Adiwangsa memaksa memasuki kantor tempat Arata Baswara berada. Ia bermain kejar-kejaran dan bergelut dengan beberapa keamanan. Sebenarnya akan lebih mudah jika ia menyamar dan berpura-pura sebagai relawan, tidak perlu ada adegan adu kekerasan, kejar-kejaran, dan membuang-buang waktu.
Rencana awal Adiwangsa datang dengan niat baik. Jadi, karena berniat baik ia tidak akan melakukan hal culas dengan masuk dengan diam-diam. Sayangnya niat baiknya tidak dihargai dengan baik, sehingga ia harus bermain sedikit keras.
Kedatangan Adiwangsa tidak diterima dengan baik tentu saja merupakan hal yang wajar. Ia pernah mengacaukan penelitian, mencuri Objek 011 dan menyembunyikannya, menyelundupkannya ke luar negeri. Semua orang mengingat hal itu, hanya Adiwangsa saja yang terlalu naif.
Adiwangsa menyandera kepala keamanan dan menodongkan ujung pulpen yang didapat dari meja sekretaris ke leher sanderanya. Para keamanan yang mengepung Adiwangsa bergerak dengan hati-hati. Mereka tidak ingin bos mereka menjadi korban atau bernasib sial.
Bersama dengan sanderanya, Adiwangsa terus mundur, selangkah demi selangkah sampai mentok pada sebuah pintu yang menjadi tujuan kedatangannya. Adiwangsa menendang pintu dengan kasar hingga terbuka.
Arata Baswara berada di ruangannya, duduk santai di kursi kerjanya seolah sedang menunggu. Sementara asistennya, Hazima Emi, berdiri di depan meja kerja.
Adiwangsa melepaskan sandera dan menjatuhkan pulpen yang dibawanya. "Aku ingin bekerja sama," katanya sembari mengangkat kedua tangannya.
Dengan isyarat, Arata memerintahkan keamanan yang memenuhi kantornya untuk keluar dan menutup pintu.
"Kerja sama?" Arata mengulang. Ia bangkit dari tempatnya kemudian berpindah ke depan meja dan berdiri bersandar di sana dengan tangan dilipat di depan dada. "Apa seperti itu cara menawarkan kerja sama?"
"Mereka tidak mengizinkanku masuk. Aku tidak punya pilihan." Adiwangsa menurunkan tangannya yang masih terangkat di udara.
Merasa lelah setelah berlari-larian dan menghadapi beberapa keamanan yang merepotkan, Adiwangsa duduk di kursi tamu yang berada di bagian kanan ruangan. Ia bahkan mengambil air mineral kemasan yang ada di meja dan meneguknya.
Arata hanya melihat saja dari tempatnya berdiri tingkah Adiwangsa yang seenaknya. "Kamu pikir mereka akan diam saja setelah kamu mencuri sesuatu yang tidak seharusnya kamu sentuh?"
"Ayolah, itu kejadian tiga tahun lalu. Kalian harus bangun dan menjadi sedikit rendah hati untuk memaafkan. Dengan begitu kalian baru bisa melihat peluang lain yang ada di depan," ucap Adiwangsa sok bijak. Arata menaikkan sebelah alisnya. "Objek 011 diculik, aku butuh bantuan untuk segera menemukan keberadaannya."
Kening Arata berkerut. Objek 011 diculik bukan perkara sederhana. Arya dan Emi saling bertukar pandangan. Ini benar-benar masalah serius. Selain tim di departemen proyek Rekayasa Emosi Manusia, tidak ada yang tahu masalah Objek 011.
Diculik? Siapa pelakunya?
Kecurigaan berakhir pada dua hal; swasta atau asing.
"Kenapa kamu pikir saya akan setuju untuk bekerja sama?"
Adiwangsa tersenyum. Ia mengubah posisi duduknya dan berbicara dengan serius. "Pelakunya hanya ada dua kemungkinan; lawan Anda atau pihak asing. Yang mana pun dari keduanya akan sangat merugikan Anda. Semua kerja keras Anda akan sia-sia jika Objek benar-benar jatuh ke tangan salah satu dari mereka."
"Bagaimana saya bisa yakin bukan negaramu yang mendalangi semua ini?"
Adiwangsa terdiam, tidak langsung menjawab. Sejujurnya ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Jika dipikir lagi sekarang, kedatangan Adiraja mungkin saja berhubungan. Tapi tujuan Adiraja dan orang di belakang Mark jelas sekilas terlihat berbeda. Adiraja ingin membunuh Haidee, sementara Mark ingin membawa Haidee hidup-hidup. Tapi, jika Adiraja dan orang yang ada di belakang Mark tidak berhubungan, untuk apa mereka membawa Adiraja juga?
Jika benar dalang di balik semua ini adalah negaranya, apa benar ibunya tidak tahu apa-apa? Terakhir kali kata-kata ibunya begitu emosional, apa itu hanya sandiwara?
Mendadak Adiwangsa merasa ragu.
"Kenapa? Dengan kemampuan otakmu yang begitu cerdas kamu tidak berpikir sampai ke situ?" ejek Arata. "Tidak berpikir ke sana atau tidak ingin mengakuinya?"
Adiwangsa menatap tajam. Ia jelas ingin mengelak, bahwa tidak mungkin semua yang terjadi adalah ulah negaranya, tapi ia sama sekali tidak memiliki dasar. Jauh di lubuk hatinya bahkan ia meragu.
"Bahkan, meski itu negaraku," suara Adiwangsa terdengar penuh tekad "Aku tidak akan membiarkan mereka membuat Haidee merasakan neraka untuk yang ke sekian kalinya." Adiwangsa sudah cukup jelas mengatakan pendiriannya.
"Bagi sebuah negara, kepentingan kecil dapat dikorbankan untuk hal yang lebih besar. Kamu pikir, kamu seorang diri bisa melawan negaramu?"
"Jangan samakan Negara orang lain dengan negaramu!" Adiwangsa benar-benar tidak suka mendengar kalimat Arata. Ia bahkan merasa telah dipengaruhi.
Arata tersenyum dengan angkuh. "Semua Negara sama. Hal yang lebih besar adalah prioritas."
Bukannya Adiwangsa menutup mata, ia tahu kata-kata Arata Baswara benar. Kalau tidak, ayahnya tidak akan dikorbankan. Kalau tidak, negaranya tidak akan menyembunyikan semua hal mengenai kejadian yang menimpa ayahnya. Arata benar, hanya Adiwangsa yang tetap tidak ingin mengakuinya.
"Cukup basa-basinya," Adiwangsa berdiri dari duduknya "Kerja sama atau tidak?"
***
Seperti dugaan Adiwangsa, luka tembak yang menyerang Hongli dan Carl dapat dengan cepat menarik perhatian. Hampir seluruh staf rumah sakit membicarakannya. Pihak rumah sakit telah menghubungi polisi dan penyelidikan sedang dilakukan. Polisi mulai menyelidiki alasan kedatangan mereka, apa yang dilakukan, dan bagaimana mereka saling berhubungan.
Adiwangsa datang ke rumah sakit sembunyi-sembunyi. Ia ingin tahu keadaan Hongli dan Carl. Seorang polisi terlihat berjaga di depan kamar rawat Carl. Operasi Carl baru saja selesai tapi pria itu masih belum melewati masa kritisnya.
Hongli tidak bisa diselamatkan. Denyut nadinya sangat lemah saat dibawa ke rumah sakit. Dengan dua luka tembak di tubuhnya, ia telah kehilangan banyak darah. Hongli tidak bisa bertahan dan menghembuskan napas terakhirnya di meja operasi.
Karena yang terlibat adalah warga asing, petugas kepolisian segara melaporkannya pada atasan untuk kemudian diteruskan pada petinggi dan disampaikan ke kedutaan Negara korban. Kasus akan menjadi semakin pelik karena melibatkan Negara lain. Jika tidak dibatasi, pengambilan informasi yang sembarang akan membuat panik dan menimbulkan kekacauan.
Informasi yang dikirim keluar melalui reporter benar-benar terbatas.
Sebelum ini Adiwangsa tidak menyukai kehadiran orang-orang itu. Tidak pernah akur. Mereka terlalu sembrono dan seenaknya. Berulang kali ia mengomel pada Haidee untuk mengganti mereka. Sebelumnya Adiwangsa selalu bekerja seorang diri. Ia bahkan akan membentak Hongli jika menyentuh komputernya tanpa izin.
Sekarang, ketika satu orang berkhianat, satu orang meninggal, satu orang kritis, dan satu lagi entah berada di mana, Adiwangsa merasa ditinggalkan. Ini adalah emosi konyol yang tidak ingin ia rasakan. Dikhianati dan menghianati adalah permainan biasa dalam dunianya, datang dan pergi juga hal biasa. Jadi, ia tidak akan berduka. Ia masih memiliki misi untuk menyelamatkan Haidee dan adiknya. Ia tidak akan membuang-buang waktu lagi.
Arata Baswara mengenalkan Adiwangsa pada seorang petugas lalu lintas. Petugas itu yang kemudian membawa Adiwangsa ke ruang kontrol di satuan Lalu lintas. Di ruangan itu, monitor-monitor yang mengawasi CCTV jalan dipantau.
Adiwangsa tidak seorang diri, Zen Ogawa diutus untuk mengawasinya.
Meski berhasil dengan cepat menemukan arah mana Mark membawa Haidee dan adiknya, Adiwangsa masih harus turun langsung ke jalan untuk mencari sendiri. Terakhir kali, kendaraan Mark terlihat memasuki jalur lain, melewati jalan kecil yang tidak terjangkau CCTV.
Setelah turun ke jalan dan mulai mencari, ternyata tidak butuh waktu lama untuk menemukan tempat yang mereka cari. Jalan yang dilewati meski panjang, merupakan jalan satu arah.
Kendaraan Mark ditemukan di sebuah pabrik Rafinasi. Selain kendaraan Mark, ada 3 kendaraan lain yang terparkir di halaman pabrik. Salah satu dari tiga kendaraan, Adiwangsa mengenalinya sebagai kendaraan yang sering digunakan oleh Moissani Sekai.
"Apa benar dia orang yang berada di belakang Mark?" Adiwangsa bertanya pada dirinya sendiri, masih tidak sepenuhnya yakin.
Dari kejauhan terlihat dua orang berjaga di pintu depan. Kendaraan Adiwangsa diparkir di tempat yang sedikit jauh dan tersembunyi. Ia dan Zen mengintai di jarak aman, bersembunyi di balik pohon dan rimbunnya rerumputan.
"Kita akan menyerang masuk berdua saja?" Zen yang sebelumnya membuntut dalam diam, bertanya dengan nada berbisik.
"Kenapa? Takut? Kalau takut kamu boleh pulang lebih dulu."
Zen menggeleng. "Kamu lihat! Mereka ada tiga mobil, ditambah Mark. Kalau satu mobil diisi 4-6 orang, berarti mereka ada 12-18 orang. Belum lagi kalau mereka mengancam dengan menggunakan tawanan. Kamu yakin mau langsung menyerang masuk?"
"Kamu tahu saat aku menerobos masuk lab. Riset dan Teknologi jumlah kalian lebih banyak." Adiwangsa menyombong.
Mengingat masa lalu yang penuh kejayaan tentu saja membanggakan. Sayangnya semua itu hanya masa lalu, karena pada saat kritis Adiwangsa justru datang dan menawarkan kerja sama pada musuhnya.
Zen Ogawa tidak mungkin lupa. Jika tidak ada hari itu, maka tidak akan ada dirinya yang sekarang. Karena kekacauan yang Adiwangsa sebabkan, Zen jadi bisa menunjukkan kemampuan yang sebenarnya. Setelah proyek dihentikan, ia ditarik menjadi salah satu orang kepercayaan Arata Baswara.
Bagian baiknya kekacauan yang Adiwangsa sebabkan adalah penyebab nasibnya berputar menjadi lebih baik. Jika Adiwangsa tidak mengacau, Zen Ogawa pasti masih hanya akan bekerja sebagai keamanan yang diremehkan oleh senior-seniornya.
"Tapi itu berbeda!" tegas Zen. "Mereka punya tawanan. Bosku bilang keamanan Objek 011 nomor satu. Tidak boleh sembarang bergerak."
Adiwangsa tentu saja tahu. Ia tidak akan sembarang bergerak dan langsung menerobos masuk tanpa persiapan. Memangnya ia punya berapa nyawa sampai rela bertindak bodoh seperti itu. Bukankah Mark sendiri bilang bahwa ia seharusnya menjadi orang yang dibunuh. Setiap langkah yang akan ia lakukan harus diperhitungkan dengan matang.
Pertama-tama, ia akan mengamati lebih dulu, kemudian berkeliling, dan mencari celah untuk menyusup ke dalam tanpa ketahuan.
"Kamu sedang apa?" Adiwangsa melihat Zen mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik.
"Melaporkan keadaan dan meminta bantuan," jawab Zen. Ia kembali mengantongi ponselnya. "Jika bosku mau mengutus asistennya kemari, berapa pun lawan yang akan kita hadapi tidak akan masalah."
"Kamu tidak malu meminta bantuan pada wanita?" Adiwangsa tidak habis pikir.
Jika dilihat lagi, penampilan dan cara bicara Zen Ogawa sudah jauh berubah dibanding saat pertama kali ia mengenalnya. Hal-hal yang terlihat dari luar memang berubah, tapi pada dasarnya Zen Ogawa masih sama, masih dengan cara berpikir sepolos dulu.
"Ini bukan tentang pria atau wanita, tapi ini tentang kemampuan. Kalau kemampuannya memang luar biasa, kenapa harus malu untuk diakui?" kata Zen dengan santai. "Orang lain mungkin tidak tahu, tapi aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kemampuan Hazima Emi benar-benar..." Zen mengacungkan dua ibu jarinya.
"Kamu tahu dia mengerikan tapi kamu tidak takut berada di dekatnya?"
Dua orang yang sedang mengintai mendadak menjadi dua orang yang sedang menggosipkan Hazima Emi.
"Kenapa harus takut?" Zen balik bertanya. "Aku berada di sisi yang sama dengan Emi. Yang harus takut itu seharusnya orang-orang yang berada di sisi yang lain," tambah Zen dengan lirikan menyindir.
Zen Ogawa benar.
Takdir sungguh lucu. Sebelumnya Adiwangsa telah menghitung-hitung kekuatan yang mereka punya dan yang lawan miliki. Sebelumnya Adiwangsa bahkan telah berandai apa yang akan mereka lakukan jika Mark yang berada di sisi yang sama tidak bisa melawan Hazima Emi. Mereka berlima; Adiwangsa, Haidee, Mark, Hongli, dan Carl akan mengeroyok wanita mungil itu bersamaan.
Nyatanya sekarang, Adiwangsa berdiri sendiri, Mark menjadi lawan, dan ia justru bersekutu dengan seseorang yang dalam imajinasinya akan dikeroyok.
Memikirkan hal itu, Adiwangsa menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan takdirnya.
###