webnovel

[Kim Taehyung] Tim yang Tak Ada Harapan (1)

Langkah tegak siswi itu membelah koridor BigHit Middle School—sekolah kesenian dan olahraga terbaik di distrik Gangnam, Seoul. Rambutnya dicepol ke atas. Dagunya terangkat, memandang angkuh pada setiap orang yang dilewatinya.

Layar televisi berukuran cukul besar—berada di tengah-tengah koridor menampilkan stadium baseball dengan lambang 'Tigers'—menyorot para pemain dengan seragam kuning-hitam dan topi kuning berlogo T.

"Pertandingan akhirnya mencapai inning ke tujuh!" Si reporter memberikan laporannya.

"Pertandingan sengit untuk memperebutkan gelar juara world series antara Tigers dan Bears. Di inning sebelumnya, Bears yang mulanya tertinggal dua angka—akhirnya bisa membalik keunggulan setelah batter andalan mereka, Joe Junior, mencetak home run. Skor 3-2, untuk kemenangan Bears. Dengan ini, Tigers terancam gagal mempertahankan gelar dunia mereka untuk ketiga kalinya…"

Langkah gadis itu terhenti ketika layar menampilkan punggung pemain bernomor 17.

"Nampaknya sesuatu telah terjadi pada Kim. Apakah yang terjadi pada pitcher andalan Tigers tersebut?

"Sejak inning pertama, dia tampil sangat bagus hingga di inning ke lima performanya mulai menurun dan puncaknya memberi lemparan home run pada lawan."

"Cih!" Decih gadis tersebut.

"Kim Soohyun-nim, kuatkan dirimu kau tidak boleh kalah di sini!" Seru seorang siswa sambil mengepalkan kedua tangannya.

Siswa lain yang merangkul bahunya. Tertawa lalu sesumbar, "Sudah, pasrah saja Taehyung-a! Lebih baik kau persiapkan saja uangnya. Hasilnya sudah bisa dipastikan, Bears akan menang."

"Sialan, percaya diri sekali kau. Pertandingan belum berakhir, masih dua inning lagi," balas siswa itu—Taehyung—tak terima.

"Kali ini aku setuju dengan Jimin." Siswa yang lain berbicara. Diangguki siswa yang tengah merangkul siswa tersebut.

"Dilihat dari performa Kim Soohyun-nim, akhir musim ini menurun drastis. Dengar-dengar, cideranya kembali kambuh. Tigers, sudah tak punya pitcher lagi. Performa mereka terkuras

habis di pertandingan sebelumnya. Mereka, tak punya harapan!"

"Berisik! Kalian diam saja dan mari kita lihat, Tigers pasti akan menang!"

Ujung bibir gadis itu tertarik ke atas. Melipat kedua tangannya di dada, pandangannya

terangkat. Memandang sinis ke arah layar. "Dasar sampah," hardiknya sebelum berlalu pergi.

Taehyung yang mendengar ucapan gadis itu mundur, lalu berbalik. Membuat gadis tadi

menabrak dirinya. Mata mereka bersibobrok sebelum Taehyung mendesis kesal, "Apa tadi kau bilang?"

Mata bulat gadis itu menantang Taehyung. Sama sekali tak berkedip atau menunjukkan reaksi takut. "Apa urusanmu," jawabnya.

"Kalau yang kau maksud sampah adalah Tigers atau Kim Soohyun, maka itu urusanku. Mereka adalah tim kesayanganku dan Kim Soohyun-nim adalah idolaku! Tentu saja aku tak terima jika ada yang menghina mereka."

Gadis itu tersenyum remeh. "Memangnya aku peduli." Gadis itu melengos.

Taehyung mencegatnya. Lagi-lagi gadis itu tak menunjukkan raut takut. "Eh, jadi seperti itu panutanmu. Pantas saja—payah." Singkat dan sangat menusuk. Taehyung sungguh dibuat marah dengan ucapannya.

Jika saja Hoseok tak menahannya, dia mungkin sudah membuat perhitungan dengan gadis yang telah berjalan menjauhi mereka itu. Taehyung berdecih melihatnya. Cantik sih, tapi seperti nenek lampir.

Sementara dari arah utara, Jungkook berlari tergesa-gesa. Setelah melihat keberadaan Taehyung dan kawan-kawan, dia mempercepat langkahnya. Namun dia tak sadar bahwa tali sepatunya lepas yang

akhirnya dia tersandung. Naasnya, dia menubruk seseorang sebelum berhasil mengerem langkahnya.

"Brengsek," umpat siswi yang Jungkook tabrak.

Jungkook yang sadar telah menubruk seseorang, lantas berdiri agar orang itu tak keberatan menopang tubuhnya.

Jangan kalian pikir ini akan menjadi adegan romantic seperti yang ada di drama-drama! Tidak, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu. Ada hal yang lebih penting untuk dia sampaikan pada teman-temannya.

"Matamu di taruh di mana sih?" Siswi itu kembali mengumpat.

"Maaf."

Hanya itu yang Jungkook ucapkan sebelum akhirnya meninggalkan siswi tadi dengan beribu kegeramannya. Pagi yang sangat sial menurutnya!

"Hyung!" Jungkook sampai di depan layar televisi. Bergabung dengan empat siswa yang lain. Napasnya terengah-engah.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Hoseok. Mereka tadi melihat, Jungkook jatuh tersungkur dan

menabrak gadis tadi.

"Eoh, gwenchana! Lagi pula aku membawa kabar yang lebih penting." Jungkook mengangkat telapak tangannya. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Meminta waktu untuk menetrelisir degub jantungnya.

Setelah beberapa saat, dia melanjutkan, "Aku dengar dari tim bola, klub kita akan dibubarkan? Apa kalian sudah tahu?"

Kalimat terakhir Jungkook bertepatan dengan teriakan reporter dan sorakan pendukung di

stadion. Home Run! Bears akhirnya menang dengan skor 6-3.

Jimin bersorak kegirangan, sementara Yoongi dan Hoseok sudah pasrah bahwa tim kesayangan mereka mengalami kekalahan. Tinggal Taehyung yang terdiam beberapa saat. Rahangnya mengetat. Masih belum bisa menerima kekalahan tim kesayangannya.

"Hyung! Ini bukan waktu yang tepat untuk meratapi nasib tim lain. Bagaimana dengan tim kita?" Jungkook menggoyangkan bahu Taehyung.

Taehyung, Jimin, Yoongi, dan Hoseok menghela napas hampir bersamaan.

Sial! Bukan reaksi seperti ini yang Jungkook harapkan. Atau jangan-jangan… "Kalian sudah tahu?" Duga Jungkook.

Lagi-lagi tak mendapat respon yang dia inginkan. Mereka hanya menatap dirinya lamat. Seolah tak mau membicarakan masalah ini.

"Kenapa?" Tangan Jungkook mengepal. Jika saja dirinya tak lupa, mungkin air matanya akan menetes sekarang juga. "Aku bagian dari tim ini, iyakan?" Pungkasnya.

Jungkook teramat kecewa pada mereka yang sudah ia anggap teman—tidak! lebih dari itu, Jungkook menganggap mereka semua saudara laki-lakinya. Rasa kecewanya kini melebihi ketika tahu bahwa tim baseball akan dibubarkan.

Kenapa mereka tak memberitahu dirinya?

Taehyung ingin menyusul Jungkook, namun Yoongi menarik pundaknya, lalu menggeleng.

"Dia butuh waktu." Giliran Hoseok yang buka suara.

"Hoseok Hyung benar." Jimin menyetujui. "Dia akan lebih terluka kalau tahu bahwa ibunya juga menjadi salah satu dalangnya."

Tangan Taehyung mengepal.

Sialan! Entah sudah berapa kali hal buruk menimpa dirinya dan teman setimnya, Bangtan.

Sebelumnya, tim baseball di sekolah menengah pertama yang baru berdiri selama sepuluh tahun itu sangat popular. Bahkan ditahun ke dua BigHit didirikan, secara mengejutkan tim baseball mereka

berhasil lolos ke turnamen tingkat provinsi. Lalu menjuari turnamen tingkat provinsi di tahun ke tiga dan puncaknya berhasil lolos ke turnamen nasional dan meraih juara harapan satu pada tahun ke tujuh. Hal itu yang membuat Taehyung dan keenam siswa lainnya termotivasi masuk ke sekolah swasta ini dengan satu tujuan, masuk ke klub baseballnya yang kondang akan kehebatannya.

Namun nampaknya dewi fortuna tak lagi memihak mereka. Sejak dua tahun lalu, yaitu dimulai pada tahun ke delapan BigHit

didirikan, performa tim baseball mereka menurun. Ditahun ke Sembilan, setelah melalui serangkaian tes masuk, Taehyung dan siswa baru lainnya yang ingin bergabung ke tim ini akhirnya di terima. Sayangnya,

performa tim ini bukannya membaik justru sebaliknya. Mereka selalu mengalami kekalahan beruntun, bahkan gagal lolos di turnamen wilayah.

Akhirnya di tahun ini, tahun ke sepuluh… Banyak siswa yang mengundurkan diri. Parahnya, tak ada satupun siswa baru yang ingin bergabung dengan tim baseball mereka. Maka tersisalah tujuh orang, yang akhirnya menamai diri mereka Bangtan Boys; Kim Taehyung, Park Jimin, Min Yoongi atau yang biasa dipanggil Suga, Jung Hoseok, Jeon Jungkook, Kim Namjoon, dan Kim Seokjin.

Semester baru berjalan dua bulan, tapi mereka kembali mendapat cobaan; pelatih mereka pensiun dan sekolah tak mau mencarikan gantinya. Katanya percuma, toh tim mereka selalu kalah.

Sebulan kemudian, lebih tepatnya beberapa

hari yang lalu. Muncul wacana bahwa tim mereka akan dibubarkan. Lengkap sudah kesialan mereka.

Taehyung bersumpah dalam hatinya. Tak akan membiarkan tim ini bubar begitu saja. Tunggu saja, dia akan membuktikan bahwa tim ini bukanlah—tim tak ada harapan—seperti yang mereka semua anggapkan.

Siguiente capítulo