Satu bulan telah berlalu. Banyak hal yang telah terjadi sebelum itu. Presiden angkat bicara mengenai isu keamanan di Pulau Gama yang semakin memburuk akhir-akhir ini dan berjanji akan segera mengatasinya.
Laporan mengenai suara tembakan yang terdengar dalam sebulan terakhir telah beberapa kali masuk. Korban yang merupakan warga asing muncul dengan luka tembak di rumah sakit, warga lokal yang terdeteksi memiliki senjata api, semua hal yang terjadi dalam waktu berdekatan benar-benar menimbulkan keresahan dan kepanikan.
Para jurnalis tidak berani menulis berita sembarang karena tidak ingin menyebabkan kegemparan yang lebih parah, yang akhirnya bisa menimbulkan kekacauan. Dengan tidak adanya penjelasan dari pihak terkait, rumor dan prasangka menyebar dengan cepat di media sosial.
Pada abad ini orang-orang lebih banyak berinteraksi dan menghabiskan waktu di media sosial. Apa yang mereka baca, lihat, cermati, secara tidak sadar memberi pengaruh besar terhadap cara berpikir.
Di media sosial, banyak yang beranggapan bahwa yang terjadi di Pulau Gama dalam sebulan terakhir adalah perang antar geng. Ada juga yang berpikir keributan antar para pengedar narkoba. Yang terekstrem dan paling populer adalah anggapan mengenai rencana kudeta yang dilakukan sekelompok golongan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Puncak dari semua pertanyaan dan prasangka adalah ketika Moissani Sekai terbunuh.
Sejak N Island berdiri, kepercayaan masyarakat tidak pernah serendah ini. Keamanan Negara pun tidak pernah begitu rentan. Rakyat menuntut penjelasan, menuntut penyelesaian, menuntut keamanan Pulau Gama lebih ditingkatkan, menuntut tindakan tegas Pemerintah.
Beberapa hari kemudian, Arata Baswara muncul di depan media. Di hadapan kamera ia meminta maaf dan mengatakan penyesalan yang dalam. Secara mendadak Arata mengundurkan diri dari pencalonannya.
Sontak saja media menjadi ramai. Masyarakat semakin bertanya-tanya. Arata Baswara adalah calon yang memiliki peluang besar untuk menang. Meski banyak yang meragukannya terkait tidak transparannya dana kementerian yang pernah ia pimpin, prestasi yang pernah ia torehkan ketika memegang jabatan menjadi tolak ukur lain.
Tidak ada penjelasan mendetail yang Arata sampaikan setelah permintaan maaf dan pengumuman pengunduran dirinya. Ia kemudian menghilang, sama sekali tidak pernah terlihat di mana pun. Media mendatangi kediaman Arata Baswara, tapi tidak ada satu pun anggota keluarga yang memberi pernyataan.
Terakhir kali seseorang melihatnya berada di pinggiran kota bersama asistennya. Foto yang terlihat mirip diunggah di media sosial. Karena foto diambil dari belakang, dengan jarak yang cukup jauh, tidak banyak orang yang percaya kalau sosok di foto itu adalah Arata dan asistennya.
Permintaan maaf Arata Baswara, pengunduran diri, tiba-tiba menghilang, menghidupkan dugaan dan prasangka baru. Beberapa orang mengaitkannya dengan keamanan Pulau Gama yang semakin memburuk, beberapa orang menyebutnya konspirasi, beberapa orang lainnya mengaitkannya dengan desas-desus proyek rahasia yang sebelumnya pernah beredar. Sisanya mengaitkan semuanya sekaligus. Menghubungkan yang berhubungan, dan menghubung-hubungkan yang sama sekali tidak berhubungan.
Bagi orang-orang yang tidak terlibat, semua yang terjadi hanya dugaan dan tetap akan menjadi dugaan. Selamanya tidak akan bisa mereka rangkai dengan utuh. Mereka dekat, berada di Negara yang sama, pulau yang sama, tapi apa yang telah terjadi tetap terasa begitu jauh, mustahil mereka sentuh.
Setelah N Island dan Indonesia berhasil meluruskan kesalahpahaman satu sama lain, kedua Negara semakin intensif meningkatkan kerja sama. Mereka juga sepakat melakukan penyelidikan gabungan untuk membawa Negara ketiga ke peradilan internasional.
Di tempat lain...
Di depan komputer miliknya, seorang pria menatap dengan serius. Ia telah melakukan pencarian selama berhari-hari, menghubungi rekan-rekannya di berbagai tempat, akhirnya, hari ini, pencariannya membuahkan hasil. Adiknya yang menghilang ternyata telah meninggalkan N Island.
Tujuan selanjutnya kemungkinan terbesar adalah Negara ketiga. Entah apa yang adiknya cari atau apa tujuannya, yang bisa dilakukan hanya mengikuti jejak-jejaknya dan menyusul ke tempat yang sama.
Adiknya pernah dimanfaatkan, pernah mengambil jalan yang salah. Kali ini jangan lagi. Tidak boleh!
***
Aku akhirnya bangun setelah sepuluh tahun tertidur. Selama jeda waktu itu, orang lain telah berulang kali mencoba mendaki keberuntungan untuk mengubah hidup mereka. Telah terjatuh berkali-kali dan bangkit lagi. Telah berusaha begitu keras sembari kening dan mata bercucur air. Sementara aku, baru akan memulai segalanya.
Banyak dari teman-temanku telah memiliki karier yang baik, menikah, dan memiliki anak. Sementara aku, baru akan memulai hidupku.
Selama sepuluh tahun aku telah melewatkan banyak hal, melewatkan pergantian presiden, kejadian-kejadian menggemparkan, terbunuhnya salah seorang calon presiden, dan mengundurkan diri calon yang lain.
Kudengar, karena tersisa satu calon untuk menduduki posisi tertinggi sebagai pemimpin Negara, calon itu akan berhadapan dengan kotak kosong di hari pemilihan. Jika bisa memenangkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah penduduk N Island, maka ia akan menjabat. Jika tidak, akan dibuka pencalonan baru.
Aku benar-benar telah melewatkan banyak hal.
Jika dipikir-pikir lagi, beberapa orang mungkin akan merasa iri padaku. Betapa nyaman hidup yang kujalani selama sepuluh tahun ini, hanya tidur di atas ranjang, tidak ikut berjuang, tidak memikirkan apa pun. Tanpa ketakutan.
Yang kusesalkan dalam hidupku hanya satu, saat akhirnya bisa membuka mata aku tidak lagi bisa bertemu dengan ibu. Kata para pengurus, ibu meninggalkan karena sakit tiga tahun lalu.
Seandainya aku bangun lebih cepat, aku pasti akan merawat ibu saat sakit. Seandainya aku bangun lebih cepat, aku pasti masih sempat bertemu ibu, masih sempat mengucapkan terima kasih, dan masih sempat mengucapkan selamat tinggal.
Seandainya...
Aku berdiri di depan cermin. Lagi-lagi tanpa sadar aku meraba daun telinga sebelah kiri seolah ada sesuatu di sana. Berapa kali pun aku meraba, memfoto dengan ponsel, tidak ada apa-apa di sana. Mungkin secara tidak sadar aku telah membangkitkan kebiasaan baru. Seperti kebiasaan lain ketika tanganku menggenggam lengan yang lain saat perasaanku mendadak buruk.
Luka yang tertinggal di tubuhku hanya luka di pipi yang terlihat seperti luka sayatan dan luka jahitan di kepala. Seharusnya dalam waktu sepuluh tahun, luka di kepalaku telah pulih tapi entah kenapa justru terasa seperti luka baru.
Tidak, aku tidak ingin memikirkan atau menduga-duga karena pasti hanya akan berakhir dengan menakut-nakuti diri sendiri.
"Haidee!"
Pintu diketuk dan suara Kak Saya memanggil namaku. Kak Saya adalah anak tertua dari ibu panti yang akhirnya mewarisi dan mengambil alih kepengurusan panti.
Ah, sepertinya kau sudah terlalu lama berada di kamar mandi.
"Aku sama Kakak iparmu mau pulang dulu mengurus tempat tinggalmu. Besok kami datang lagi, sekalian jemput kamu pulang!"
Aku keluar dari kamar mandi dan melihat Kak Saya dan suaminya sedang berkemas untuk pulang. Aku mengangguk dan berterima kasih.
Ini adalah hari terakhirku di rumah sakit. Saat sendiri aku merasa seperti ada yang kosong atau sesuatu yang tiba-tiba hilang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Apa mungkin ini adalah jenis perasaan yang dirasakan semua pasien yang baru bangun setelah sepuluh tahun koma, atau aku memang telah kehilangan sesuatu yang tidak kusadari.
Setelah Kak Saya pulang, aku berjalan-jalan di sekitar halaman rumah sakit. Aku merasa lebih tenang saat berada di tempat terbuka, saat bisa melihat banyak orang. Aku merasa damai saat melihat langit, saat merasakan semilir angin.
Aku masih mencari tempat untuk duduk ketika sebuah kertas terbang ke arahku dan menempel di wajahku. Aku mengambil kertas itu dan melihat gambar pohon yang baru diwarnai setengahnya. Aku mengalihkan wajahku, seorang anak laki-laki dan ibunya kini berdiri di depanku.
"Ini kertas gambarmu?" Aku bertanya pada si anak yang dijawab dengan anggukan. "Gambarnya bagus," tambahku sembari menyodorkan kembali pada pemiliknya.
"Bilang, terima kasih," kata si ibu.
"Terima kasih," kata si anak menuruti perkataan ibunya.
Aku membalas dengan senyum dan melihat mereka berlalu. Aku menempati kursi yang sebelumnya diduduki oleh anak dan ibu yang baru saja pergi. Selama masa pemulihan, aku telah beberapa kali melihat anak itu. Kadang ayahnya datang, kadang hanya ibunya yang mengantar.
Biasanya aku hanya melihat anak itu kontrol, tapi kali ini ia mengenakan piama rumah sakit yang artinya menjalani rawat inap. Aku tidak tahu apa penyakitnya, tapi berharap tidak parah. Usianya masih terlalu kecil untuk menanggung derita.
Langit hari ini memang cerah, panasnya menyengat. Aku tidak peduli tubuhku terbakar dan aroma matahari akan tercium. Aku memutuskan tetap berdiam selama beberapa saat untuk berjemur, merasakan hangatnya, dan perasaan bebas.
Seorang pria yang tidak kukenal tiba-tiba ikut duduk di sampingku. Suara srot-srot dari kotak minumannya yang telah habis terdengar sangat berisik. Setelah ia melemparkan satu kotak susu yang telah kosong ke tempat sampah, ia mengeluarkan satu lagi dari saku jaketnya, dan satu lagi dari saku kanannya.
"Aku tidak suka kopi. Ini untukmu saja," kata pria itu sembari meletakkan kaleng kop instan di dekatku.
Aku hanya mengangguk melihat tingkahnya. Kenapa dia membeli kopi jika tidak suka? Tidak mungkin, kan membeli dua kotak susu UHT kemasan 250 ml gratis satu kaleng kopi. Jelas-jelas mereknya dari perusahaan yang berbeda.
"Minum!" katanya mempersilahkan.
Aku berhenti berpikir dan menerimanya. Toh, aku memang penyuka kopi. Apa lagi kopi instan. Sebelum aku mulai minum, pria itu mentoskan kotak susunya dengan kaleng kopi di tanganku.
Kenapa sekarang rasanya dia seperti sok akrab.
"Cuacanya terik," kata pria itu.
"Terlalu terik," balasku.
"Kalau terlalu terik kenapa kamu duduk di sini? Berjemur?" katanya lagi.
"Tidak apa-apa, kan? Mumpung cuacanya bagus jadi jangan sampai dilewatkan. Belum tentu besok matamu masih terbuka dan bisa menikmati hari seperti ini."
"Benar juga." Pria itu mengangguk. "Nikmati sebelum tidak bisa dinikmati. Rasakan sebelum hilang. Oke, kalau begitu selamat menikmati. Aku pergi dulu!"
Aku tersenyum mendengar tanggapannya. Pria itu berjalan menjauh, menyeberang jalan, dan menghilang. Ketika sadar, aku dan pria itu ternyata telah berbicara akrab. Rasannya seperti kami saling mengenal.
"Benarkah?"
Aku berusaha mengingat wajahnya yang tertutup topi dan mencarinya dalam ingatanku. Pria itu tidak terlihat seperti penduduk lokal N Island, jelas bukan salah satu teman sekolahku karena usia kami terlihat berbeda.
Aku berpikir, berpikir, dan berpikir tapi tetap tidak bisa mengingatnya. Lagi pula jika benar kami saling mengenal, harusnya dia menyebutkan namanya.
Mungkin hanya perasaanku.
Matahari semakin terik dan aku mulai tidak bisa menahan panasnya. Aku beranjak dan memutuskan untuk berkeliling rumah sakit untuk menghilangkan suntuk.
Aku berputar-putar, dari satu lorong ke lorong lain, membaca nama-nama ruangan yang kulewati, mengintip di setiap pintu. Ketika telah bertemu jalan buntu, aku naik dengan menggunakan tangga darurat. Jika ada yang memperhatikan CCTV, aku mungkin dianggap orang kurang kerjaan.
Kenyataannya memang benar. Selain berbaring dan hanya memainkan ponsel, tidak ada yang bisa kulakukan di kamar. Para tetangga di ranjang lain seharian hanya menutup rapat tirai mereka dan sibuk sendiri. Jika pun akhirnya dibuka, itu karena ada kenalan yang datang membesuk.
Aku baru saja melewati ruang anak ketika aku mendengar seseorang bersenandung. Suaranya merdu dan lembut, benar-benar enak didengar. Aku menghentikan langkahku dan berbalik. Aku suka mendengar suaranya, merasa tidak asing dengan nadanya.
Walau tidak ada siapa pun yang kukenal di ruang anak, aku memutuskan untuk memeriksanya. Aku merasa terpanggil oleh senandungnya.
Suara berasal dari ranjang pertama sebelah kiri. Aku melangkah masuk ke dalam ruangan. Aku berencana membuka sedikit tirai untuk mengintip, tapi aku kemudian merasa ragu. Bagaimana kalau aku dikira gila atau orang mesum?
"Ah, bilang saja salah tempat."
Setelah yakin akan beralasan seperti apa saat tertangkap basah, pelan-pelan aku menyingkap tirai. Benar-benar pelan, perlahan. Ketika telah terbuka sedikit, aku bisa melihat wajah ibu dan anak di dalam sana adalah ibu dan anak yang sebelumnya bertemu di halaman depan.
Si ibu bersenandung untuk menidurkan anak lelakinya. Aku menatap lama wanita itu. Rasanya ada yang tidak benar. Sebelumnya, saat bertemu di halaman, aku tidak memiliki kesan khusus. Entah karena aku tidak terlalu memperhatikannya atau apa. Sebelumnya, benar-benar tidak terasa seperti ini.
Aku memperhatikan wanita itu semakin lekat, meyakinkan perasaanku, meyakinkan hatiku apakah aku mengenalnya.
Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan, akhirnya wanita itu mengangkat wajahnya dan menangkap basah keberadaanku yang mengintip. Aku tersenyum dengan canggung, wanita itu tidak mengatakan apa pun. Tidak merasa takut atau menganggapku gila, mesum, atau sejenisnya. Wanita itu memandangku dalam diam, tatapan matanya mengatakan dia mengenalku.
Dia mengenalku.
~SELESAI~
BONTANG, 25 DESEMBER 2020
22:29
Terima kasih sudah mengikuti Novel ini sampai akhir. Silakan tinggalkan tanggapan, kritik, dan saran untuk cerita ini. Sampai ketemu di Novel selanjutnya :)