“Eh, digabung sama IPA 1?”
“Pak Rudi lagi absen, diajar Pak Yono sekalian.”
“Olahraga hari ini ngapain?”
“Voli.”
Ralin mendongakkan kepala, menghembuskan napas panjang, lalu cepat-cepat mengikat rambut panjangnya menjadi kuncir kuda. Sial, voli lagi, pikirnya jengkel. Barengan sama kelasnya Yuga pula. Ia masih mengingat kejadian kemarin malam saat kakaknya itu menjemputnya dari rumah Pipin, dengan raut masam dan bibir tipis. Mama sih, pikirnya sebal, selalu ingin agar Ralin aman dan kemana-mana mesti dikawal Yuga. Padahal Ralin sejak dulu sudah terbiasa sendiri dan mandiri. Donna memang perhatian, ia menyukainya, tapi harusnya tidak sengotot itu sampai memaksa Yuga yang menjemputnya. Sudah tahu kakaknya itu lelaki terjudes sedunia. Tampangnya saat jengkel sangat merusak mood Ralin, yang awalnya ceria kontan berubah jadi suram.
Huhhh…
Olahraga hari ini cukup santai, karena diajar Pak Yono yang walaupun sudah separo baya tapi masih gaul dan menyenangkan. Ralin mengelompokkan diri dengan para siswi lain, berlatih passing dan smash sendiri-sendiri, lalu simulasi game bergantian. Para siswa mengelompok di lapangan sebelah. Suasana ramai dan bising, dengan jumlah peserta mata pelajaran dua kali biasanya. Ledekan, hujatan, tawa cekikikan, dan siul-siul nyaring terdengar hampir sepanjang waktu. Tak ada yang berminat olahraga dengan serius, toh Pak Yono tak mempermasalahkan suara-suara ramai yang mendominasi lapangan dan malah ikut mengobrol bersama para siswa.
Ralin kini bergabung dengan 11 siswi lain untuk bertanding, satu tim yang merupakan teman sekelasnya dan satu tim lainnya dari terdiri dari siswi IPA1. Ia menempati posisi libero di belakang. Permainan tak terlalu serius, hanya ramai oleh jeritan-jeritan saat bola berhasil masuk dan menambah poin. Ralin menerima bola dari Jenny yang menjadi tosser, membungkuk untuk mengopernya dengan passing bawah, lalu hantaman keras mendarat di bagian kepala kanannya, membuatnya terjungkal.
“ADUH!”
Ia jatuh miring ke tanah, bola sudah diterima Riga, diteruskan ke Jenny lagi, dan Jenny men-smash-nya keras. Ralin mengusap-usap kepalanya di tengah pekik tawa yang ramai dan menerima uluran tangan Riga yang terkikik melihatnya jatuh.
“Sakit?” tanya Riga nyengir geli, masih berusaha menahan tawanya.
“Banget!” Ralin menoleh dengan ganas ke arah lapangan sebelah, mendapati para cowok yang sedang bertanding disana berhenti sejenak untuk melihatnya. Beberapa diantaranya tertawa geli. “SIAPA TADI YANG SENGAJA NGELEMPARIN GUE?” tanyanya keras, memancing kikik geli di sekitarnya.
Tangan-tangan menunjuk ke arah Yuga, yang terlihat menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk menyembunyikan tawanya. Yuga kontan membelalak.
“Nggak sengaja!” Ia membantah.
Ralin mendelik padanya. Kepalanya berdenyut nyeri, membuatnya pening seketika. Ia meringis dan mengusap bagian yang sakit dengan muram. Yuga lalu melangkah cepat ke arahnya dan berhenti di depannya. “Benjol ya?” tanyanya santai, mencondongkan tubuh pada Ralin, mengamati pelipis kanannya yang memerah.
“Gegar otak tahu!” Ralin mengusap pelipisnya, sementara Yuga spontan menyemburkan tawanya. Ralin kontan terpana melihat tawanya, jengkel luar biasa.
“Sorry, Ralin. Sumpah, nggak sengaja.”
Tanpa aba-aba, Ralin menendang tulang keringnya, membuat Yuga spontan terpekik dan melompat-lompat kesakitan dengan satu kaki, terlihat berang.
“HEI!”
“Sorry, Yuga. Beneran, nggak sengaja.” Ia mendengus dengan angkuh dan berlalu.
***
Yuga mengutuk pelan, berjalan sedikit pincang sepanjang koridor seusai datang dari kantin. Dari kejauhan ia melihat Ralin tengah berjalan bersama tiga sahabatnya, tertawa-tawa riang entah untuk alasan apa. Kakinya masih sakit. Luar biasa sekali gadis semungil itu bisa menendangnya sekeras tadi. Apa Ralin mengira ia sengaja mencari masalah? Apa dia tadi tak mendengar bahwa Yuga nggak sengaja? Benar-benar menyebalkan!
Mereka berpapasan. Yuga mendelik padanya, sementara Ralin balas membelalak. Tatapannya turun ke arah kaki Yuga, alisnya terangkat. Menjengkelkan.
“Lo kenapa begitu sih ke Yuga?” Ia mendengar Riga berbisik sementara keempat gadis kecentilan itu lewat.
“Iya, nih. Katanya naksir?”
Yuga menghentikan langkah, memutar kepala, dan tatapannya bersirobok dengan Ralin yang juga tengah menoleh ke arahnya. Hanya sedetik, dan Ralin berpaling.
“Eh, jangan ngawur, Jen!” Ralin berbisik sengit. “Nggak usah bahas dia lagi. Gue laper tahu.” Mereka lalu menjauh, masih berbisik-bisik. Yuga melanjutkan langkah dan dikejutkan oleh sesosok gadis manis berambut pendek yang berlari ke arahnya sambil melambai ceria.
“Hai, Sayang.” Fani berhenti dengan terengah di hadapannya. “Kenapa kakimu?” Ia mengamati kaki Yuga dengan raut cemas. Yuga mengusap pipinya dengan lembut.
“Nggak apa-apa. Tadi olahraga. Mau kemana, Fan?” tanyanya.
“Mau ngapelin pacarku dong!” Fani menggelendot manja di lengannya. Yuga tersipu. Beberapa orang yang lewat di koridor melirik mereka dengan terang-terangan.
“Jangan begitu dong, Fan. Nggak enak dilihat orang.” Yuga berusaha melepaskan pelukan Fani di lengannya. Tapi Fani bergeming dan membelalak padanya.
“Peduli amat!”
Ia menarik Yuga ke kelas lelaki itu. Ada beberapa teman yang menghabiskan waktu istirahat di kelas. Kedatangan sepasang kekasih itu menimbulkan desahan jengkel dan mereka beranjak keluar sebelum diusir Fani seperti biasa.
“Adohhh…sakit mata gue. Sepet. Sepet.”
“Mendadak gerah yak? Ngadem di luar aja yok!”
“Ada yang mau mesum nih! Menjauh menjauh… Ntar kita ikut ketiban dosa! Ngeriiii….”
Fani melambaikan tangan dengan angkuh, mengusir mereka pergi. Yuga menggaruk kepala dengan salah tingkah, tak mampu berkata apa-apa lagi. Mereka sudah cukup menjadi bahan pergunjingan di seantero sekolah karena sering pacaran tanpa tahu tempat dan mengabaikan kenyamanan orang lain. Tapi Yuga malas mendebat Fani, malas menghadapi Fani yang ngambek atau merajuk. Terlalu melelahkan. Di atas semua itu, ia senang bisa menghabiskan waktu dengan gadis ini, walaupun itu berarti ia harus kehilangan kebersamaannya di sekolah bersama para sahabatnya.
“Memangnya tadi olahraga apa bisa sampai cedera?” tanya Fani saat mereka sudah duduk di meja Yuga.
“Voli.”
“Kok cederanya di kaki?”
“Ulah Ralin.” Yuga menukas, mengamati ekspresi tegang yang mendadak merayapi wajah manis di sampingnya. “Salahku juga, nggak sengaja melempar bola terlalu keras sampai kena kepalanya. Dan dia membalas, sengaja menendang kakiku.”
“Kurang ajar banget!” Kini kemarahan terlihat jelas di wajah Fani. “Apa perlu aku saja yang turun tangan? Lama-lama aku enek sama cewek itu! Mana kalian tinggal serumah! Aku nggak rela, Ga. Nanti dia kegatelan sama kamu!”
“Jangan berlebihan, Fan.” Yuga merangkul bahunya. “Kita jarang interaksi saat di rumah. Lagi pula buat apa aku menanggapi kalau dia kegatelan? Sudah ada kamu. Dan ingat, Ralin itu adikku sekarang.”
“Tapi dia pernah seperti itu?”
“Enggak. Sama sekali enggak. Kita biasa-biasa saja.” Yuga mengelus puncak hidung Fani yang mancung. “Jangan marah, Fan. Masa cemburu sama Ralin? Yang lain kek, yang lebih oke. Dia nggak ada apa-apanya dibanding kamu.”
Fani tersipu, lalu mengecup pipi Yuga, membuat lelaki itu spontan mengitarkan pandangannya ke sekitar mereka, takut ada yang melihat apa yang mereka lakukan di dalam kelas yang sepi.
“Beneran ya. Jangan sampai kamu akrab sama dia. Pokoknya aku nggak rela! Awas saja kalau dia macam-macam! Nggak ada ampun!”
Yuga mengusap bahunya dan tersenyum padanya.