yang tengah mengemukakan alasan dan rayuan untuk meluluhkan Fani. Kejengkelan mulai menguasai Ralin. Ia bangkit bersama buku-bukunya dan beranjak pergi. Yuga menoleh dan dengan sigap menarik lengannya, mencegahnya pergi. Ralin membelalak, menyentak lengannya, namun Yuga bangkit dan merampas buku di tangannya, meletakkannya kembali di meja. Telinganya masih lekat pada ponselnya dengan suara cempreng Fani mengisi keheningan diantara mereka.

“Apa sih? Aku mau pergi.” Ralin mengucap tanpa suara. Yuga memberi kode dengan telunjuk, menyuruhnya tinggal. Ralin memutar bola mata. Mereka berdebat dalam diam. Ingin rasanya Ralin merampas ponsel di telinga Yuga lalu melemparnya jauh-jauh.

Ralin menarik selembar kertas kosong dan spidol, lalu menuliskan satu kata yang membuat Yuga membelalak berang.

BUCIN

Ia nyengir melihat reaksi Yuga, menuliskan lagi kata lain.

ASLI BUCIN

SUKA DIOMELIN

SUAMI TAKUT ISTRI

Yuga mencekal pergelangan tangan Ralin sementara ia masih mencoba meredakan amarah kekasihnya dengan kata-kata manis, menusuk telinga Ralin. Oke, kita perkeruh lagi suasana, pikir Ralin geregetan. Ia menyentak tangannya dari cekalan Yuga.

GOOOOOMMMBBBALLLL

YUGA BUCINNYA FANI. ASLI!

SHAME ON YOU KAK!

“Jangan…” Ralin meringis saat Yuga meremas tangannya yang hendak menuliskan kata-kata lain. Yuga merebut spidol dan kertas, Ralin dengan sigap merebutnya kembali, memutar tubuh di kursinya agar Yuga tak melihat apa yang ditulisnya.

“Iya, Fani, aku dengar apa yang kamu bilang.” Yuga mendesah lalu membelalak saat melihat apa yang ditulis Ralin.

IYA MAMI, MAAFIN PAPI, NGOMEL LAGI DAH MI GPP. PAPI IKHLASSS

Ralin menekap mulutnya sendiri untuk meredam tawa setelah melihat tampang Yuga saat ia melambaikan kertas itu di depan wajahnya. Ia sudah cukup mendengar, dan memutuskan benar-benar pergi saja. Saat ia berdiri dari kursinya Yuga ikut bangkit, merebut kertas dan melemparnya asal, lalu mendekapnya dari belakang dengan satu tangan.

Ralin terhenyak, beradu pandang dengan Yuga. Ia menyingkirkan tangan Yuga yang melingkari leher dan bahunya. Yuga mendekapnya lebih erat, menyandarkan dagu di pundak Ralin yang kini gelisah luar biasa.

“What’s wrong with you, Kak?” tanya Ralin lirih, memalingkan wajah agar Yuga tak melihat betapa merahnya wajahnya saat ini.

“I love you…” Ralin membeku di tempatnya mendengar kata-kata Yuga. “Fani…”

Ralin merasa kebas seketika. Ia melepaskan rangkulan Yuga, namun lelaki itu menariknya mendekat hingga wajah mereka berhadapan. Ralin muak padanya. Apa maksud semua ini? Memamerkan kemesraan dengan pacarnya hanya untuk melihat reaksinya? Brengsek! Yuga dan Fani sama saja brengseknya!

“Lepas.”

Yuga mengamati wajah Ralin yang begitu dekat di hadapannya. Telinganya masih dipenuhi suara Fani, namun ia tak membalas ucapan kekasihnya. Ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya dan ia bisa mendengar gemuruh debar jantungnya sendiri.

“Ralin…”

“Kenapa kamu nyebut-nyebut nama si ganjen itu?”

Ralin menunduk di hadapannya. Ia tahu Ralin juga mendengar ucapan Fani.

“Aku bukan pelakor. Aku bahkan nggak ada rasa apapun ke kamu, Kak. Nggak usah ge-er.” Ralin menyentak kasar lengan Yuga, terlihat marah. “Aku nggak ganjen, oke? Kasih tahu pacarmu yang posesif itu.” Ralin mendorong keras tubuh Yuga. “Dan jangan pernah lakukan ini lagi padaku. Aku bukan cewek murahan yang bisa kamu sentuh seenaknya!”

Peduli amat kalau Fani mendengarnya, pikir Ralin sambil berkemas dan melangkah pergi. Yuga hanya diam mematung di tempatnya berdiri. Jeritan Fani di telepon yang menanyakan kata-kata Ralin barusan tak ia gubris.

Apa yang baru saja ia lakukan?

Siguiente capítulo