webnovel

Chapter 7 : The Loser

“Jenny, ini tugas berbahasa Indonesia. Lo nggak bisa mengusulkan kita pakai bahasa Korea! Gila!”

Ralin mementahkan usulan Jenny saat mereka mulai mengerjakan draft awal naskah drama itu di rumah Riga sepulang sekolah. Mereka berempat tergabung dalam satu kelompok, satu anggota tambahan lainnya adalah Ranu, yang kali ini tak ikut serta.

“Nah, kalau begitu kita adaptasi naskahnya dari drakor yang pernah kita tonton! Pin, menurut lo yang mana?” tanya Jenny antusias.

“Ini drama satu babak, Jen!” Riga ikut menimbrung.

“Ambil konflik puncaknya aja? Misal, pas berantemnya? Pas ketahuan selingkuh terus jambak-jambakan?” Pipin mengusulkan.

“Kalian harus kenal Pak Nando dulu kalau begitu.” Ralin melambaikan tangannya, meminta perhatian mereka. “Pak Nando itu orang teater yang nyasar ke sekolah kita. Setahu gue, penilaiannya nanti berdasar pada naskah yang karakternya kuat, nggak ngaruh deh kalian ngejambakin rambut sampai lepas dari kepala. Plotnya, karakternya, dialognya harus jelas dan bagus, dan karena cuma satu babak, ngebikinnya bakal rumit.” Ralin menghela napas. “Gue belum pernah bikin naskah drama. Kalian?”

“Apalagi kita!” Tiga sahabatnya kompak berseru memprotes, lalu terkikik.

“Kita tentukan dulu deh ceritanya soal apa. Yang konfliknya bagus, emosional, tapi temanya jangan yang aneh – aneh deh. Soal remaja aja.”

Ralin memutar otak untuk mencari-cari topik apa yang bagus. Dia memang mengikuti ekskul teater sejak kelas 11, tapi sejauh ini belum pernah sampai membuat naskah drama karena masih ditekankan pada musikalisasi puisi dan teori-teori drama.

“Pin, kelas lain banyakan nulis naskah model apa?” tanya Riga tiba-tiba.

Pipin adalah salah satu anggota jejaring gosip di sekolah, yang sangat menunjang kiprah dan prestasinya dalam ekskul Jurnalistik yang telah diikutinya sejak kelas 10. Tanya apa saja seputar kejadian di sekolah, dia pasti tahu.

“Biasa, Romeo dan Juliet. Ada 3 kelas yang bakal nulis naskah itu. Bosen ah!”

“Banyakan ngambil dari dongeng Disney nggak sih?” tanya Jenny sebal.

“Dongeng iya, cerita rakyat iya. Kan nggak susah mikir mau nulis apa, ceritanya udah ada. Tinggal bikin dialog aja udah, beres.”

“Soalnya kebanyakan nggak ada yang menganggap serius mata pelajaran seni teater ini tahu!” Ralin mengetuk-ngetukkan pensil di satu sisi kepalanya. “Gimana kalau kita bikin yang beda?”

“Beda gimana?”

“Kasih gue waktu beberapa hari untuk mikirinnya. Nanti gue kasih tahu. Oke?”

***

Yuga menaiki tangga menuju lantai dua dengan earphone menyumpal telinganya. Hari ini ia mengikuti kelas persiapan olimpiade dan pulang menjelang malam. Ia sudah tak sabar untuk mandi. Udara terasa gerah dan lengket. Ia melirik pintu kamar Ralin yang setengah terbuka, mendapati gadis itu tengah sibuk menulis di atas ranjangnya sambil berbaring menelungkup. Ia masih memakai pakaian sekolah. Tasnya tergeletak begitu saja di karpet. Ia melirik sekilas, menyadari kehadiran Yuga di koridor, lalu menyembunyikan wajahnya diantara lipatan lengannya, berhenti menulis.

Yuga mengangkat alis, lalu membuka pintu kamarnya dan masuk. Dasar cewek aneh, pikirnya sambil mengambil pakaian ganti di lemari. Kadang galak, kadang pemalu. Kadang cerewet, kadang diam seperti bisu. Tak konsisten.

Ia keluar kamar dan menuju ke kamar mandi. Ia menghabiskan waktu untuk mandi cukup lama, sedikit heran tak mendengar Ralin menggedor pintunya seperti biasa dan mengomel menyuruhnya cepat-cepat. Saat ia kembali ke kamar, pintu kamar Ralin telah tertutup dan ia mendengar gadis itu berteriak-teriak di dalam.

“Apa maumu? Menyuruhku membunuh anak ini? Anakmu?”

Mata Yuga membelalak. Ia menempelkan telinga di daun pintu kamar Ralin, mencoba menguping. Apa yang barusan dikatakannya? Dia hamil? Dengan siapa??

“Bajingan! Seharusnya aku tak pernah mengenalmu! Seharusnya aku tak pernah jatuh cinta padamu! Semua perasaanku padamu sama sekali tak ada artinya untukmu! Apa kau bahkan pernah mencintaiku? Apa aku hanya pemuas nafsumu saja? Dan setelah aku tak berguna lagi dengan seenaknya kau buang? Bajingan! Pengecut!”

Yuga menekap mulutnya dengan telapak tangannya. Siapa lelaki yang jadi kekasihnya? Ia berdiri tegang menanti kelanjutan kata-kata Ralin, mulai merasa bersalah karena telah menguping dengan seenaknya.

“Aku benci padamu! Sekalian saja bunuh aku! Aku menyesal pernah mencintaimu. Kau hanya bisa memberikan luka untukku. Sakit sekali, Nicholas. Sakit.”

Nicholas? Yuga mengernyit. Anak kelas 12 yang jago taekwondo itu? Dengan Ralin? Tapi setahunya Nicholas sudah punya pacar bernama Selena yang sekelas dengannya. Ralin kini menangis melolong, pilu. Yuga mulai bimbang, takut terjadi apa-apa pada gadis itu. Setelah berpikir beberapa saat, ia lalu memutar kenop pintu dan masuk.

Ralin yang tengah bersimpuh di atas ranjangnya menoleh, heran. Yuga mengitarkan pandang. Tak ada orang lain disana. Ponsel Ralin masih terpasang di charger-nya di atas meja belajar.

“Kamu kenapa?” tanyanya sambil berjalan mendekat. “Aku mendengarmu teriak-teriak.”

Ralin mengusap pipinya yang basah.

“Enggak. Cuma lagi latihan.”

“Latihan apa?”

“Drama. Tugas seni teater Pak Nando.”

Damn, pikir Yuga, malu sendiri. Apa yang ada di pikirannya barusan sampai-sampai nyelonong masuk? Ia menatap Ralin dengan jengkel, jengkel pada tingkah gadis itu sekaligus jengkel pada kebodohannya sendiri.

“Lain kali bilang-bilang kalau latihan drama! Aku jadi kaget!”

“Kenapa? Kamu cemas?” Seringai geli tercetak di wajah Ralin. Ia melompat turun dari ranjang, menjatuhkan kertas-kertas yang berserakan ke lantai bersamanya.

“Aku pikir kamu kesurupan!” sembur Yuga, menolak mengakui bahwa ia telah sengaja menguping sejak tadi. Ralin menutup wajahnya dengan kertas di tangannya dan terkikik geli mengawasi tampang jengkel Yuga. “Apa sih lo?” Yuga menoyor dahinya.

“Hih! Nggak sopan!” Ralin menampar lengannya. “Sana, keluar. Aku mau lanjut. Jangan ngintip!”

Yuga merampas kertas di tangan Ralin yang berisi barisan dialog dalam tulisan yang tak bisa dibilang rapi.

“Balikin!”

“Sebentar.” Yuga mengelak. “Apa judulnya?” tanyanya sambil mengamati draft naskah di tangannya.

“Belum kepikiran.” Ralin mengangkat bahu dan menghempaskan diri di atas ranjang. Yuga ikut duduk di sebelahnya. “Punya kelompokmu temanya apa?”

Raut wajah Yuga berubah muram sebelum menjawab.

“Romeo dan Juliet.” Ia berdecak melihat Ralin memutar matanya. “Bukan ideku! Aku ikut sama yang lain, daripada kebagian nulis naskah!” Ia melambaikan kertas di tangannya.

“Dan, kamu yang jadi Romeonya?”

“Yeah.”

“Siapa Julietnya?”

“Irene.”

“Wuhuuuu….suruh dia waspada, nanti diamuk Fani.” Ralin terkikik lagi.

“Diam!”

“Sensi amat, Kak!”

“Aku malas ngebayangin latihannya nanti.” Yuga terdiam, lalu mendadak menoleh pada Ralin. “Kamu mau bantu latihannya?”

“Bantuin gimana?”

“Bantu aku menghapal dialognya nanti. Malas dekat-dekat Irene.”

“Lho? Kan dia lawan mainmu! Gimana sih? Biar ada chemistry dong diantara kalian. Masa chemistry-nya sama aku?” protes Ralin.

“Peduli amat sama chemistry! Jangan nolak, Lin. Aku kan sudah siap bantuin kamu belajar Matematika. Nah, urusan teater ini kamu harus bantuin.”

“Katanya tulus? Payah lo ah!” Ralin merebut kertas di tangan Yuga. Ia terdiam sejenak. “Tapi boleh deh. Mana naskahnya? Aku pingin baca. Bagusan mana sama punyaku.”

“Masih ditulis. Nanti kalau sudah kelar, aku kabarin.” Yuga bangkit sambil meregangkan badan. Ujung kaosnya terangkat, memperlihatkan beberapa sentimeter kulit perutnya. Ralin memalingkan wajah dan berjalan ke arah laptop di atas meja belajar. “Mandi sana!”

Ralin meliriknya sebal.

“Ngapain nyuruh-nyuruh? Nanti aja ah! Males.”

“Ini sudah jam 7. Buruan! Sebentar lagi jam makan malam.”

“Duluan aja. Aku nanti, belakangan.” Ralin membawa laptop ke atas ranjang. Pakaian putih abu-abunya terlihat kusut, sama acak-acakannya dengan rambut panjangnya yang diikat asal, namun tak mengurangi kesan manisnya. Yuga mengerjap. Mikir apa gue barusan, ia mengutuk dirinya sendiri.

“Kenapa kamu jarang ikut makan malam?” tanya Yuga ingin tahu.

Ralin hanya mengedikkan bahu, tak menjawab, sibuk membaca entah apa di layar laptopnya.

“Karena aku? Atau Mama?”

“Jangan menebak-nebak, nanti kamu malah berprasangka.” Ralin tersenyum tipis. “Aku sayang Mama. Dia baik banget sama aku. Aku cuma…ingin sendiri aja.”

Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benak Yuga. Ralin di sekolah sangat berbeda dengan Ralin yang di rumah. Ia ingin bertanya mengapa, tapi hubungannya dengan gadis ini tak sedekat itu, membuatnya sungkan bertanya. Lagipula apa urusannya? Peduli? Ralin adiknya, memang, dengan jarak usia terpaut beberapa jam saja karena tanggal ultah mereka sama. Tapi bukan sifatnya untuk mendadak dekat dengan perempuan dan menerima curhatan panjang lebar dari mereka, terkecuali Fani.

Yuga menghela napas pelan.

“Oke. Terserah kamu.”

Ia lalu keluar dari kamar Ralin, meninggalkan pintu tetap terbuka, dan masuk ke kamarnya. Sekilas ia melihat Ralin menutup wajahnya dengan telapak tangan, sebelum akhirnya pintu tertutup.

***

Sore ini ada ekskul teater, sama seperti Rabu sore biasanya. Setelah bel pulang sekolah berdering jam 4 sore, Ralin melangkah gontai menyusuri sepanjang koridor menuju ke ruang klub teater di bangunan lain yang cukup jauh. ia sudah menempuh setengah perjalanan saat mengingat naskah yang kemarin ditulisnya. Ia berhenti, membuka ranselnya dan mencari-cari lembaran naskah drama kelompoknya. Tidak ada. Ia mencarinya sekali lagi dan tak bisa menemukannya. Dicobanya mengingat-ingat dan dengan helaan napas panjang ia berbalik kembali ke arah kelasnya untuk mencari di kolong mejanya.

Ia berjalan keluar kelas dengan bergegas, menyusuri koridor yang sepi. Semua siswa sudah pulang dan deretan kelas di sekitarnya kosong. Biasanya sore hari semua klub ekskul yang ramai. Langkah kakinya berubah melambat saat melihat dua sosok yang berdiri di bawah pohon di belakang kelas 11 IPS 1.

Sepasang mata menatapnya tajam. Detik berikutnya jantung Ralin seperti berhenti berdetak. Tangannya mencengkeram kertas di tangannya kuat-kuat. Ia hanya bisa membeku melihat dua sosok itu berpagutan dengan mesra. Ia membalikkan tubuhnya, tak sanggup melihatnya lagi. Matanya terasa panas dan butir-butir hangat airmata mengalir turun di pipinya. Ia bersandar di salah satu pilar, mencoba meredakan kecamuk emosi yang menderanya dengan hebat.

Suara langkah kaki mendekat, membuatnya tersentak dan gelagapan menghapus airmatanya. Fani dan Yuga melewatinya, sambil bergandengan tangan. Fani meliriknya dengan senyum puas. Ralin memutar tubuhnya sebelum Yuga sempat melihatnya, dan cepat-cepat berjalan menjauh.

“Ralin!”

Yuga telah melihatnya dan memanggilnya. Ralin pura-pura tak mendengar dan berlari ke arah berlawanan.

Sakit sekali rasanya jatuh cinta pada milik orang lain.

Siguiente capítulo