webnovel

• Sembilan.

Al melaporkan hasil temuannya pada Kapten Lukman. Semua anggota tim 1 dipanggil untuk membahas penemuan-penemuan mereka selama seharian ini. Setelah satu kesepakatan berhasil dibuat, Kapten melaporkannya pada atasan.

Semua orang menunggu. Menanti keputusan dibuat dan perintah selanjutnya ke luar.

Rekan satu tim Al memuji kejeliannya dalam melihat informasi. Akhirnya mereka bisa menemukan titik terang. Ketika Adam bertanya siapa yang diam-diam membantunya, ketika itu juga Zeroun lewat. Al menunjuk ke arah Zeroun.

Semua mata tertuju pada Zeroun. Ia baru memasuki ruangan dan segera menjadi pusat perhatian. Zeroun berhenti melangkah dan menatap balik. Mendadak orang-orang yang memperhatikannya salah tingkah.

Adam memukul tangan Al yang masih menunjuk ke arah Zeroun. Adam, Dio, Irawan, dan dua petugas lain yang sebelumnya menatap ke arah Zeroun, serempak mengalihkan pandangan mereka. Berpura-pura sibuk.

Zeroun kembali melangkah. Ia naik ke lantai dua tanpa menoleh lagi.

"Mustahil!" Dio berkomentar setelah Zeroun tidak terlihat lagi.

"Saya serius!" Al menekan kata-katanya, tahu tidak satu pun dari mereka mempercayainya.

"Iya, iya. Al kita memang yang paling genius." Adam menepuk-nepuk kepala Al lalu kembali ke tempatnya. Irawan juga ikut menepuk-nepuk kepala Al dan duduk di kursinya.

Al menghela nafas. Memerhatikan tingkah rekannya satu per satu. Tidak satu pun dari mereka yang mempercayai kata-katanya. Padahal ia jujur. Berbicara apa adanya. Al melirik ke lantai dua meski ia tahu Zeroun tidak akan terlihat dari tempatnya.

Ternyata bukan hanya Zeroun yang bersifat aneh. Orang lain juga akan ikut bersikap aneh jika menyangkut Zeroun. Bibir Al meruncing. Ia merapikan rambutnya yang berantakan karena ditepuk-tepuk.

Zeroun kembali ke kantor dengan penampilan yang sudah rapi. Seperti pagi hari saat baru datang. Tidak ada bekas keringat, penampilan berantakan, atau pun sepatu penuh lumpur. Tidak juga aroma matahari dan wajah kusam. Jauh berbeda dengan penampilan Al saat ini.

Al memerhatikan dirinya sendiri.

Beruntung ada pakaian bersih yang tersimpan dalam loker. Al mengambilnya dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri. Untuk merapikan penampilannya.

Saat di tempat pemancingan tadi, Zeroun menyebutkan kata kendaraan berulang kali. Menyebut satu persatu jenis kendaraan yang kemungkinan digunakan pelaku. Kata-kata itu yang akhirnya mengingatkan Al pada sesuatu yang nyaris ia lupakan.

Pertama kali mengunjungi rumah Bu Nur, sebenarnya jawabannya telah terlihat di sana. Begitu juga keterangan ibu pertama yang melihat pria itu berjalan ke luar gang. Semua cocok dengan petunjuk yang Zeroun berikan. 'Kendaraan pelaku.'

Petunjuk yang sudah terlihat sejak pertama kali mengunjungi rumah Bu Nur yaitu angkot-angkot yang terparkir di lapangan terbuka depan gang.

Irawan juga melihatnya karena mereka parkir di tempat yang sama. Alasan yang sama kenapa pria itu menggunakan rumah Bu Nur untuk tempat beristirahat. Juga kenapa pelaku memilih berjalan kaki ke luar gang.

Semuanya masuk akal. Karena pelaku adalah sopir angkot dan angkotnya terparkir di lapangan depan gang.

Al langsung bertanya pada Pak Bas. Meski tidak memerhatikan nomor plat angkot yang sering mengantar jemput Bu Nur di terminal, Pak Bas yakin itu angkot yang sama. Pak Bas melihat potongan si sopir yang tidak pernah berubah.

Dari informasi yang Pak Bas berikan, ciri-ciri si pria berhasil didapatkan. Kemudian dengan bantuan yang lain, mereka bertanya pada para sopir angkot mengenai ciri-ciri yang sama. Pada akhirnya identitas pria itu pun berhasil diketahui.

Menurut keterangan rekan sesama sopir, si pria sudah beberapa hari ini tidak terlihat, juga tidak bisa dihubungi.

Surat perintah ke luar 30 menit kemudian. Mereka kembali memanggil Bu Nur bersama dengan dipanggilnya seorang pria bernama Suparman. Mereka ditempatkan di ruangan yang berbeda dan diinterogasi secara terpisah.

Selama proses interogasi, Bu Nur tetap bungkam. Suparman sendiri terus berbicara berputar-putar. Tidak mengakui perbuatannya.

Tim pencari bukti sedang bekerja di luar sana. Di saat yang bersamaan ketika Bu Nur dan Suparman diinterogasi.

Zeroun ikut turun ke lapangan bersama dua orang dari unit Inafis. Mereka mencari jejak-jejak DNA Aldi yang tertinggal. Mencari tahu di mana tempat Aldi terbunuh.

Selama tiga hari setelah Aldi meninggal, Suparman tidak pernah menggunakan angkotnya untuk mengambil penumpang. Ia hanya bersembunyi dalam rumah. Ketakutan. Tidak berani melakukan apa pun. Tidak berani bertemu siapa pun.

Suparman tidak sadar sepatu Aldi tertinggal di dalam angkotnya. Terselip di bagian bawah kursi. Zeroun yang menemukan, langsung memasukkannya ke dalam kantong plastik barang bukti untuk diperiksa. Mereka juga menemukan jejak DNA yang kemungkinan besar milik Aldi di dalam rumah, di pojok ruang depan.

Keluarga Suparman jelas sangat terpukul dengan kejadian ini. Ibunya bahkan masih lemas dan belum bisa beranjak dari ranjang. Sebelumnya ibu pingsan melihat anak semata wayangnya dibekuk oleh polisi. Tatkala polisi meminta keterangan, hanya ada sang Ayah yang terlihat seperti orang linglung.

Jejak DNA yang berhasil dikumpulkan segera diekstrak dengan zat-zat kimia untuk dibandingkan dengan DNA milik Aldi.

Ketika hasilnya lab. ke luar, bukti yang tak terbantahkan pun lahir. Kalimat Suparman yang mengatakan ia tidak pernah membawa Aldi pulang kini terbantahkan. Sepatu terakhir yang Aldi kenakan, yang tertinggal dalam angkotnya pun membuat Suparman tidak lagi bisa mengelak dari tuduhan yang menjeratnya.

Yang bisa Suparman lakukan selanjutnya adalah menyesal dan menceritakan segalanya.

"Suparman telah mengakui kejahatannya. Sekarang tidak ada gunanya lagi Ibu menutup-nutupi perbuatannya." Kapten Lukman berbicara dengan Bu Nur di ruangan lain ketika semua pengakuan Suparman telah selesai didengarkan.

Hari itu Suparman membawa Aldi ke rumahnya untuk bertemu kedua orang tuanya. Ibunya sangat menyukai anak-anak, berpikir dengan mendekatkan Ibu dan Aldi, restu bisa mereka raih.

Sialnya siang itu kedua orang tuanya tengah tidak berada di rumah. Pergi mengunjungi kerabat yang memiliki hajatan. Aldi yang tidak suka berada di dekat Suparman terus-menerus merasa gelisah.

Aldi mulai merujuk minta pulang tapi tak sekali pun rajukan Aldi digubris Suparman.

Aldi mulai melakukan kesalahan-kesalahan kecil karena terus merasa gelisah. Menumpahkan air, menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah, dan terakhir, yang paling membuat Suparman murka adalah Aldi menginjak ponsel barunya yang belum lunas.

Sebenarnya Suparman tidak selalu kasar. Hanya saja ia adalah tipe yang tidak sabaran. Ia memiliki trauma masa kecil yang tidak Bu Nur ketahui.

Dulu sebelum ibunya menikah lagi, ayah Suparman adalah pria yang kasar dan pemarah. Kala itu Suparman dan ibunya sering menjadi sasaran kemarahan ayahnya.

Suparman sering menyaksikan bagaimana ibunya dipukuli. Disiksa. Bayang-bayang kekerasan itulah yang selalu menghantui Suparman. Membuatnya susah mengendalikan dirinya ketika marah.

Pun yang terjadi hari itu. Suparman menjadi sangat kesal ketika melihat ada retakan pada ujung ponselnya. Ia mulai membentak dan memukul Aldi sekali. Aldi yang menangis dan tidak bisa disuruh diam membuat kemarahan Suparman semakin menjadi-jadi.

Suparman mulai memukul Aldi lagi dan menjadi tidak bisa mengendalikan diri. Menendanginya. Memaki. Ingatannya ketika melihat ibunya disiksa memenuhi benaknya. Ia melihat kekerasan yang dilakukan Ayahnya, menjelma dan hidup dalam dirinya.

Gambaran yang dipenuhi amarah, terpantul dari kaca jendela. Bukan gambaran ayahnya, melainkan dirinya sendiri.

Ketika akhirnya Suparman sadar, Aldi telah kehilangan nyawa.

Sebelumnya jika Suparman memarahi Aldi kelewat keras, Bu Nur akan mengingatkan. Menenangkan kemarahannya. Nahasnya tidak ada siapa pun hari itu. Tidak ada orang yang bisa mengingatkan atau pun menenangkan kemarahannya yang menggeliat liar.

Hari ketika tubuh Aldi ditemukan adalah hari dimana ia memiliki janji memancing dengan temannya. Suparman memang selalu rutin pergi memancing satu sampai dua kali seminggu. Di tempat dan jam yang sama.

Setelah Suparman membuang tubuh Aldi di tempat itu, ia tidak mungkin lagi berani untuk datang. Tidak mungkin bertingkah seperti tidak ada yang pernah terjadi. Jangankan memancing, keluar dari rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari saja ia tak memiliki nyali.

Ibu Suparman yang khawatir sempat berpikiran buruk melihat perubahan sifat anaknya yang tiba-tiba. Tapi firasat itu ia abaikan begitu saja. Toh selama ini tidak pernah ada hal buruk yang terjadi.

Suparman tidak langsung memberi tahu Bu Nur mengenai apa yang terjadi pada Aldi. Ia tidak sanggup. Tidak tahu bagaimana cara memberitahukannya.

Ketika Bu Nur menelepon untuk menanyakan keadaan anaknya, ia mencoba mengarang kebohongan.

Semuanya menjadi berbeda setelah melihat sketsa wajah Aldi diumumkan di televisi. Suparman tahu, ia tidak akan bisa terus-menerus menyimpan kebohongannya.

Telepon dari Bu Nur yang ketiga kalinya ia angkat. Pertanyaan yang sama ia jawab. Bedanya semua pertanyaan ia jawaban dengan kejujuran. Tidak ada lagi yang berusaha ia tutup-tutupi.

Suparman menangis. Memohon pengampunan. Meminta wanitanya agar sudi melindunginya. Agar tidak melaporkannya. Ia tidak ingin ditangkap. Tidak ingin mendekam di balik jeruji besi.

Bu Nur tidak pernah tahu trauma yang Suparman miliki. Tidak pernah tahu alasan pria itu tampak mengerikan ketika marah. Ia begitu memaklumi kekasarannya. Menerima semua sifat buruknya. Memperlakukan sama seperti Suparman mau menerima segala kekurangannya. Bu Nur sama sekali tidak tahu betapa dalam diri Suparman hidup sebuah ancaman yang menakutkan.

Tidak ada tanggapan apa pun yang Bu Nur suarakan begitu Kapten Lukman selesai bercerita. Yang terdengar hanya isak tangisnya. Memegangi dadanya yang sesak. Ia seperti merasakan kesakitan Aldi menjelang ajalnya. Seperti merasakan ketakutannya. Juga dingin yang teramat setelah tubuhnya dilempar dan tenggelam ke dasar sungai.

Isak tangis Bu Nur menggambarkan rasa sakitnya, kesedihannya, perasaan kehilangan. Ia seorang ibu, tapi dibalik itu ia juga seorang wanita biasa yang tidak berdaya.

"Berapa lama Suparman akan dihukum?" tanyanya disela isak tangisnya.

"Bisa 15-20 tahun. Tergantung hasil persidangan nanti."

"15 tahun?!" Bu Nur mengulang dengan setengah memekik. "Lalu bagaimana dengan saya? Apa yang harus saya lakukan? Enggak bisakah Suparman dimaafkan saja? Bukankah di sini saya yang kehilangan. Saya yang dirugikan. Apa saya enggak berhak mengambil jalur damai? Apa saya enggak bisa menjadi orang yang membuat keputusan?"

"Ibu..."

"Tidak bisakah saya yang memutuskan hukumannya?"

"Ibu… Ibu, mohon tenang," Kapten Lukman meminta.

"Bagaimana saya bisa tenang, Pak? Sekarang saya benar-benar sebatang kara. Aldi sudah tidak ada lagi. Anak saya sudah pergi untuk selamanya. Dan sekarang, kalian juga akan mengambil Suparman. Sekarang bagaimana saya bisa hidup?" Isak Bu Nur kembali pecah.

"Bu, ini bukan kesalahan yang bisa selesai hanya dengan memberi maaf. Ini kejahatan. Pembunuhan. Nyawa seseorang hilang di sini. Dan itu adalah anak Ibu sendiri. Semua sudah diatur undang-undang dan kami hanya menjalankan tugas sesuai aturan," Kapten Lukman memberi pengertian. Berharap bisa membuka pikiran Bu Nur.

Al yang menyaksikan proses interogasi Bu Nur mengepalkan tangannya erat-erat. Tatapannya lurus tertuju pada Bu Nur. Ia merasa marah tapi tidak ingin menghakimi. Ia tidak pantas melakukan penghakiman. Bukan kuasanya.

Zeroun yang berdiri di sebelah Al tanpa sengaja memerhatikan ekspresi Al, juga bahasa tubuhnya.

Seseorang, sekuat apa pun bisa berubah menyedihkan ketika hatinya lemah. Bisa tersesat karena hatinya rapuh. Pijakan yang teramat lapuk. Al juga merasa sama. Ia merasa hatinya masih terlalu lemah. Masih belum bisa memaafkan. Belum bisa melupakan.

Kasus telah terpecahkan. Beban pekerjaan setidaknya telah terangkat. Kapten Lukman, Zeroun, dan anggota tim satu sampai ke rumah masing-masing lebih lambat dari hari-hari sebelumnya. Hari yang melelahkan tapi semua terbayar sudah.

Begitu sampai di rumah, Kapten Lukman telah melewatkan makan malam bersama dan jam belajar anak-anaknya. Ia hanya kebagian waktu untuk bermain sebentar kemudian meninabobokan keduanya.

Adam dan Dio menghabiskan waktu dengan berkeliling dan ikut berkumpul dengan teman-teman lamanya. Untuk ikut meramaikan suasana.

Adam dan Dio berasal dari sekolah yang sama saat SMA, sehingga dibandingkan dengan yang lain, mereka memang terlihat lebih kompak.

Untuk Irawan, Adam dan Dio sebenarnya sudah menawarkan agar ikut bergabung. Hanya saja Irawan menolak. Ia lelah. Jadilah sesampainya di rumah Irawan hanya bersantai dan bermalas-malasan. Mata dan jempolnya sibuk berselancar di dunia maya sampai ia tertidur dengan sendirinya.

Al sendiri membuat dirinya sibuk dengan dunianya. Besok ia akan menghadiri reuni SMA dan merasa sangat bersemangat. Ia telah mempersiapkan semuanya dengan sempurna.

Dua hari lalu, sepulang kerja Al menyempatkan membeli pakaian baru. Khusus untuk acara besok.

Sejak sore grup WA tidak hentinya berisik. Mereka mengabsen dan membahas banyak hal. Jika dilihat-lihat, bukan hanya Al yang bersemangat. Teman-teman alumni pun sama.

Di antara para nama yang telah memberi konfirmasi kedatangan mereka, ada satu nama yang sangat menarik perhatian Al. Satu nama yang kemudian membangkitkan banyak kenangan. Juga impian-impian manisnya.

Yah, meski pemilik nama itu kini telah menjadi milik orang lain.

Al menyalin pesan, melanjutkan dan menulis namanya, kemudian menekan tombol send.

... 31. Rasyid Aldebaran.

Pakaian yang akan dikenakan besok telah selesai disetrika dan digantung. Sepatu juga sudah ia sikat sampai mengkilap. Al kemudian melompat ke atas ranjang dan meraih ponselnya. Ikut meributkan suasana dalam grup.

Seperti yang lainnya, Zeroun juga tengah menikmati dunianya sendiri. Kompor sedang memanaskan air dalam ceret.

Tangan Zeroun meraih vakum dan membersihkan ruangan sampai ke sudut-sudut terdalam. Meski masih tampak bersih dan tidak terlihat ada debu di sana, Zeroun tetap membersihkan ulang semuanya.

Zeroun tinggal seorang diri. Rumahnya tidak memiliki banyak sekat antar satu ruangan dengan ruangan lainnya sehingga terkesan sangat luas. Barang-barangnya juga tidak banyak. Selesai memvakum, Zeroun menyedu teh untuk dijadikan teman membaca buku. Tidak lupa mendengarkan musik klasik sebagai teman membaca.

Begitulah Zeroun menghabiskan malamnya. Selalu sama seperti malam-malam sebelumnya.

Siguiente capítulo