webnovel

Bab 6

Hai... Hello semua...

Happy Reading...

Sekitar pukul sepuluh malam mereka sampai di rumah sakit. Elita langsung berlari ke ruang UGD saat mobil baru saja berhenti. Elang hanya mampu menghela napasnya melihat Elita yang begitu sembrono. Ia segera mematikan mesin mobilnya dan bergegas mengejar Elita.

Elita menghampiri Suri-- si Ibu panti asuhan Mutiara Kasih di mana ia selalu menitipkan Aldebaran Putra Shaquille anak lelakinya yang kini sudah berusia 12 tahun lebih. "Bu, bagaimana ke adaan Al?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.

"Keadaannya saat ini kritis, kita sekarang hanya bisa berdo'a supaya ia di berikan kesehatan."

"Donor darahnya bagaimana, Bu?"

"Pihak rumah sakit sudah mendapatkan dari rumah sakit lain dan juga PMI. Jadi, kamu tidak perlu khawatir lagi."

Elita menghembuskan napasnya sedikit lega, walau ke khawatirannya masih belum sirna. Ia beraalan ke depan ruang ICU di mana anaknya sekarang di rawat. Dari kaca kecil yang ada pintu, ia bisa melihat Al panggilan putranya itu sedang terbaring dengan kepala yang terperban, lengan tangannya yang terperban, kakinya yang di gips dan jangan lupakan alat-alat medis yang menempel di seluruh tubuhnya. Elita menutup mulutnya rapat-rapat, sungguh hatinya begitu sakit saat melihat tubuh anaknya seperti itu.

Suri menarik tubuh Elita secara perlahan kemudian ia memeluknya untuk memberikan ketenangan juga kekuatan padanya. Elang hanya diam memandangi sekretarisnya yang sedang menangis. Jujur saja, ia baru kali ini melihat secara langsung sekretarisnya menangis. Bahkan kejadian seperti siang tadi sama sekali tidak membuatnya menangis walau tadi pagi ia sudah mendengar tangisan yang menyesakkan hati.

"Dia wanita yang baik," gumamnya tanpa sadar.

***

Sudah pukul satu dini hari Elita masih terjaga di kursi yang ada di depan ruang ICU begitupun dengan Elang. Suri sudah pulang karena kasihan anak-anak panti.

"Bapak lebih baik pulang saja, Pak," ucap Elita yang kini menatap Elang.

"Enggak, saya akan di sini temani kamu!" jawabnya mantab.

Elita tidak berkata lagi ia kembali menatap ke arah pintu ruang ICU anaknya. Hanya kesunyian yang saat ini menemani mereka berdua. Elang sebenarnya ingin bertanya tentang status Elita dan juga tentang anaknya. Namun, keadaan sekarang tidak memungkinkan untuk dia bertanya.

"Namanya Aldebaran Putra Shaquille yang artinya Anak laki-laki tampan yang bersinar terang di langit," ucap Elita tiba-tiba menghilangkan kesunyian di malan hari ini tanpa menatap ke arah Elang.

"Apa yang di katakam Alita semuanya benar, saya ke luar dari sekolah karena saya hamil dan laki-laki yang membuat saya hamil tidak saya kenal," ucapnya lagi tanpa menatap Elang.

"Saat itu saya ingin membunuhnya karena kehadirannya akan membuat saya kehilangan mimipi saya. Namun, saya sadar bagaimana rasanya tidak di inginkan orang tuanya."

Elita menyeka air mata yang sudah terjatuh di sudut matanya. Ia menoleh ke arah Elang yang juga menatapnya. "Maaf, saya menyembunyikan status saya yang sudah memiliki anak. Namun, saya tidak berbohong jika saya memang belum menikah. Saya benar-benar minta maaf, Pak," ucap Elita kemudian menunduk karena merasa bersalah.

Elang menatap Elita yang menunduk cukup lama sampai kini tangannya terulur untuk menyentuh kepala sekretarisnya itu. Elita pun mendongak dan menatap ke arah bosnya yang memasang wajah tanpa ekspresi. Tidak lama senyum manis menghiasi wajah tampannya. Tangannya bergerak mengacak rambut Elita membuat sang empunya langsung memukul lengannya.

Elita merapikan rambutnya dan menatap bosnya itu dengan tatapan kesal. "Jangan acak rambut, Pak!" kesalnya.

Elang tersenyum, "Gitu, dong! jangan sedih seperti tadi," ucap Elang membuat Elita langsung terdiam.

"Apa bapak akan memecat saya karena saya sudah berbohong?" tanya Elita dengan wajah sendunya menatap Elang.

"Untuk apa saya memecat kamu hanya karena kamu yang sudah memiliki anak. Itu urusan pribadimu tidak menunjukkan anak kamu di depan orang. Setiap orang punya alasan masing-masing bukan, kenapa ia menyembunyikan sesuatu hal?" tanya Elang seraya tersenyum manis.

"Terimakasih, Pak. Sekali lagi, saya minta maaf karena sudah tidak jujur tentang anak saya," jawab Elita seraya tersenyum.

"Nah begitu dong, senyum. Kan, lebih Cantik seperti namanya," ucap Elang d dan ia masih dengan senyuman menawannya. Elita langsung menatap malas bosnya itu. Elang hanya tersenyum saja melihat respon Elita, setidaknya wanita di hadapannya itu sudah lebih baik dari pada sebelumnya.

***

Pagi pun tiba, Elang sedang membeli sarapan untuknya juga Elita yang tadi sedang pergi ke kamar mandi. Ia hanya membeli nasi uduk serta gorengan yang ada di dekat rumah sakit. Walau ia dari keluarga kaya tapi, ia tidak malu makan-makanan pinggir jalan seperti ini. Makanan apa saja yang penting mengenyangkan sudah cukup untuknya.

Ia berjalan sambil bersiul, baju kemeja ia gulung sampai siku dan satu kancing bagian atas ia buka hingga dada putih berotot itu terlihat. Ia tersenyum ramah saat berpapasan dengan suster atau dokter. Sampai ia di lorong ICU Al, ia melihat Elita duduk di kursi dengan pakaian rapih kemudian berdiri saat melihat dokter ke luar dari ruangan ICU. Ia berjalan menghampiri dokter yang baru ke luar dari ruang ICU anaknya. "Bagaimana, Dok?" tanyanya yang bisa di dengar Elang.

"Kondisi anak Ibu masih belum ada perubahan."

"Dok, tolong sembuhkan anak saya," mohonnya dengan wajah sendu.

"Kami akan berusaha untuk menolong anak Ibu. Sekarang, kita hanya bisa berdo'a agar anak Ibu bisa segera melewati masa kritisnya dan sadarkan diri."

"Apa saya boleh masuk untuk melihatnya, Dok?" tanyanya dengan raut wajah sedih.

"Silahkan, Bu. Tapi hanya sebentar saja ya, Bu," ucap dokter.

"Iya, dokter,"

"Suster, tolong bantu Ibu Elita, ya," ucapnya pada suster.

"Baik, Dokter," jawab suster.

Suster pun mempersilahkan Elita masuk ke dalam terlebih dahulu. Sampai di dalam, suster membantunya untuk memakai pakaian steril. Selesai memakai pakaian steril ia berjalan mendekati tampat tidur Al. Air matanya sudah turun membasahi pipinya ketika dari dekat ia melihat putranya.

Ia meraih satu tangan Al yang terperban kemudian ia menggenggamnya. "Al, ini Mama," ucapnya mencoba menahan suara tangisannya. "Sayangnya Mama, bangun, dong. Mama kangen sama Al," lirihnya dengan suara parau karena menangis.

Elita menunduk kemudian mengecup punggung tangan putranya. "Kamu penyinar hidup Mama, walau pada awalnya Mama pernah berpikir buruk. Tapi, Mama sadar Mama salah. Tolong sayang, jangan tinggalin Mama," lirihnya sambil mencium punggung tangan anaknya kembali.

Air matanya terus jatuh membasahi wajahnya, Ibu mana yang tega melihat keadaan anaknya seperti ini. Kondisinya yang kritis membuat hatinya bagaikan teriris. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk tetap di ruangan, ia kemudian mencium kening putranya sebelum ke luar dari ruang ICU. "Cepat sadar sayang," bisiknya di telinga putranya.

Dengan wajah sendunya ia ke luar dari ruangan, Elang berdiri dari duduknya. "Bagaimana?" tanyanya saat ELita sudah ada di hadapannya.

"Kondisinya masih kritis," jawabnya tidak bersemangat sambil menunduk.

Elang tersenyum kemudian memegang pundak ELita. Elita yang tadinya hanya menunduk kini mendongak menatap bosnya itu. "Semangatlah, anakmu pasti akan sembuh. Ingat, kamu sendiri yang pernah berkata, pemikiran negatif lebih cepat terwujud di bandingkan pemikiran positif. Jadi, kamu harus berpikir positif sehingga anakmu akan baik-baik saja," ucap Elang sambil meremas pundak Elita untuk menguatkannya.

Elita kini memandang tepat di bola mata Elang, mereka saling beradu pandang cukup lama hingga suara Ibu Suri menyapa mereka berdua. "Eh, bu," ucap Elita sedikit tergagap.

Suri tersenyum, "Ini, Ibu bawakan sarapan. Kamu dan Pak Elang sarapan dulu saja sebelum kalian berangkat ke kantor!" ucap Suri sambil mengulurkan rantang pada ELita.

"Apa kamu mau masuk kerja hari ini?" tanya Elang yang baru menyadari penampilan sekretarisnya yang memang sudah siap bekerja .

"Iya, Pak."

"Kamu gak perlu bekerja hari ini," ucap Elang membuat Elita bingung.

"Enggak perlu kerja? Maksud bapak, saya di pecat?" tanyanya bingung.

"Kamu fokus dengan anakmu saja hari ini, saya kasih kamu izin sampai anakmu sudah tidak kritis lagi."

"Enggak, Pak. Saya harus bekerja!"

"Anakmu sedang sakit, kamu masih mau bekerja?" tanya Elang tidak percaya.

"Saya bekerja untuk anak saya, Pak. Kalau saya tidak bekerja siapa yang akan bayar rumah sakit?" tanya Elita menatap bosnya.

"Gajihmu tidak akan di potong jika kamu izin."

"Saya sudah ambil cuti satu minggu, jadi sudah cukup, Pak."

"Saya yang mengizinkan kamu untuk tidak bekerja sampai anakmu melewati masa kritisnya."

"Terus saya harus izin bagaiman? Tidak mungkin saya mengatakan jika anak saya di rawat di rumah sakit sedangkan mereka sama sekali tidak tahu saya sudah memiliki anak."

"Itu urusan saya, kamu fokus saja dengan keadaan anakmu."

"Tapi, Pak," ucap Elita yang tidak terima dengan keputusan bosnya.

"Sudahlah! Ikuti saja apa yang saya katakan."

"Pak, orang-orang akan salah sangka jika bapak memperlakukan saya seperti ini. Mana ada bos yang mengizinkan karyawannya lama-lama tidak masuk kantor tapi gajihnya tetap, tidak ada pengurangan sama sekali. Saya tidak mau makan gajih buta, Pak."

"Hah!" Elang mendesah kesal. Ia memegang pinggulnya sambil menunduk kemudian ia mendongak menatap Elita. "Kalau begitu, kamu handle pekerjaan kamu dari sini. Masalah rapat dan pertemuan dengan klient atau para karyawan saya akan menelponmu saat rapat dan pertemuan melalui vidio call."

"Pak, ini bisa menimbulkan bahan gibahan di kantor jika bapak melakukan hal ini."

"Saya bosnya, jadi saya berhak melakukan apapun sesuka saya!" tegasnya.

"Tapi, Pak," ucap Elita yang masih tidak terima dengan keputusan bosnya. Nyinyiran netijen itu sungguh membuat dirnyanya menjadi down.

"Anakmu hanya memiliki kamu sebagai Ibu dan sekaligus Ayahnya. Apa kamu tega, jika ia tidak bisa merasakan sosok seorang Ibu dan Ayahnya saat dirinya sedang sakit?" tanya Elang dengan suara lembut dan tatapan mata yang menduhkan.

"Sudahlah El, ikuti saja apa perintah bosmu. Lagipula, kehangatan seorang keluarga yang di butuhkan Al saat ini," ucap Ibu Suri menengahi.

Elita menghembuskan napasnya, ia akhirnya mengangguk pasrah menerima perkataan bosnya.

TBC...

Horeee... up lagi guys...

Yukslah, Jangan lupa tinggalkan jejak kalian melalui Koment, Vote dan power stonenya ya guys....

Siguiente capítulo