Dulu, saat masih kecil Adiwangsa telah terbiasa menjaga Adiraja. Adiwangsa terbiasa menjadi ayah sekaligus ibu untuk Adiraja. Setelah ayah meninggal, mereka berpindah tempat ke ibu kota. Ibu kembali bekerja dan menjadi sangat sibuk. Dalam sebulan melihat wajah ibu di rumah bisa dihitung jari.
Pun ketika Adiraja sakit, Adiwangsa harus terjaga sampai pagi. Mengganti kompres dan memastikan demam adiknya turun. Saat akhirnya Adiraja sembuh, justru ia sendiri yang jatuh sakit. Meski seperti itu, tetap tidak ada kesempatan untuknya bermanja. Adiwangsa tetap mengurus keperluan rumah, memasak, bersih-bersih, mencuci, mengurusi keperluan Adiraja, dan pergi ke sekolah. Waktu itu ibu hanya pulang untuk memeriksa keadaan Adiraja yang sudah lebih baik dan tidak tahu kalau ternyata giliran Adiwangsa yang sakit.
Di usianya yang masih begitu muda, Adiwangsa tidak pernah mengeluh saat diberi pekerjaan menggantikan tugas ibu. Adiwangsa tidak pernah merasa tidak puas. Ia merasa senang saat diberi tugas dan senang mengerjakan tugas-tugasnya. Ia juga senang menjadi karakter orang dewasa.
Semuanya adalah kenangan masa lalu. Di masa kini, menjaga seorang pria dewasa benar-benar sebuah beban yang merepotkan. Benar-benar lebih rumit dan melelahkan. Adiwangsa ingin agar secepatnya identitas dan segala kelengkapan surat-surat Haidee selesai diurus. Ia ingin secepatnya bisa bebas dari pekerjaan menjadi babysiter.
Sampai detik ini total waktu yang telah Adiwangsa habiskan bersama Haidee adalah 48 jam. Hanya dalam hitungan dua hari dua malam, Adiwangsa telah merasakan kelelahan secara fisik dan mental. Ia sungguh lebih suka pekerjaan yang menghabiskan berjam-jam duduk di depan komputer meski membosankan, atau dikejar-kejar penjaga karena ketahuan menyusup, atau berkelahi dan dikeroyok banyak orang.
Malam hari ketika Adiwangsa dan Haidee akan makan malam di luar, Haidee tiba-tiba berteriak histeris saat melihat api dari kompor tukang masak. Tidak hanya berteriak panas, Haidee bahkan sampai berguling-guling di lantai seolah tubuhnya terbakar.
Sebelumnya mereka memilih tempat makan di tenda-tenda pinggir jalan yang ramai agar saat para pengejar melihat keberadaan mereka, keduanya dapat membaur dengan pengunjung lain untuk mengecoh. Tapi kini situasi ramai tidak lagi menguntungkan.
Pemandangan seorang pria yang mendadak histeris dan berguling-guling di lantai dengan cepat menjadikan Haidee sebagai pusat perhatian. Orang-orang membuat kerumunan dengan cepat. Bukannya memberi bantuan, orang-orang yang berkerumun justru sibuk mengabadikan apa yang mereka lihat dengan ponsel mereka. Adiwangsa cepat-cepat menurunkan topinya lebih dalam.
Beberapa postingan yang beredar di internet diberi judul Fenomena Alam Kerasukan. Judul yang lain Para Pencari Perhatian. Judul yang lain lagi Pertengkaran Pasangan Gay. Di judul terakhir, bagian yang terekam adalah ketika Adiwangsa menampar-nampar wajah Haidee. Adiwangsa berharap apa yang ia lakukan bisa membuat Haidee segera sadar dan berhenti menggila. Tidak juga sadar, yang selanjutnya Adiwangsa lakukan adalah mengambil satu ember air cucian piring dan mengguyurkannya pada Haidee. Ajaib, karena akhirnya Haidee sadar juga.
Alhasil rencana makan di luar batal. Mereka pulang ke rumah dan hanya memakan mi instan dan telur ceplok.
Belum cukup mengejutkan, pagi-pagi buta Haidee sudah berteriak histeris dan terisak. Ia mengatakan tidak dapat merasakan kakinya, tidak bisa berjalan. Adiwangsa yang tidak mengerti tentu saja ikut kebingungan. Tapi tiba-tiba ia teringat rekaman video saat Haidee masih terkurung dalam lab. Riset dan Teknologi. Melihat lagi video itu, membuat Adiwangsa perlahan mengerti.
Adiwangsa memutar sebuah lagu yang dapat mempengaruhi suasana hati dan dapat membuat yang mendengarkan lagu menjadi lebih tenang. Layaknya seorang motivator, Adiwangsa juga memberi banyak sugesti. Meski efeknya lambat, tapi berhasil.
Saat masih bernapas lega, Adiwangsa teringat obrolan Haidee dengan wanita yang bernama Yumi Zahrani ketika masih di rumah sakit. Adiwangsa segera lepas landas untuk mencari aroma terapi yang sama. Ia tidak ingin ada kehebohan lagi di pagi-pagi buta. Ia juga tidak ingin dipaksa bangun saat jam tidurnya.
Tidak berhenti sampai di situ. Sore harinya saat Adiwangsa sibuk di depan komputer, Haidee tiba-tiba menyerangnya. Bukan serangan biasa karena berulang kali Haidee menebaskan pisau yang ada di tangannya. Jelas sekali serangan Haidee memiliki niat untuk membunuh.
Ketika Adiwangsa bertanya mengenai alasannya, Haidee bilang kalau Adiwangsa adalah pelaku yang memperkosa istrinya. Mendengar alasan itu, sontak membuat fokus Adiwangsa hilang dan satu tebasan mengenai lengannya yang berharga.
Karena memberi penjelasan jelas tidak ada gunanya, mereka benar-benar bertarung. Perkelahian mereka memecahkan satu gelas, satu piring, dan dua mangkok. Kesal melihat tingkah Haidee yang tidak ada habisnya, Adiwangsa menjotos Haidee dengan kuat hingga pria itu jatuh pingsan.
"Haidee, apa tidak ada peran yang cocok untukku selain sebagai pemerkosa?" Adiwangsa bertanya saat keadaan telah kembali normal. Ia sedang sibuk di depan komputernya.
Awalnya Adiwangsa menduga Haidee sengaja bersifat menyebalkan agar ia menyerah dan Haidee bisa mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Sebab jika beradu fisik, jelas Haidee akan kalah. Jadi, satu-satunya yang bisa Haidee lakukan adalah memutar otak.
"Mungkin karena wajahmu menyebalkan," jawab Haidee sesukanya.
Malam telah datang. Adiwangsa berharap tidak akan ada lagi kekacauan setelah ini. Ia butuh malam yang tenang. Sementara Adiwangsa tengah bermain dengan susunan algoritma, Haidee duduk di tengah ruangan sembari mengompres wajahnya yang lebam.
"Malam kita datang. Sana, terima barangnya!" perintah Adiwangsa begitu melihat lampu di atas monitor menyala tanda ada orang yang mendekat.
"Kamu tidak lihat wajahku seperti ini? Kamu saja yang pergi sana!" Haidee balas memerintah.
"Hanya lebam seperti itu merengek. Kamu tidak lihat lenganku yang berdarah-darah!" balas Adiwangsa ketus. Ia bersikeras tidak ingin diperintah bocah ingusan yang telah membuat harinya begitu menderita.
Haidee melemparkan plastik berisi es batu yang ia gunakan untuk mengompres wajahnya ke arah Adiwangsa, kemudian beranjak.
Adiwangsa mulai memberi sedikit kebebasan pada Haidee. Karena hanya ada satu ranjang di ruangannya, Haidee tidur di ruangan 303. Haidee juga bebas bolak-balik ke dua ruangan.
Meski sedikit memberi kebebasan, Adiwangsa tidak pernah melepaskan pengawasannya. CCTV merekam keberadaan Haidee dan akan segera menyalakan rambu-rambu darurat jika pria itu mulai meninggalkan ruangan.
Begitu Haidee kembali, Adiwangsa memberi kertas laporan yang baru keluar dari mesin pencetak. Laporan-laporan itu adalah hasil data yang Adiwangsa curi dari salah satu orang kepercayaan Profesor Rekson.
"Semua mimpi buruk yang kamu alami, halusinasimu, jelas itu efek samping dari proyek Rekayasa Emosi Manusia," jelas Adiwangsa. "Semua kejadian yang kamu lihat dalam mimpimu adalah rekayasa adegan yang mereka tanamkan dalam mimpimu untuk mendapatkan respons emosi secara nyata."
"Aku tidak mengerti," ujar Haidee ketika baru membaca beberapa paragraf "Bagaimana mungkin mimpi bisa terasa begitu nyata dan terbawa saat terjaga?"
"Mungkin cara kerjanya mirip seperti kebohongan yang dilakukan berulang-ulang, bukankah suatu saat otak akan menangkapnya sebagai kebenaran. Aku tidak mengerti secara spesifik, tapi yang bisa kutangkap hanya sebatas itu." Adiwangsa menjelaskan dengan berjalan mondar-mandir di depan Haidee.
"Bagus! Mereka membuatku menjadi orang gila sekarang. Setelah merampas tujuh tahun..."
"Tidak sepenuhnya tujuh tahun," Adiwangsa meralat dengan cepat. Ia ikut duduk di lantai, di depan Haidee, dan mulai membuka menu makan malamnya. "Setelah kecelakaan itu kamu benar-benar koma. Mereka hanya menambahkan beberapa tahun dengan menggunakan obat."
"Obat?"
"Aku benar-benar tidak mengerti istilah medis, tapi ada kandungan anestesi yang kuat dalam obat yang diberikan padamu secara rutin. Seperti yang tercatat dalam laporan." Adiwangsa menunjuk dengan menggunakan dagunya. "Obat itu juga produk yang baru mereka kembangkan untuk mendukung proyek Rekayasa Emosi Manusia."
Haidee tidak merespons. Ia membuka-buka kertas yang ada di tangannya, membaca dengan cepat. Tidak lama kemudian hatinya bergemuruh. Haidee menggenggam dengan erat kertas di tangannya hingga remuk. Adiwangsa melirik dari sudut matanya, tidak berkomentar.
"Aku benci mereka, aku ingin balas dendam." Tatapan Haidee dipenuhi murka.
Adiwangsa melirik lagi. "Aku akan mendukungmu. Bagaimana kalau kita siarkan secara langsung sekarang?" Adiwangsa yang telah mencomot ayam goreng miliknya menjilati jarinya, kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku. "Jadi kamu punya saksi? Ada bukti? Kamu tahu apa yang mereka lakukan dengan kepalamu?"
Haidee berpikir sesaat.
Adiwangsa benar. Kertas di tangannya adalah bukti tapi tidak mungkin orang-orang itu akan mengakuinya. Adiwangsa adalah saksi, tapi dia juga mata-mata, jadi jelas tidak akan ada orang yang mau mempercayai perkataannya.
"Aku tahu!" Adiwangsa berseru. "Bagaimana kalau kita bergabung dengan Negara lain untuk menyerang negaramu? Kita lihat Negara mana yang paling ingin negaramu hancur."
Ide buruk. Haidee tidak akan melakukan hal konyol seperti itu.
"Apa itu tujuanmu yang sebenarnya? Mengadu domba Negara orang?" Haidee melirik sinis. "Benar-benar rendahan," tambahnya mencemooh.
"Hei, hei, jangan memandang rendah pekerjaanku!" Adiwangsa tidak terima. "Begini-begini aku adalah pahlawan tidak bernama bagi negaraku."
Adiwangsa memulai suapan pertamanya, sementara Haidee hanya diam saja. Adiwangsa mengunyah, makan dengan tenang. Jika Haidee tidak mau makan, itu bukan urusannya, dan tidak makan sehari tidak akan membuat orang mati kelaparan.
Ketika Adiwangsa berpikir seperti itu, Haidee mulai menyentuh bagiannya.
"Sudah, ikuti saja rencanaku. Setelah meninggalkan Negara ini, fokus pada penyembuhanmu dan hidup dengan damai." Adiwangsa memberikan saran dengan bijak.
Haidee tidak menyahut. Ia memilik tekadnya sendiri. Ia telah membuat rencana untuk hidupnya.
###